Diskriminasi Usia dan Masa Depan Ketenagakerjaan Kita
Ageisme adalah bentuk diskriminasi yang kian mengemuka di lingkungan kerja modern.
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia kerja global, termasuk di Indonesia, telah mengalami transformasi yang signifikan. Namun, di tengah laju perubahan ini, ada satu isu yang terus meradang dan sering diabaikan, yakni ageisme (diskriminasi berdasarkan usia).
Ageisme adalah bentuk diskriminasi yang kian mengemuka di lingkungan kerja modern. Fenomena ini tak hanya membatasi peluang individu yang menjadi korban, tetapi juga mengancam keberlanjutan dan daya saing ekonomi secara keseluruhan.
Dengan jumlah penduduk usia lanjut yang terus meningkat, Indonesia harus segera menangani isu ageisme untuk memastikan ketenagakerjaan yang inklusif dan berkelanjutan.
Baca juga: Lansia Indonesia Masih Jadi Tumpuan Keluarga
Ageisme di dunia kerja
Ageisme di dunia kerja dapat diartikan sebagai praktik diskriminatif yang didasarkan pada asumsi atau stereotipe tentang kemampuan individu berdasarkan usia mereka. Bentuk ageisme ini sangat bervariasi, mulai dari prasangka yang halus hingga kebijakan perusahaan yang secara eksplisit merugikan pekerja dari kelompok usia tertentu.
Di Indonesia, ageisme bisa memengaruhi pekerja dari berbagai kelompok usia, tetapi dampaknya paling terasa pada pekerja yang lebih tua dan calon pekerja muda.
Di satu sisi, pekerja yang lebih tua sering dianggap kurang adaptif terhadap teknologi baru atau perubahan organisasi yang cepat. Meskipun banyak dari mereka memiliki pengalaman yang kaya dan pengetahuan mendalam, mereka kerap diabaikan dalam promosi atau pengembangan karier.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pekerja usia 45 tahun ke atas sering menghadapi kesulitan lebih besar dalam mendapatkan pekerjaan baru, terutama di sektor-sektor yang berkembang pesat, seperti teknologi informasi dan komunikasi.
Selain itu, stereotipe bahwa pekerja yang lebih tua lebih rentan terhadap masalah kesehatan atau kurang produktif juga berkontribusi pada bias terhadap mereka. Berdasarkan survei American Association of Retired Persons (AARP), lebih dari 60 persen pekerja yang lebih tua pernah mengalami atau menyaksikan diskriminasi usia di tempat kerja. Fenomena ini memperburuk ketimpangan di dunia kerja dan menghalangi pemanfaatan penuh potensi pekerja yang lebih tua.
Di sisi lain, pekerja muda juga tidak luput dari diskriminasi usia. Banyak perusahaan yang enggan memberikan tanggung jawab besar kepada pekerja muda karena mereka dianggap kurang berpengalaman atau belum memiliki kematangan emosional yang diperlukan untuk menghadapi tekanan kerja. Akibatnya, banyak generasi muda merasa frustrasi dan kehilangan motivasi karena merasa tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan kapasitas mereka.
Kondisi ini semakin kompleks ketika kita mempertimbangkan fakta bahwa generasi muda Indonesia saat ini, yakni generasi milenial dan generasi Z, tumbuh di tengah perkembangan teknologi yang pesat. Mereka memiliki keterampilan digital yang unggul, tetapi sering kali tidak diberi ruang untuk mengaplikasikan keterampilan tersebut secara maksimal di tempat kerja. Diskriminasi ini tidak hanya merugikan individu yang bersangkutan, tetapi juga menghambat inovasi dan pertumbuhan perusahaan.
Ageisme adalah tantangan yang nyata dan mendesak bagi dunia kerja Indonesia.
Fenomena ageisme memiliki implikasi luas bagi masa depan ketenagakerjaan Indonesia. Dengan populasi yang menua, dampak ageisme pada pekerja yang lebih tua semakin mengkhawatirkan.
Bank Dunia memproyeksikan, pada 2045, lebih dari 20 persen populasi Indonesia akan terdiri dari warga lansia (usia 60 tahun ke atas). Jika ageisme dibiarkan tanpa penanganan yang tepat, kita berisiko kehilangan kontribusi ekonomi signifikan dari segmen populasi ini.
Di sisi lain, kegagalan memanfaatkan potensi generasi muda juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Indonesia saat ini memiliki bonus demografi dengan sebagian besar penduduknya berada pada usia produktif. Namun, untuk memaksimalkan potensi ini, perusahaan harus siap memberikan kesempatan yang adil kepada pekerja muda untuk berkembang dan mengambil peran kepemimpinan.
Kombinasi dari dua tren ini—populasi yang menua dan generasi muda yang semakin dominan—menyiratkan bahwa Indonesia membutuhkan strategi ketenagakerjaan yang inklusif dan berkelanjutan. Tanpa intervensi yang tepat, ageisme dapat memperburuk ketidaksetaraan, menurunkan produktivitas, dan pada akhirnya melemahkan daya saing Indonesia di kancah global.
Mengatasi ageisme di tempat kerja
Untuk mengatasi ageisme dan menciptakan masa depan ketenagakerjaan yang inklusif, ada beberapa langkah strategis yang bisa diambil.
Pertama, kebijakan pemerintah yang mendukung inklusivitas usia. Pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan regulasi yang melarang diskriminasi usia dan mendorong inklusivitas di tempat kerja.
Salah satunya dengan menerapkan kebijakan yang memberikan insentif kepada perusahaan yang mempekerjakan atau mempertahankan pekerja dari berbagai kelompok usia. Misalnya, insentif pajak atau subsidi bagi perusahaan yang secara aktif mempromosikan keberagaman usia dalam tenaga kerjanya.
Selain itu, pemerintah juga bisa memperkenalkan program pelatihan keterampilan yang khusus ditujukan untuk pekerja yang lebih tua, membantu mereka untuk tetap relevan dan produktif di tengah perubahan teknologi yang cepat. Program ini bisa membantu mengurangi kekhawatiran perusahaan terhadap kemampuan adaptasi pekerja yang lebih tua sekaligus meningkatkan daya saing mereka di pasar tenaga kerja.
Kedua, reformasi budaya perusahaan. Perusahaan juga perlu melakukan reformasi budaya internal untuk mengatasi ageisme. Langkah pertama yang bisa diambil ialah meningkatkan kesadaran tentang pentingnya inklusivitas usia di semua level organisasi. Kampanye internal yang menekankan pada nilai dari keberagaman usia dapat membantu mengubah persepsi negatif dan mempromosikan budaya kerja yang lebih inklusif.
Perusahaan juga perlu melakukan reformasi budaya internal untuk mengatasi ageisme.
Selain itu, perusahaan harus memastikan bahwa proses perekrutan, penilaian kinerja, dan promosi bebas dari bias usia. Alat evaluasi yang berbasis data dan kriteria yang obyektif harus digunakan untuk memastikan setiap individu dinilai berdasarkan kompetensi, bukan usia. Program mentoring yang melibatkan pekerja dari berbagai kelompok usia juga dapat membantu memperkuat hubungan antargenerasi dan mempromosikan transfer pengetahuan.
Ketiga, pelatihan berkelanjutan dan pengembangan karier harus tersedia untuk semua karyawan, tanpa memandang usia. Perusahaan perlu menyediakan program pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan preferensi individu, baik pekerja muda maupun tua. Misal, pelatihan teknologi untuk pekerja yang lebih tua atau pelatihan manajemen dan kepemimpinan untuk pekerja muda bisa membantu memastikan bahwa semua karyawan memiliki kesempatan sama untuk berkembang.
Selain itu, perusahaan juga harus mendukung transisi karier bagi pekerja yang lebih tua. Ini bisa mencakup program retraining, peluang kerja fleksibel, atau bahkan dukungan untuk memulai usaha sendiri. Dengan demikian, pekerja yang lebih tua dapat tetap berkontribusi pada ekonomi, bahkan jika mereka memilih untuk mengurangi jam kerja atau mengubah jalur karier.
Keempat, promosi kerja fleksibel. Kerja fleksibel adalah solusi lain yang dapat membantu mengatasi ageisme. Bagi pekerja yang lebih tua, fleksibilitas dalam jam kerja atau opsi untuk bekerja dari rumah dapat membantu mereka menyesuaikan pekerjaan dengan kebutuhan pribadi atau kesehatan mereka.
Di sisi lain, bagi pekerja muda, kerja fleksibel dapat memberikan keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi, yang semakin dihargai oleh generasi milenial dan generasi Z.
Penelitian menunjukkan bahwa kerja fleksibel tidak hanya meningkatkan kesejahteraan karyawan, tetapi juga dapat meningkatkan produktivitas dan retensi tenaga kerja. Oleh karena itu, perusahaan yang menerapkan kebijakan kerja fleksibel cenderung lebih berhasil dalam menarik dan mempertahankan talenta dari berbagai kelompok usia.
Ageisme adalah tantangan yang nyata dan mendesak bagi dunia kerja Indonesia. Jika tidak ditangani dengan serius, diskriminasi usia dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, memperburuk ketidaksetaraan, dan merugikan individu dari berbagai kelompok usia.
Namun, dengan kebijakan yang tepat dan komitmen dari semua pemangku kepentingan, Indonesia dapat mengatasi ageisme dan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, di mana setiap individu, tanpa memandang usia, dapat berkontribusi secara maksimal.
M Hanif Dhakiri, Menteri Ketenagakerjaan RI 2014-2019, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia