Seruan Mencegah Keruntuhan Demokrasi
Seruan darurat Garuda Biru tak hanya untuk mengawal putusan MK, tetapi ajakan kewaspadaan mencegah keruntuhan demokrasi.
Joko Widodo telah berhasil menerobos dan masuk pada lapisan elite politik nasional yang selama ini diisi oleh elite politik lama, baik warisan Orde Lama, Orde Baru, ataupun peninggalan kolonialisme dan feodalisme.
Memasuki dasawarsa ketujuh sebagai negara merdeka, Jokowi tampil sebagai presiden ketujuh. Sebuah prestasi dan karier politik yang mencengangkan sejarah. Dengan latar belakang rakyat biasa, ”tukang kayu” itu menapaki posisi politik sebagai Wali Kota Solo (2005), Gubernur DKI Jakarta (2012), dan mencapai puncaknya sebagai presiden sejak 2014.
Satu hal yang Jokowi, dan semua warga Indonesia, tidak boleh lupakan adalah bahwa itu bisa terjadi hanya dalam sebuah sistem politik bernama demokrasi. Sistem ini menegaskan prinsip-prinsip dan nilai-nilai fundamental bernegara, seperti penghargaan atas kebebasan, kesamaan hak, supremasi hukum, dan peralihan kekuasaan dan pemerintahan secara damai.
Baca juga: Reformasi, Demokrasi, dan Korupsi
Prinsip dan nilai-nilai tersebut dituangkan dalam berbagai aturan main (undang-undang) dan menjadi acuan bagi institusi pemerintahan, organisasi politik dan kemasyarakatan. Dan, itu semua adalah buah perjuangan penuh air mata dan darah dari Gerakan Reformasi 1998.
Amanat utama Reformasi adalah penolakan terhadap segala bentuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) karena praktik KKN merusak dan menihilkan demokrasi dan mengancam keberlangsungan negara Indonesia. Maka, setiap kebijakan dan kegiatan yang ditengarai hendak mengembalikan praktik KKN harus dilawan.
Kelemahan demokrasi
Dalam pelajaran tentang demokrasi ada ungkapan yang mengatakan bahwa ”democracy is the worst form of government except for all others which have been tried”. Entah berasal dari Plato atau Winston Churchill, ungkapan itu lebih diartikan bahwa demokrasi lebih baik dari yang lain seperti monarki atau otokrasi atau yang lain.
Namun, kita lupa bahwa demokrasi tidak hadir dan berkembang dengan sendirinya, apalagi menjadi panasea untuk semua persoalan bangsa. Pada diri demokrasi itu sendiri terdapat sejumlah kelemahan dan kekurangan karena antara lain selalu membuka ruang dan kesempatan bukan hanya untuk eksis dengan ragam perbedaan, melainkan juga untuk pertarungan berbagai ide, kepentingan, dan perebutan kekuasaan.
Dalam konteks Indonesia saat ini, terdapat tiga kelemahan demokrasi yang bersifat institusional, kontekstual, dan operasional. Secara institusional, tidak semua prinsip dan nilai yang dikandungnya bisa dan harus dirumuskan ke dalam hukum-hukum, lembaga atau organisasi, dan prosedur yang bisa dikategorikan demokratis.
Namun, kita lupa bahwa demokrasi tidak hadir dan berkembang dengan sendirinya, apalagi menjadi panasea untuk semua persoalan bangsa.
Sebab, semakin banyak aturan, hal itu dikhawatirkan justru menghasilkan pembatasan dan pengekangan hak itu sendiri. Demikian pula dengan lembaga-lembaga politik, semakin banyak lembaga atau organisasi malah menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan pemerintahan, termasuk yang terkait dengan proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan.
Secara kontekstual, ekonomi-politik global saat ini dan ke depan tidak hanya diwarnai oleh tingkat persaingan yang ketat dan sumber daya yang makin terbatas. Ekonomi-politik global juga diwarnai oleh volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA), dan yang saat ini disebut brittle, anxious, non-linear, dan incomprehensible (BANI).
Situasi ini tidak hanya menuntut kecepatan dalam mengambil keputusan dan memanfaatkan kesempatan, tetapi juga membuka ruang pada keberanian bereksperimentasi, berkreasi, dan berinovasi seraya memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.
Jika aspek eksternal tersebut digabungkan dengan aspek internal, baik berupa ambisi untuk memenuhi janji-janji politik (kampanye) maupun mengatasi persoalan riil masyarakat (seperti kemiskinan), dorongan untuk bertindak cepat, berani, dan kreatif semakin diperlukan. Ini sering kali menjadi dalih atau bahkan pembenar untuk ”nyerempet” prinsip-prinsip demokrasi. ”Tujuan menghalalkan cara” berlaku.
Dalam konteks Indonesia saat ini, terdapat tiga kelemahan demokrasi yang bersifat institusional, kontekstual, dan operasional.
Secara operasional, karakter socio-political entrepreneurship di atas tampak efektif untuk memobilisasi dukungan politik baik dari institusi-institusi politik formal (partai politik dan parlemen) maupun yang berasal dari luar (organisasi keagamaan, kemasyarakatan, dan barisan sukarelawan). Dalam hal ini, penting untuk disebutkan bahwa keberadaan sukarelawan ”Projo” yang dipahami sebagai pendukung Jokowi telah tampil menjadi kekuatan politik nonpartai dan nonparlemen.
”Kewirausahaan politik” tersebut terjabarkan pula ke dalam algoritma politik yang berbasis pada kalkulasi dan simulasi matematis dan aspek-aspek kuantitatif. Paradigma post-positivis ini menghadirkan pembenaran terhadap kebijakan, keputusan, serta praktik politik berdasarkan data dan angka.
Angka pertumbuhan ekonomi, jumlah investasi, besaran pengambilalihan saham perusahaan asing, seperti Freeport, atau penurunan angka kemiskinan dan tengkes (stunting), atau perbandingan volume dan nilai ekspor-impor menjadi instrumen-instrumen politik penting. Dan, yang lebih fenomenal adalah kegiatan survei dan hasil survei yang menunjukkan tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintah.
”Garuda biru dan seruan darurat”
Tidak sedikit pujian yang dilontarkan kepada Jokowi atas kelihaian, kepiawaian, atau kecerdasannya ”menyiasati” kelemahan institusional, kontekstual, dan operasional dari demokrasi Indonesia selama sepuluh tahun menjadi presiden. Lawan-lawan politik tampaknya kesulitan menemukan pasal-pasal jelas dan tegas dalam konstitusi serta undang-undang untuk menyatakan Jokowi bersalah karena melakukan pelanggaran serius.
Tidak demikian halnya bagi sebagian kecil masyarakat, baik yang berasal dari kalangan intelektual dan akademisi, tokoh agama dan kemasyarakatan, asosiasi profesional, media maupun para mahasiswa. Mereka mampu melihat secara intelektual dan intuitif bahaya yang mengancam akibat praktik-praktik lihai dan entrepreneurship politik terhadap kelemahan legal, institusional, dan prosedural demokrasi di atas. Paradigmanya adalah etika dan moral politik.
Secara sederhana, ada tiga hal yang sangat dikhawatirkan. Pertama, pudar dengan kemungkinan hilangnya independensi lembaga-lembaga politik dan pemerintahan sebagai landasan berlangsungnya mekanisme checks and balances yang terlembaga.
Ini dilakukan dengan politik kooptasi, yakni dengan merangkul dan memasukkan lawan politik (oposisi) ke dalam jajaran pemerintahan. Selain itu, juga dengan siasat intervensi, yakni dengan menempatkan kawan politik pada posisi strategis pemerintahan, seperti kehakiman, kejaksaan, kepolisian atau panglima.
Praktik semacam ini terjadi karena pemegang kekuasaan tampaknya tidak punya keberanian dan keterampilan yang memadai untuk mengelola perbedaan dan perlawanan politik secara elegan. Sebaliknya, oposisi tidak punya ketetapan hati dan kepercayaan diri untuk menjadi oposisi yang terhormat dan siap menjadi alternatif yang tepat jika kekuatan politik yang sedang berkuasa gagal dan memberi dukungan jika berhasil.
Baca juga: Kedaulatan Rakyat
Siasat kooptasi dan intervensi ini tidak hanya mengancam runtuhnya supremasi hukum karena digantikan oleh kompromi-kompromi politik, tetapi juga memungkinkan terjadinya self-perpetuation of power baik melalui gerbong koalisi dan terutama politik dinasti.
Kekhawatiran kedua adalah tergerusnya nilai-nilai keadilan yang membuka ruang yang bebas, terbuka, dan adil bagi semua warga untuk berpartisipasi secara proporsional dalam proses-proses politik, pemerintahan, dan pembangunan. Nilai keadilan ini tidak hanya terancam hilang oleh politik dinasti dan kolusi atau koalisi, tetapi juga oleh hegemonisasi kebenaran dan kebaikan yang berbasis pada hasil survei.
Berbagai program pengentasan rakyat dari kemiskinan melalui bantuan langsung tunai (BLT), bantuan sosial (bansos) atau yang sejenis hanya akan menghasilkan raupan suara dalam pemilu, tetapi tidak memampukan rakyat mengatasi sendiri kemiskinannya. Implikasi lebih lanjut dari praktik ”pembelian suara” ini adalah kemiskinan akan berkelanjutan, yang jika APBN tidak sanggup memenuhinya, pemberontakan rakyat dan revolusi sosial sangat mungkin terjadi.
Terakhir, ketidakmampuan institusi-institusi demokrasi (yang pertama) untuk menghasilkan partisipasi yang adil dan substansial (yang kedua) dengan sendirinya akan menggerus dan melemahkan struktur utama dari sebuah negara. Keberlangsungan negara dengan segala nilai-nilai dan cita-cita luhur yang dimiliki terancam bubar.
Garuda Biru dan Seruan Darurat tidak semata-mata untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi terkait pilkada, tetapi ajakan kewaspadaan mencegah keruntuhan demokrasi dan seruan kewiraan menuju Indonesia Emas.
Mangadar Situmorang, Rektor Universitas Parahiyangan periode 2015-2023