Menghayati Hidup di Kebon Pasinaon Living Museum
Di sana, orang dapat belajar apa saja seperti tentang lingkungan hidup, bercocok tanam, sampai belajar membuat jamu.
Pekan lalu, saya berkunjung ke Kebon Pasinaon Living Museum. Ini adalah museum hidup pertama di Jawa Tengah yang berada di Dusun Glagah, Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Di desa pinggir Kali Putih yang berhulu di kaki Gunung Merapi itu kita dapat menghayati pergulatan hidup rakyat perdesaan di tengah perubahan zaman.
Kali Putih bening mengalir, berkecipak melewati bebatuan besar. Nun jauh di Utara tampak samar puncak Gunung Merapi. Di salah satu sudut sungai terdapat sendang atau mata air jernih. Di sana, seorang ibu terlihat sedang mengambil air menggunakan kleting, semacam bejana dari gerabah. Kali Putih dengan keindahannya itu menjadi bagian dari Kebon Pasinanon Living Museum. Dinamika kehidupan desa-desa sekitar kali menjadi isi museum. Obyek yang ada di museum hidup itu serba nyata, dapat disentuh langsung, dan dihayati. Bahkan, pengunjung dapat menjadi bagian dari kehidupan desa sekitar Kebon Pasinaon Living Museum.
Nama Kebon Pasinaon sendiri diambil dari bahasa Jawa yang artinya taman belajar. Istilah tersebut oleh penggagasnya, yaitu Ida Fitri, diambil dari istilah garden of learning. Sesuai nama, Kebon Pasinaon seluas 4.500 meter persegi itu pada awalnya adalah tempat siapa saja belajar apa saja yang dirintis oleh Ida Fitri (62) pada awal tahun 2000. Di sana ada taman kanak-kanak, ada taman bacaan, ada ruang untuk berolah seni, aktivitas literasi, termasuk Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Ibnu Hajar.
Sambil merendam kaki di sejuknya air Kali Putih, saya membayangkan kala lahar dingin Gunung Merapi melewati sungai tersebut pada awal tahun 2011. Materi vulkanik dari erupsi Merapi meluber, menerjang desa-desa di kiri-kanan kali. Sekujur sungai diliputi jutaan kubik pasir, dan serakan bongkahan batu. Rumah, halaman, sawah, ladang, kebun, jalanan dipenuhi lahar hujan setebal 1 meter. Kebon Pasinaon praktis lumpuh dari kegiatan.
Namun, di tengah bencana itu, ada satu hal yang menguatkan pendirinya, yaitu kenyataan bahwa perpustakaan taman bacaan masyarakat tetap kokoh berdiri. Bahkan, sebagian buku koleksinya tak tersentuh air. Ida membaca realitas itu sebagai isyarat bahwa niat baik memberdayakan warga tidak boleh mandek. Kegiatan literasi dan kebudayaan di Kebon Pasinaon setelah terjangan lahar itu memang terhenti. Namun, Kebon Pasinaon terus berbenah, dan kemudian aktif kembali.
Namun, datanglah pandemi pada 2020 sehingga aktivitas kembali terhenti. Meski mengalami jatuh bangun menghadapi berbagai deraan, semangat warga dan pengelolanya tidak mati. Kini Kebon Pasinaon menjelma menjadi Living Museum dan dibuka resmi pada 24 Agustus 2024.
Kebon Pasinaon dengan Kali Putih dan jejak pergulatan hidup warga desanya menjadi Kebon Pasionan Living Museum. Di sana, orang dapat belajar apa saja seperti tentang lingkungan hidup, bercocok tanam, sampai belajar membuat jamu tradisional—dan mencicipinya tentu saja. Orang dapat belajar menulis dan membaca geguritan atau puisi dalam bahasa Jawa. Orang dapat berolah budaya mulai dari kesenian kuda lumping sampai ketoprak. Seluruh aktivitas dan kehidupan di sekitar Kebon Pasinaon menjadi bagian dari museum hidup. Pengunjung juga dapat belajar tentang kehidupan, terkhusus kehidupan warga Dusun Glagah dan sekitarnya, dengan segala dinamika dan pergulatan hidup warga desa.
Sebagai museum hidup, pengunjung tidak sekadar melihat obyek, tetapi juga berinteraksi dengan sang obyek. Kita dapat menyeberang atau mencebur ke Kali Putih. Menyentuh air beningnya, mendengar ricik air kali saat mengusap batu-batu, dan merasakan sejuknya air. Kita juga dapat merasakan pengalaman mencari air bening di sendang menggunakan kleting. Mencoba ngindit atau membawa kleting dengan meletakkannya di pinggang.
Sembari membenamkam kaki di kali, kita bisa merekonstruksi peristiwa ketika lahar Merapi melabrak sungai itu. Kita juga dapat merekonstruksi betapa sungai itu menjadi sumber kehidupan selama ratusan tahun silam. Ya, ratusan tahun lampau ketika orang belum mengenal kamar mandi berlantai keramik; ketika orang hanya mengenal siwur, bukan shower. Siwur adalah gayung dari batok kelapa. Sungai dengan segala kisah di balik beningnya merupakan bagian dari Kebon Pasinaon Living Museum yang disebut Kebon Ciblon. Dalam bahasa Jawa, ciblon berarti bermain air.
Aktif, partisipatif
Sebagai museum hidup, Kebon Pasinaon Living Museum tidak menyuguhkan artefak statis. Di sana pengunjung dapat melihat elemen sejarah, budaya, dan kehidupan sehari-hari dalam versi dinamis, nyata, dan partisipatif-interaktif. Artinya, pengunjung dapat merasakan pengalaman yang dilakukan warga desa dalam kehidupan keseharian.
Cobalah masuk ke pawon atau dapur yang berdinding anyaman bambu. Di sana ada tungku dari tanah liat. Di atas tungku terpasang kuali atau belanga dari bahan gerabah. Di atas perapian dipasang para-para untuk meletakkan kayu bakar untuk memasak. Kayu bakar yang diambil dari ranting dan dahan pohon memang sengaja ditaruh di atas perapian. Selain karena alasan praktis pengambilan, panas dari perapian itu juga akan mengeringkan kayu sehingga mudah digunakan sebagai bahan bakar.
Baca juga: Cornel Simanjuntak: Patriotik, Puitik, Romantik
Di pawon juga tampak peralatan dapur dari anyaman bambu, seperti tampah, dan tenggok. Dari dapur itu pengunjung dapat menghayati, betapa warga desa hidup dekat dengan alam. Mereka memanfaatkan apa yang tersedia di alam: kayu, bambu, yang semuanya ramah lingkungan. Alam memberi warga desa apa yang mereka butuhkan, dan warga desa pun merawat lingkungan yang menghidupi mereka. Di museum tersebut, kehidupan dapur ini disebut Kebon Pawon.
Living Museum mengajak kita melihat kehidupan nyata dan ikut mempraktikkan kehidupan tersebut. Di bagian museum yang disebut Kebon Tanduran, pengunjung diajak menumbuk padi menggunakan lumpang kayu dan alat penumbuk yang disebut alu. Adapun di Kebon Empon-empon, tangan-tangan kita juga diajak merasakan pengalaman menggiling bahan pembuat jamu yang ditempatkan di atas telenan batu. Alat penumbuk yang disebut gandik juga terbuat dari batu berbentuk silinder. Dan lidah kita diminta mencecap rasa jamu, seperti misalnya beras kencur. Lewat cara tersebut, kita diajak masuk ke dalam kehidupan masa lalu, menengok tradisi yang mungkin telah terlupakan, terlindas modernitas.
Pengalaman interaktif memang menjadi salah satu ciri Living Museum. Berkunjung ke Kebon Pasinaon, kita bukan hanya menonton, melainkan juga menjadi pelaku aktif. Dengan diajak masuk ke dapur, menumbuk padi, membuat jamu kita diajak mengalami kehidupan masa lalu. Untuk sejenak kita diajak memerankan diri sebagai warga Desa Sirahan dan menjalani keseharian hidup mereka. Kita dapat terlihat secara emosional.
Pengunjung diajak melihat permainan anak-anak desa di seksi Kebon Dakon. Di sana ada pertunjukan kuda lumping, permainan egrang bambu, egrang batok, dan kuda-kudaan dari pelepah daun pisang. Bukan sekadar tontonan, pengunjung diajak bermain egrang bambu, dan egrang batok, dan kuda lumping tersebut. Motorik kasar dan halus mereka diajak ikut terlibat. Pengunjung anak-anak, dan remaja yang hidup di era ponsel mendapat pengalaman bermain seperti anak-anak di perdesaaan. Mereka dirangsang untuk menghubungkan konteks masa lalu dengan kehidupan sekarang.
Baca juga: Simfoni dari Lagu ”Sederhana” Koes Plus
Lewat bermain egrang, misalnya, pengunjung tidak sekadar belajar menyeimbangkan badan. Jika ditekuni, dihayati secara intensif, dari bermain egrang orang dapat belajar untuk menyeimbangkan diri dengan kehidupan di sekitarnya. Dalam hal ini, Living Museum ini sangat membantu proses pembelajaran, dengan cara yang menyenangkan. Dengan berbagai obyeknya, Kebon Pasinaon sebagai museum hidup juga menjadi sarana untuk melestarikan tradisi yang mungkin terlupakan dalam kehidupan hari ini.
Dunia kecil
Dusun Glagah sebenarnya ”hanyalah” dunia kecil. Warga dusun mewarisi kehidupan luhur yang dibangun para leluhur. Juga mewarisi anugerah alam berupa sungai dan kesuburan tanahnya. Kebon Pasinaon sebagai Living Museum menjaga otentisitas warisan tersebut agar tak tergerus gemuruh zaman. Agar dusun tidak menjadi seragam dengan dusun-dusun lain.
Di Kebon Pasinaon Living Museum, obyek-obyek itu tidak membeku di ruang masa lalu. Ia hadir dengan segala otentisitasnya, untuk menyapa manusia hari ini, agar mereka dapat dengan bijak menatap dan menata masa depan.
Frans Sartono, Wartawan Kompas Gramedia 1989-2019