Pemimpin Itu Dipilih, Bukan Dijatuh-cintai
Akui kelebihannya, cermati kekurangannya. Para pemimpin ini manusia biasa, pada suatu titik akan terbuka sisi lainnya.
Beberapa minggu lalu, sebelum demonstrasi massa 22 Agustus 2024 pecah, saya bertemu seorang kawan. Salah satu ketua ormas terbesar Indonesia, ia manusia super sibuk—sehingga saat ia mengajak ngopi langsung saya sambut. Tak terasa ngopi berlangsung sekian jam karena kami larut dalam obrolan.
Salah satunya soal kenapa orang Indonesia sulit sekali menilai pemimpin dari prestasinya, tapi lebih dari kesenangan pada sosoknya. Selera pribadi, bukan meritokrasi. Identitas sosok, bukan ideologi parpol.
”Ya habis gimana, masyarakat kita kan modelan paternalisme,” ujar sang kawan setengah jengkel. Paternalisme, di mana nasib sekelompok pengikut sepenuhnya ditentukan tokoh teratas, sosok paternal (kebapakan), tanpa sang pengikut mempertanyakan baik-buruknya keputusan yang diambil atas nama dan untuk pengikut.
Contoh ekstrem paternalisme adalah sistem perbudakan di Amerika Serikat beberapa abad lalu. Budak bebas diperjualbelikan seperti properti, diganti nama belakangnya seperti pemilik, dipaksa kerja mengikuti peraturan yang ia tak pernah rundingkan dan secara harafiah ditentukan hidup-matinya oleh pemiliknya. Tentu ada aspek pemaksaan dalam skema ini karena siapa juga yang sukarela menjadi budak, tapi saya lumayan menangkap apa yang dimaksud sang kawan. Apalagi karena menurut saya, jujur saja, ormas tempatnya bernaung juga menganut praktik paternalisme terstruktur.
Baca juga: Kebaya dan Keseharian
Kembali kepada mayoritas rakyat Indonesia, entah karena paternalisme atau alasan lain, butuh sekali sosok untuk ”diikuti” dan mencarinya dari artis, pejabat, atau bahkan orang tak dikenal, sering atas sekilas tampilan. Beberapa bulan lalu saya menghadiri diskusi di sebuah pusat kebudayaan asing. Seorang hadirin Indonesia memakai kesempatan bertanya bukan untuk mengajukan isu berbobot, namun berbusa-busa mengutarakan kekagumannya atas salah seorang panelis asing. Saya iseng tanya dia, apakah dia memang mengikuti sepak-terjang kerja si panelis sejak lama. Ternyata, seperti saya, dia pun baru tahu tentang si panelis hari itu namun dalam kurun sejam diskusi sudah membangun kekaguman yang begitu membuncah. Saya terpana.
Di media sosial, hal ini macam norma. Kolom komentar di profil media sosial tokoh publik selalu penuh puja-puji berlebihan. Bukan saya tidak pernah melontarkan pujian yang bersifat personal—saya pernah memuji pilihan kain batik Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan sepatu Menlu Retno Marsudi-tapi ya pendek saja dan tidak melebar kemana-mana. Namun, mayoritas warganet kita sering berlebihan dalam berkomentar ke tokoh publik. Mudah sekali ”Paling cakep”, ”Bapak/Ibunya akutuh”, ”Kepadamu Pak/Bu aku…” dan sederet kalimat serupa disematkan. Asli, lebay.
Apalagi setelah 2012, proliferasi media sosial bertemu tendensi lebay ini bisa membuat berhala Mesir Kuno menyesal lahir 5.000 tahun terlalu cepat. Bukan cuma pada tokoh utama, melainkan juga melebar ke keluarga dan lingkarannya. Salah satu pekikan Twitter yang saya ingat adalah memuji kesederhanaan dan keanggunan seorang istri tokoh sampai si pencuit mendambakannya sebagai ibu pribadinya. Heh? Ibu kandung yang hamil 9 bulan dan menyabung nyawa melahirkan mau diganti begitu saja karena sosok baru di panggung publik? Saya seketika unfollow kedua akun tersebut karena sudah di level memuakkan. Dibayar atau tidak mereka mencuit demikian, tetap keterlaluan.
Sebenarnya sentimen serupa juga ditemui di media sosial Amerika Serikat dan Inggris soal politik atau pertengkaran antara Pangeran Harry dan keluarganya, dengan pekikan ”Protect this man/woman at all costs!” menjalar di media sosial seolah Setan sudah di beranda dan hanya tokoh ini yang bisa menyelamatkan umat manusia.
Stop juga terlalu membenci sosok publik, apalagi di ranah politik, karena sampai saat ini parpol Indonesia relatif belum berbasis ideologi dan para tokoh sliweran ganti haluan sesuai datang angin.
Rakyat Indonesia, yang kekecewaan menumpuknya akhirnya meletus seminggu lalu, harus belajar proporsional dalam memandang sosok pemimpin, apalagi kalau baru calon. Akui kelebihannya, cermati kekurangannya. Para pemimpin ini manusia biasa, pada suatu titik akan terbuka sisi lainnya. Kalau selama ini Anda cermat sebenarnya banyak titik untuk marah—pelemahan UU KPK, diobok-oboknya MK, atau makin keringnya kelas menengah. Tapi karena selama ini nyaris menghamba dan menafikan fakta, begitu marah ya meledak dan akhirnya melebar ke hal tidak signifikan seperti aroma badan.
Baca juga: Musikalisasi Fiksi dan Fakta
Rakyat Indonesia, sudahi kebiasaan mengidamkan Ratu Adil dan Joko Piningit, apalagi mencampuradukkan dengan konsep Messiah dan Imam Mahdi. Stop terlalu memuji sosok pemimpin supaya Anda nanti juga tidak merasa mentah-mentah dikibuli dan akhirnya jadi supersakit hati. Kagumi prestasinya setelah ia lakukan, bukan digadang-gadang sebelum masa kerja. Apalagi, melebarkan penghambaan ke anggota keluarganya, tolong jangan lestarikan. Apa faedahnya sampai bertengkar dengan kerabat karena politik atau ngefans sama cucu tokoh, misalnya?
Stop juga terlalu membenci sosok publik, apalagi di ranah politik, karena sampai saat ini parpol Indonesia relatif belum berbasis ideologi dan para tokoh sliweran ganti haluan sesuai datang angin. Dan kalau Anda setia mengikuti berita negara dan memakai hak pilih, dan bukan baru nyoblos setelah kepincut sosok, Anda tahu fakta ini. Jangan seperti seorang seleb Twitter yang tahun 2014 mengamuk menuduh dihalangi nyoblos karena di akunnya keras mendukung capres tertentu, padahal ia tak dapat kartu pilih Pilpres karena tak mengurus kartu Pileg sebelumnya, sesuatu yang ia tak pahami karena seumur-umur golput. Apalagi padahal ia pindah domisili ke provinsi di mana partai capresnya selalu menang, siapa juga yang akan menjegal hak pilihnya di sana? Bodoh kok kuadrat.
Dan yang terakhir, yang sama pentingnya, stop terlalu mengidolakan parpol atau tokoh yang sedang berseberangan dengan penguasa yang (sekarang) Anda anggap lalim. Ingat sekali lagi, mereka cuma manusia seperti kita. Belum tentu disudutkan karena terlalu baik untuk bangsa, bisa jadi karena tawar-menawar politiknya tidak ketemu saja. Simpati boleh, tapi tak perlu jadikan berhala baru karena Anda habis patah-hati dan butuh sosok baru untuk melampiaskan hasrat memuja.
Pemimpin itu dipilih, bukan dijatuh-cintai. Bangunlah rakyat Indonesia, dan cerdiklah sedikit. Sudah mau 80 tahun merdeka, masa kita tak kunjung belajar?
Lynda Ibrahim, penulis dan konsultan bisnis