Seni untuk Keseimbangan Diri
Untuk mewujudkan keseimbangan diri, sebagian orang kembali meluangkan waktu untuk menekuni seni.
Dalam alam amat modern yang kompetitif ini, sebagian orang kembali meluangkan waktu untuk menekuni seni demi memperoleh keseimbangan diri. Dari sisi psikologi, kita memang melihat banyak fungsi dari seni.
Seni merupakan alat ekspresi diri, memungkinkan individu mengekspresikan perasaan, pikiran, dan pengalaman yang kerap sulit disampaikan dalam kata-kata. Karena merupakan alat ekspresi diri, seni dapat jadi sarana katarsis atau pelepasan emosi, bahkan tentang hal yang tak sepenuhnya disadari individu. Dapat dilepaskannya emosi menghadirkan kesadaran lebih jelas dan suasana batin rileks.
Menekuni seni menuntut fokus dan konsentrasi. Ini sekaligus membantu individu dapat melepaskan diri dari pikiran yang mengganggunya dan memindahkan perhatian pada seni yang sedang ditekuni. Kemampuan untuk memindahkan perhatian dari hal-hal yang mengganggu pikiran sekaligus membantu individu beristirahat dan mengembalikan energinya.
Seperti cermin
Seni dapat berperan seperti cermin yang merefleksikan aspek-aspek dalam diri kita, yang sebelumnya kurang terlihat atau disadari. Oleh karena itu, menekuni seni sekaligus memungkinkan kita menemukan diri.
Menyadari perasaan-perasaan yang sebelumnya tidak dimengerti atau tidak jelas serta menemukan nilai-nilai penting, bakat, kemampuan, hingga mimpi dan hasrat-hasrat kita. Karena berbagai hal di atas, dengan sendirinya seni juga dapat memfasilitasi penyembuhan, kemampuan beradaptasi menghadapi situasi sulit, serta pertumbuhan diri.
Baca juga: Psikologi Positif, Upaya Menuju Kebahagiaan
Tampaknya juga menarik untuk membahas singkat temuan penelitian dan permenungan dari Ellen Winner, peneliti psikologi dan seni dari Harvard yang menulis buku How Art Works: A Psychological Exploration (2018). Sebagian tulisan ini pun mengambil acuan dari laman internet The Harvard Gazette pada Harvard University.
Musik, film, dan seni peran
Ellen dan timnya menemukan bahwa musik lebih memungkinkan dibukanya reaksi emosi yang kuat daripada, misalnya, seni visual. Mungkin karena musik perlu dicerna atau dinikmati dalam jangka waktu yang lebih lama dan menjadi bagian yang lebih dekat dengan keseharian kita.
Kita mendengar musik dari radio atau menyetel musik dalam banyak kesempatan. Musik juga memiliki kekhasan menggerakkan emosi pendengar dengan tempo, volume, ketukan, ritme, dan lainnya.
Seni merupakan alat ekspresi diri, memungkinkan individu mengekspresikan perasaan, pikiran, dan pengalaman yang kerap sulit disampaikan dalam kata-kata.
Dengan kemampuan musik seperti di atas, terlebih lagi film. Film adalah seni yang paling kuat menghadirkan emosi karena karakteristiknya yang utuh dalam bercerita, menampilkan gambaran audio-visual yang terus bergerak, yang paling mendekati suasana keseharian kehidupan.
Ada yang bilang bahwa seni akan mengasah empati. Tentang itu, Ellen mengatakan bahwa tidak semua seni memiliki kemampuan yang sama. Ia melakukan penelitian longitudinal bersama mahasiswa S-3-nya pada anak-anak dan remaja yang masuk kelas seni peran. Mereka menggunakan beberapa skala pengukuran.
Setelah jangka satu tahun ikut kelas, ditemukan bahwa anak-anak dan remaja ini memiliki skor empati dan kemampuan memahami perspektif orang lain yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang masuk kelas seni visual.
Tampaknya seni peran karena karakteristiknya yang mungkin lebih utuh dalam ekspresi emosi dan menggambarkan kehidupan, lebih memungkinkan dikembangkannya kemampuan memahami perspektif manusia yang beragam.
Emosi negatif dan positif
Dalam kehidupan nyata, jika mungkin kita akan berusaha menghindar dari emosi-emosi negatif. Sementara itu, menarik bahwa dalam seni, kita tidak menolak emosi-emosi negatif. Kita dapat menikmati novel, pertunjukan, atau film yang sangat sedih atau menyakitkan. Kita mendengarkan musik yang membuat kita merasa berduka dan ingin menangis.
Baca juga: Sentuhan Sisi Seni dan Kreatif Diri
Mengapa bisa ada paradoks di atas? Menurut Ellen, penjelasannya adalah ketika kita melihat sesuatu sebagai seni, misalnya mengenai suatu film dengan konteks perang, kita dapat melihat dua sisi. Sisi pertama, ada cerita kekejian, kesedihan, dan ketakutan dalam film.
Saat menonton, kita dapat dan bahkan sering membayangkan atau menempatkan diri di sana. Dengan demikian, cerita atau emosi (negatif) yang kita tangkap jadi terasa lebih nyata.
Di sisi lain, banyak pula sisi dan emosi positif yang dapat diperoleh atau dirasakan. Perasaan-perasaan negatif yang dimunculkan karya seni itu sekaligus berpasangan dengan hal-hal positif. Kita belajar mengenai banyak hal, memperoleh pengetahuan dan kesadaran baru. Misalnya, tentang pencahayaan, pencampuran warna, dan kekuatan akting.
Satu hal penting yang memudahkan dapat dihayatinya emosi-emosi positif adalah kita (penikmat seni) tahu bahwa bukan diri kita yang ada di sana. Jika pun karya seni tersebut terkait dengan kisah nyata dan kita berempati dengan tokoh dalam cerita, kita dapat memisahkan diri dari apa yang disuguhkan dan melihatnya sebagai sesuatu yang dapat dinikmati.
Baca juga : Melihat Karya Seni secara Daring, Cukup untuk Perbaiki ”Mood” Anda
Ellen mengutip pendahulunya, filsuf Nelson Goodman, yang mengatakan, ”Jangan bertanya mengenai yang disebut seni itu yang seperti apa, sih?” Lebih baik bertanya, ”Kapan sesuatu merupakan seni?” Segala sesuatu dapat kita lihat sebagai seni atau sebaliknya, bukan seni.
Ketika kita melihatnya sebagai seni, ada kacamata baru yang kita pakai, yakni cara melihat secara estetik. Misalnya, lagu tentang perpisahan memunculkan kesedihan, tetapi aransemennya amat indah sehingga memunculkan emosi positif. Atau dalam lukisan digambarkan pohon kering mengesankan kematian, tapi sekaligus dilukiskan dengan piawai menghadirkan kekaguman dan pengetahuan baru.
Demikianlah seni dapat membantu penemuan dan pertumbuhan diri kita. Tampaknya seni—dalam bagian-bagian tertentu—merefleksikan kehidupan itu sendiri. Mungkin ada sisi-sisi negatif dalam hidup dan seni, tetapi juga ada sisi-sisi positif, yaitu estetika dan keindahannya.