Tempo Doeloe
Kita telanjur terdidik menilai masa kolonial itu serba abnormal. Seakan-akan kehidupan kapitalis masa kini normal.
Kenangan manis dari masa kolonial lazim disebut Tempo Doeloe. Gairah pada Tempo Doeloe kini marak di kota-kota di Jawa. Tidak sekadar mewarisi peninggalan kolonial, tetapi menciptakan yang sebelumnya tidak ada. Misalnya dalam proyek ”kota lama”, ”kota tua” atau heritage. Atau pada nama, desain, dekorasi bangunan atau menu restoran.
Juga sebagai tema acara hiburan. Di Malang diadakan Tong-tong Market Night (25-28 Juli 2024), lanjutan acara serupa tahun 2022. Untuk berbelanja pengunjung harus menukar uang rupiah dengan kupon ”gulden”, yakni nama mata-uang Belanda sebelum diganti euro.
Nostalgia pada masa lampau wajar. Dulu berkiblat pada fantasi kejayaan Majapahit atau Sriwijaya. Di Yogya sudah lama nama-nama jalan dalam aksara Romawi diberi tambahan aksara Jawa-nya. Kini beda. Di sejumlah kawasan elite Kota Malang di bawah nama-nama jalan tertera nama Belanda-nya.
Belanda sedang bergulat mengatasi aib sejarah kolonial. Mereka mengupayakan dekolonisasi.
Di Malang, nama-nama jalan utama berbahasa Indonesia dijadikan ikon hiasan raksasa dengan ejaan dari masa kolonial. Misalnya huruf ”u” dieja ”oe”. Sebagian nama jalan itu pernah diganti Orde Baru dengan nama-nama tentara. Warisan Orde Baru semakin tergeser dari perhatian publik. Lambang singa dari masa pemerintahan kolonial di Malang, bukan garuda, menghiasi tiang-tiang lampu eksotik di sekeliling alun-alun di depan Balai Kota dan Gedung DPRD Malang.
Belanda sedang bergulat mengatasi aib sejarah kolonial. Mereka mengupayakan dekolonisasi. Belum lama Raja dan Perdana Menteri mereka minta maaf kepada Indonesia. Apa yang sedang terjadi di Indonesia? Mendadak rindu Tempo Doeloe kolonial? Atau berdamai dengan masa lampau?
Baca juga: Indo
Apakah ini tren terbaru budaya pop karena pasar industri hiburan mulai jenuh dengan Amerikanisasi, K-pop, dan budaya pop Islami? Atau ini menyaingi tren neo-feodalisme dan politik dinasti pra-kolonial? Bagaimana tren mutakhir itu kini bisa bersanding damai dengan wacana publik yang penuh dendam kepada penjajah Belanda? Sejauh ini kontradiksi tersebut tampaknya diabaikan publik.
Sebelum dijawab, perlu dibedakan berbagai watak pada ungkapan Tempo Doeloe mutakhir walau tampilannya mirip dan sama-sama berslogan pariwisata. Tong-tong Market Night di Malang hakikatnya anjang pemasaran para pedagang. Profit finansial menjadi tujuan utama mereka.
Tong-tong di Malang jelas mengekor acara Tong-tong di Belanda yang jauh lebih besar, tua dan tenar. Ironisnya, sementara yang di Malang berjalan meriah, dua bulan sebelumnya Tong-tong di Belanda dibatalkan karena penyelenggaraanya bangkrut.
Tong-tong di Belanda awalnya merupakan bagian dari gerakan sosial dan politis kaum peranakan Indo pasca-kemerdekaan RI. Mereka korban kebijakan negara yang rasis, baik di Indonesia maupun di Belanda. Terusir paksa dari tanah airnya di Indonesia, mereka ditampung, tetapi sekaligus menderita diskriminasi di Belanda.
Tong-tong di Belanda berniat mewarisi sejarah kolonial Hindia Belanda sebagai milik bersama Belanda-Indonesia. Banyak tokoh dari Indonesia diundang tampil di panggung mereka. Sebaliknya, Tong-tong di Malang kurang peduli sejarah kolonial dan miskin wawasan global. Sebagian besar acara mereka mempromosikan budaya lokal atau etnis tradisional. Penggunaan kupon gulden dan nama Tong-tong hanya embel-embel yang dicomot dari masa lalu tanpa bobot kesejarahan.
Baca juga: Aib
Kepedulian pada sejarah milik bersama Indonesia-Belanda malah hadir pada kebijakan lembaga negara non-profit, yakni pemerintah daerah Malang. Misalnya pada lambang singa di tiang lampu alun-alun di Malang atau imbuhan nama jalan Belanda. Tak ada kaitan langsung antara tampilan Tempo Doeloe semacam itu dengan keuntungan finansial. Begitu juga kegenitan mengganti ejaan ”u” dengan ”oe” di kalangan masyarakat swasta.
Apa pun motif dan tujuannya, gairah pada Tempo Doeloe belakangan ini sah-sah saja. Gejala itu mungkin tampak ganjil atau aib bagi mereka yang masih tercuci-otak propaganda nasionalis antikolonial dari zaman revolusi. Di situ sejarah kolonial digambarkan secara karikatural, seakan-akan hanya kisah penindasan.
Sementara rakyat pribumi berkulit coklat serba melarat dan tersiksa. Padahal, tanpa beramai-ramai dibantu bangsa terjajah, pemerintahan kolonial macet sebab jumlah orang Eropa terlalu sedikit.
Narasi karikatural begitu tersebar liar dalam aneka format, dari pelajaran sekolah dan pidato pejabat hingga pawai dan festival HUT proklamasi kemerdekaan, komik, gosip, dan lelucon sehari-hari. Hampir semua film komersial nasional bertema sejarah kolonial menggambarkan orang Eropa serba jahat. Sementara rakyat pribumi berkulit coklat serba melarat dan tersiksa. Padahal, tanpa beramai-ramai dibantu bangsa terjajah, pemerintahan kolonial macet sebab jumlah orang Eropa terlalu sedikit.
Kita telanjur terdidik menilai masa kolonial itu serba abnormal. Seakan-akan kehidupan kapitalis masa kini normal. Kita heran dulu banyak orang Indonesia suka, bahkan bangga menjadi pegawai, tentara atau intel pemerintah kolonial. Tetapi, kita merasa biasa atau bangga bila kawan dan kerabat bekerja untuk perusahaan besar dalam jaring kapitalisme global. Di antara kita banyak yang bangga berfoto bersama pejabat, apalagi mendapat jabatan dalam pemerintahan di negeri yang penuh korupsi dan terlibat pelanggaran berat hak asasi manusia.
Baca juga: Nama Jalan
Di setiap zaman ada tokoh yang menggugat tata-sosial. Juga di masa kolonial. Jumlahnya sangat sedikit, tetapi peran mereka dibesar-besarkan dalam narasi resmi nasionalistik. Bagi mayoritas warga kolonial, kehidupan sehari-hari terasa normal berkat normalisasi tata-sosial yang tidak normal.
Mereka tahu ada diskriminasi hukum dan politik. Mereka sadar ketimpangan ekonomi dan pendidikan. Tetapi, semua itu diterima pasrah, diabaikan, dianggap lumrah, takdir atau dianggap sulit digugat. Mirip dengan pandangan umum dalam masyarakat kita masa kini melihat kebobrokan sosial dan politik di sekitarnya.
Baca juga: Pascakolonial
Banyak aspek Tempo Doeloe terabaikan dalam narasi resmi. Kini, ia mulai marak di mana-mana. Apakah masyarakat kita lebih siap menengok kembali sejarah kolonial dengan lebih dingin, santai, dan kritis? Lebih peka dan terbuka pada berbagai aspek kehidupan kolonial yang kaya nuansa, tetapi selama ini lenyap dalam narasi resmi yang karikatural hitam-putih? Sementara ini jawabnya belum cukup jelas.
Ariel Heryanto,Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia