”Kerumunan yang Kesepian” dan Identitas Indonesia
Seimbang merangkul modernitas dan menghormati warisan budaya, kita dapat melampaui kesepian di kerumunan kolektif.
Konsep ”kerumunan yang kesepian”, seperti yang diartikulasikan oleh sosiolog David Riesman dalam karya pentingnya, The Lonely Crowd: A Study of the Changing American Character (1950), menggambarkan sebuah masyarakat di mana individu-individu, meskipun dikelilingi oleh orang lain, mengalami keterasingan dan keterputusan yang mendalam.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di masyarakat Barat, tetapi juga beresonansi dengan konteks Indonesia, sebuah negara yang memiliki keragaman budaya, bahasa, dan identitas.
Tulisan ini bertujuan mengeksplorasi persinggungan konsep Riesman dengan identitas Indonesia, menganalisis bagaimana globalisasi, modernisasi, dan keragaman budaya berkontribusi pada rasa keterasingan di tengah-tengah keberadaan komunal.
Tesis Riesman adalah masyarakat modern bergeser dari karakter ”diarahkan-tradisi” (tradition-directed) ke karakter ”diarahkan ke dalam” (inner-directed) dan akhirnya ke karakter ”diarahkan yang lain” (other-directed). Individu yang diarahkan oleh tradisi, berpegang teguh pada adat dan nilai yang sudah mapan. Individu yang diarahkan ke dalam, dipandu oleh seperangkat nilai pribadi yang terinternalisasi.
Baca juga: Runtuhnya Manusia Publik
Sementara tahap terakhir, sebagai inti visi dari karya Riesman, individu menjadi semakin bergantung pada validasi eksternal dan ekspektasi masyarakat, yang mengarah pada keterlibatan yang dangkal dengan komunitas masyarakatnya. Individu juga lebih rentan terhadap manipulasi dan kontrol oleh kekuatan sosial yang kuat, seperti media dan iklan.
Singkatnya, transformasi ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang identitas, bagaimana individu memandang diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan orang lain dan bagaimana perubahan sosial memengaruhi identitas pribadi dan budaya.
Pluralitas kultur
Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau dan lebih dari 300 kelompok etnis, bisa menjadi studi kasus yang unik untuk memahami identitas dalam masyarakat yang majemuk. Semboyan bangsa, ”Bhinneka Tunggal Ika”, mencerminkan komitmen untuk merangkul kemajemukan ini.
Namun, tantangan untuk mempertahankan identitas nasional yang kohesif di tengah-tengah ekspresi budaya yang beragam sering kali menimbulkan perasaan yang berbeda, cenderung mengarah pada perasaan terisolasi dan terputus di antara individu-individu.
Globalisasi telah mengintensifkan dinamika ini. Masuknya budaya, ide, dan nilai-nilai asing telah menciptakan lanskap yang kompleks yang menyebabkan identitas tradisional ditantang.
Banyak orang Indonesia menemukan diri mereka berada di antara akar budaya asli dan tekanan modernitas, yang mengarah pada perasaan terfragmentasi. Fragmentasi ini sejalan dengan gagasan Riesman tentang ”kerumunan yang kesepian”, ketika individu-individu, meskipun menjadi bagian dari komunitas yang dinamis, merasa terisolasi dalam pencarian identitas mereka.
Dampak globalisasi terhadap masyarakat Indonesia sangat signifikan. Ketika bangsa ini berintegrasi ke dalam ekonomi global, tatanan tradisional kehidupan masyarakat sering kali dirusak. Dalam Globalization and Its Discontents (2002), Joseph Stiglitz, pakar dan peraih nobel di bidang ekonomi, berpendapat bahwa globalisasi dapat memperburuk ketidaksetaraan dan mengasingkan individu dari warisan budayanya.
Dalam konteks Indonesia, hal ini termanifestasi dalam bentuk migrasi urban, ketika orang-orang berbondong-bondong datang ke kota untuk mencari peluang ekonomi, dan sering kali meninggalkan ikatan kekeluargaan dan budayanya. Lingkungan perkotaan, meskipun penuh dengan aktivitas, secara paradoks dapat menumbuhkan rasa kesepian.
Anonimitas kehidupan kota, ditambah dengan tekanan kompetisi, sering kali menyebabkan rasa keterputusan dan keterasingan. Saat individu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan harapan masyarakat global, mereka dapat menekan identitas budaya mereka, yang mengarah pada konflik internal.
Konflik internal ini menyiratkan gejolak ”kerumunan yang kesepian”. Fenomena semacam ini sebenarnya telah diilustrasikan dengan tajam dalam karya-karya Pramoedya Ananta Toer, yang mengeksplorasi tema-tema keterasingan dan identitas dalam narasinya.
Ketika teknologi menjadi orientasi baru dan mengubah wajah peradaban kontemporer, teknologi memainkan peran penting dalam membentuk identitas individu. Platform media sosial menciptakan komunitas virtual yang secara bersamaan dapat menghubungkan dan mengisolasi individu.
Sherry Turkle melalui Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (2011) mengatakan bahwa teknologi dapat menimbulkan rasa keterhubungan dan kesepian yang paradoksal. Fenomena ini juga terjadi di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Anonimitas kehidupan kota, ditambah dengan tekanan kompetisi, sering kali menyebabkan rasa keterputusan dan keterasingan.
Media sosial berfungsi sebagai sarana untuk mengekspresikan identitas budaya dan terhubung dengan orang lain. Namun serentak mengarah pada interaksi yang dangkal yang gagal memenuhi kebutuhan emosional yang lebih dalam.
Platform digital memungkinkan berkembangnya beragam ekspresi budaya, yang memungkinkan individu mengeksplorasi dan menegaskan identitas mereka dengan cara yang sebelumnya tidak terbayangkan. Namun, pada saat yang sama, keterlibatan digital ini sering kali tidak memiliki kedalaman dan keaslian yang ditemukan dalam interaksi tatap muka/perjumpaan fisik.
Ketika individu mengkurasi persona online, individu-individu ini mungkin merasa terdorong untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi masyarakat, yang semakin memperdalam rasa keterasingan. Individu terlibat dalam komunitas virtual, tetapi merasa terisolasi dalam lingkungan sosial terdekat mereka. Individu mengalami suatu kondisi ”kesepian sosial” di dalam diri mereka sendiri.
Media sosial seperti Facebook, Instagram, Tiktok, dan Youtube telah menciptakan budaya perbandingan dan validasi yang konstan, membentuk cara orang Indonesia menampilkan diri dan interaksi sosial mereka. Kultur baru seperti standar kecantikan, kesuksesan, dan kebahagiaan pun lahir.
Baca juga: Media Sosial Mencuri Kebahagiaanmu
Prevalensi pemengaruh (influencer) media sosial dan selebritas membentuk tren populer dan perilaku masyarakat. Cukup banyak masyarakat Indonesia yang menjadikan figur-figur tertentu sebagai panduan dalam hal fashion, pilihan gaya hidup, preferensi kuliner, dan bahkan opini politik. Gaya hidup Barat, tren K-pop, konsumerisme, dan materialisme di kalangan masyarakat Indonesia menjadi semakin populer.
Namun, seiring dengan fenomena ini, muncul kecemasan sosial, rasa rendah diri, dan krisis identitas di kalangan masyarakat Indonesia, terutama kaum muda.
Kecenderungan-kecenderungan ini berkontribusi pada terkikisnya keaslian dan keunikan diri yang kehilangan ruang untuk berkembang karena kuatnya pengaruh ekspektasi atau opini orang lain di luar diri bahkan kultur asing. Pada tingkat yang paling ekstrem, ketidakmampuan untuk memenuhi validasi dan konformitas eksternal ini, membawa individu pada keputusan-keputusan yang tidak rasional dan berisiko seperti bunuh diri.
Perumusan kembali identitas
Terlepas dari tantangan yang ditimbulkan oleh globalisasi dan kemajuan teknologi, perihal ketahanan budaya Indonesia senantiasa menawarkan jalan bagi perumusan kembali identitas yang melampaui perasaan kesepian di tengah keramaian. Kebangkitan kembali praktik-praktik tradisional, seni, dan bahasa atau upaya-upaya yang berkaitan dengan kegiatan promosi budaya, berfungsi sebagai narasi tandingan terhadap keterasingan yang dialami masyarakat modern terutama Indonesia.
Proses perumusan kembali identitas perlu melibatkan partisipasi aktif dari individu dan komunitas. Para seniman, penulis, dan praktisi budaya memainkan peran penting dalam dialog ini, menggunakan platform mereka untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan nuansa identitas Indonesia. Melalui sastra, musik, dan seni visual, mereka dapat merayakan kekayaan warisan budaya Indonesia.
Selain itu, pendidikan juga berperan penting dalam proses perumusan ulang ini. Dengan memasukkan subyek sejarah, budaya, musik, dan bahasa lokal ke dalam kurikulum nasional, misalnya, Indonesia dapat menanamkan rasa bangga dan memiliki di kalangan generasi muda. Pendekatan pendidikan ini mendorong siswa (sebagai generasi masa depan) untuk menghargai latar belakang masing-masing yang beragam sambil menumbuhkan identitas kolektif yang melampaui perbedaan regional dan etnis.
Antropolog budaya, Susan Blackburn (1987), menegaskan pentingnya warisan budaya dalam menumbuhkan rasa memiliki dan identitas. Inisiatif masyarakat yang bertujuan melestarikan tradisi lokal dan mempromosikan pertukaran budaya dapat mengurangi perasaan terisolasi. Dengan terlibat dalam kegiatan kolektif yang merayakan warisan budaya, individu dapat menjalin hubungan yang bermakna dengan orang lain, memperkuat rasa identitas.
Pencarian identitas di tengah kemajemukan budaya dan tekanan modern dapat membangkitkan perasaan putus asa dan terisolasi.
Kebangkitan budaya ini sejalan dengan gagasan Riesman tentang individu yang ”terarah dari dalam diri” (inner-directed) yang menarik kekuatan dari akar budayanya, menolak tekanan konformitas yang dipaksakan oleh orang lain.
Implikasi filosofis dari ”kerumunan orang yang kesepian”juga meluas melampaui sosiologi hingga ke pertanyaan eksistensial tentang sifat identitas itu sendiri. Karya-karya filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dalam Existentialism is a Humanism (2007) dan Martin Heidegger dalam Being and Time (1962) memberikan wawasan yang berharga tentang kondisi manusia dalam menghadapi keterasingan.
Pernyataan Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi menggarisbawahi gagasan bahwa individu harus membangun identitas mereka di dunia yang sering kali merasa tidak peduli dengan keberadaan mereka. Dalam konteks Indonesia, perjuangan eksistensial ini sangat terasa.
Pencarian identitas di tengah kemajemukan budaya dan tekanan modern dapat membangkitkan perasaan putus asa dan terisolasi. Namun, seperti yang dikatakan Heidegger, eksistensi yang otentik muncul dari kesadaran akan keberadaan seseorang di dalam dunia.
Maka, dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa upaya melibatkan diri dengan warisan budaya dan merangkul identitas unik masing-masing, masyarakat Indonesia dapat melampaui kesepian di tengah kerumunan kolektif dan menumbuhkan rasa memiliki yang berakar kuat dalam sejarah dan pengalamannya.
Keseimbangan
Diskusi tentang ”kerumunan yang kesepian” selalu menawarkan lensa yang mendalam untuk melihat kompleksitas identitas dalam masyarakat modern, terutama di Indonesia. Ketika globalisasi dan kemajuan teknologi membentuk kembali dinamika masyarakat, individu-individu bergulat dengan perasaan terisolasi dan terputus.
Namun, ketahanan budaya Indonesia dan kebangkitan praktik-praktik tradisional yang terkait dengan kearifan budaya memberikan jalan bagi pembentukan kembali identitas autentik, yang memungkinkan individu-individu menjalin hubungan yang bermakna di komunitas mereka masing-masing hingga ke hubungan lintas komunitas.
Bagaimanapun gagasan tentang identitas merupakan hal yang penting seperti yang dikatakan oleh Charles Taylor dalam Sources of the Self (1989). Taylor menekankan pentingnya narasi dalam membentuk siapa diri kita. Alasdair MacIntyre melalui After Virtue (1981) juga mengingatkan bahwa individu modern sering kali tidak memiliki narasi yang koheren yang mengintegrasikan kehidupan pribadi dan komunal mereka, yang menghasilkan rasa diri yang terfragmentasi.
Baca juga: Tradisi dan Kesadaran
Oleh karena itu, narasi kebangkitan tradisi/budaya dapat menjadi sarana untuk merumuskan kembali identitas autentik masyarakat bangsa ini.
Pergeseran karakter sebagaimana dianalisis oleh Riesman menjadi tantangan sekaligus peluang untuk mendefinisikan kembali apa artinya menjadi diri sendiri, menjadi Indonesia. Pada akhirnya, hal paling menentukan terletak pada keseimbangan antara merangkul modernitas dan menghormati warisan budaya.
Kesanggupan membina lingkungan (komunitas) di tiap daerah untuk merayakan keberagaman dan mendorong interaksi yang tulus, Indonesia dapat memupuk rasa memiliki yang melampaui rasa kesepian di tengah kerumunan manusia modern dan tawaran produk-produk globalisasi. Dengan demikian, memungkinkan setiap orang berkembang dalam identitas masing-masing sambil berkontribusi pada kekayaan budaya bangsa.
Andreas Maurenis Putra, Lulusan S-2 Fakultas Filsafat, Unika Parahyangan, Bandung