Raja Versus Pemimpin
Masyarakat yang akan menilai apakah sang raja atau ratu baru kompeten dan berpengalaman atau tidak.
Raja dan pemimpin adalah dua kata yang sering kita dengar. Di dunia ini, hanya segelintir negara yang memiliki kepala negara seorang raja atau ratu, itu pun dengan kewenangan eksekutif yang amat terbatas. Bahkan, negara seperti Malaysia, posisi raja (disebut Yang Dipertuan Agung) dijabat bergilir setiap lima tahun di antara sultan-sultan sembilan negara bagian di Malaysia.
Saat ini Yang Dipertuan Agung dijabat oleh Sultan Ibrahim yang juga merupakan Sultan Johor. Dengan kata lain, tidak semua posisi raja atau ratu dijabat secara turun-temurun seperti di Inggris dan Belanda. Di Indonesia sendiri, hanya ada satu raja yang diakui secara formal, yaitu Sultan Hamengku Buwono X yang merupakan Raja Kesultanan Yogyakarta sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Konsep raja ini awalnya sejalan dengan trait approach dari teori kepemimpinan. Menurut Kreitner dan Kinicki (2012), pendekatan ini mengidentifikasi seorang pemimpin dari karakteristik fisik atau kepribadian seseorang. Sejumlah pakar kepemimpinan ternama mencoba mengidentifikasi karakter apa saja yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin.
Upaya ini diawali oleh Stogdill di tahun 1948 yang menyebutkan lima karakteristik seorang pemimpin, yaitu intelligence (cerdas), dominance (dominan), self-confidence (percaya diri), high level of energy and activity (enerjik dan aktif), dan task-relevant knowledge (memiliki pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan).
Sekian puluh tahun kemudian, Kouzes dan Posner (1987) menemukan, dari dua puluh ribu responden di seluruh dunia, empat karakteristik utama seorang pemimpin, yaitu honesty (kejujuran), forward-looking (berwawasan masa depan), inspiring (menginspirasi), dan competent (kompeten). Rentang hampir empat puluh tahun menghasilkan kumpulan karakteristik yang berbeda.
Sejalan dengan trait approach adalah Great Man Theory. Thomas Carlyle (1841), salah satu penyokong teori ini, mengatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan disiapkan. Pemimpin lahir dari siapa? Logikanya pemimpin saat ini lahir dari pemimpin sebelumnya karena karakter anak akan menyerupai karakter orangtuanya. Itulah mengapa dalam konsep monarki kuno yang masih dianut oleh kerajaan yang sudah berabad-abad usianya, seperti Inggris dan Belanda, hanya keturunan raja atau ratu yang bisa menjadi pemimpin suatu negara. Namun, Kellerman (2004) menemukan karakteristik buruk seorang pemimpin, yaitu incompetent (tidak kompeten), rigid (kaku), intemperate (kurang dapat mengontrol diri), callous (mengabaikan kebutuhan dan keinginan para anggotanya), corrupt (korup), insular (tidak peduli pada kesejahteraan dan kesehatan para anggotanya), dan evil (suka menggunakan kekuasaannya untuk melukai, secara fisik maupun mental, para anggotanya). Memang karakter buruk tersebut baru diungkapkan di abad ke-21, tetapi sebagian masyarakat sudah lama sadar akan hal ini, termasuk karakteristik buruk raja atau ratu mereka. Makanya, terjadi penolakan terhadap monarki, bahkan masyarakat tak segan-segan menjungkalkan raja atau ratu mereka sendiri.
Lihatlah, umpamanya, Raja Louis XVI, raja Perancis yang berkuasa di abad ke-18. Ia terlahir sebagai Louis-Auguste. Sebagai seorang putra mahkota, Louis-Auguste mendapatkan pendidikan yang superistimewa. Sayang, usianya masih terlalu muda ketika ia terpaksa dinobatkan menjadi raja karena ayahandanya meninggal sehingga masih sangat kurang berpengalaman. Akibatnya, ia tak mampu menunjukkan perilaku yang sepatutnya. Sebagian karakteristik menyimpang yang diungkapkan Kellerman bahkan dimiliki oleh Raja Louis XVI.
Thomas Carlyle (1841), salah satu penyokong teori ini, mengatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan disiapkan. Pemimpin lahir dari siapa?
Sang baginda memang ingin dicintai rakyatnya, tetapi keputusan-keputusan yang ia ambil menunjukkan ia kurang kompeten dan kurang jam terbang. Selain itu, ia suka menghambur-hamburkan uang negara. Bayangkan saja, kebutuhan istana mencapai 13 persen dari anggaran negara! Kita semua tahu akibatnya yang ironis: ia digulingkan rakyatnya sendiri.
Penolakan terhadap monarki macam Raja Louis XVI seolah mengukuhkan pandangan bahwa menjadi seorang pemimpin tidak melulu soal karakteristik dan tidak turun-temurun. Artinya, anak seorang pemimpin tidak otomatis bisa menjadi pemimpin karena kunci kepemimpinan bukan hanya pada karakteristik, melainkan juga pada perilakunya. Perilaku ini tidak serta-merta timbul, melainkan harus disiapkan dengan matang.
Adanya celah di trait approach melahirkan behavior approach. Pendekatan perilaku merupakan respons atas kegundahan para pakar kepemimpinan pada berbagai fakta yang melemahkan trait approach. Pelopor pendekatan ini adalah para peneliti dari Ohio State University. Dengan menggunakan leader behavior description questionnaire (LBDQ), pada pertengahan tahun 1940, mereka mencari tahu perilaku pemimpin apa saja yang berpengaruh pada kinerja pemimpin.
Dari 150 perilaku yang ditanyakan kepada para responden yang menjadi pemimpin saat itu, ternyata pilihan mereka mengerucut pada dua perilaku, yaitu apa yang disebut consideration dan initiating structure. Consideration merupakan perilaku yang menunjukkan rasa saling menghormati dan percaya antara pemimpin dan para pengikutnya, serta menunjukkan perhatian pemimpin kepada kebutuhan dan keinginan para pengikutnya. Adapun initiating structure merupakan perilaku pemimpin yang mengorganisasikan dan mengatur kerja para pengikutnya agar mereka menghasilan kinerja yang maksimal.
Studi lanjutan yang dilakukan oleh University of Michigan di tahun 1950-an mendapatkan hasil yang serupa dan melengkapi temuan Ohio State University. Studi ini mengerucutkan perilaku kepemimpinan pada tiga perilaku, yaitu mengembangkan hubungan yang saling mendukung antara pemimpin dan para pengikutnya, melakukan supervisi yang kolektif (tidak hanya vertikal dari pemimpin ke pengikut, tetapi juga horizontal di antara sesama pengikut), dan menetapkan tujuan kinerja yang tinggi.
Terlepas dari berbagai temuan empirisnya, pesan pendekatan perilaku sesungguhnya hanya satu: seberapa baiknya karakteristik seseorang, karakteristik tersebut tak akan membuatnya menjadi pemimpin yang baik apabila perilakunya tak sesuai atau sejalan. Raja atau ratu pun tak terkecuali. Jadi, lengsernya raja, atau siapa pun pemimpin organisasi bukan semata karena karakter mereka, melainkan hampir pasti karena perilaku mereka yang tak patut, yang menunjukkan mereka tidak kompeten dalam memimpin karena kurang disiapkan dan atau kurang berpengalaman.
Menjadi seorang raja (atau ratu) bisa saja merupakan sebuah kepastian. Sebagai anak sulung raja atau ratu sebelumnya, ia otomatis akan menjadi raja atau ratu. Namun, pada akhirnya, masyarakat yang akan menilai apakah sang raja atau ratu baru kompeten dan berpengalaman atau tidak. Refleksi dan pandangan ini yang dituangkan oleh Sultan Hamengku Buwono IX di bukunya yang diberi judul Takhta untuk Rakyat. Sultan HB IX menunjukkan bahwa meski secara de jure takhta adalah haknya, secara de facto, takhta adalah milik rakyat yang sewaktu-waktu dapat diambil oleh pemilik yang sebenarnya. Oleh karena itu, selama menjadi raja, Sultan HB IX selalu mengedepankan kepentingan rakyatnya.
Selama pendudukan Jepang, misalnya. Sultan memainkan peran penting dalam melindungi Yogyakarta dari dampak buruk perang. Ia menggunakan pengaruhnya untuk memastikan bahwa rakyatnya tetap mendapat perlindungan dan dukungan di masa-masa sulit ini. Pascakemerdekaan, Sultan HB IX selalu menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Ia juga dikenal sebagai pemimpin yang rendah hati, bersahaja, dan berdedikasi tinggi, serta tetap menunjukkam komitmennya untuk mengabdi kepada rakyat, bukan untuk memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan pribadi.
Sikap dan perilaku tersebut menunjukkan, meski Sultan HB IX sudah dibekali kelak untuk menjadi seorang raja, karakteristik Sultan yang sesungguhnya telah mumpuni tetap diikuti oleh komitmen dan konsistensi tindakan yang berfokus kepada rakyat. Sultan HB IX tak ingin hak dan legitimasinya sebagai seorang raja justru menjadi bumerang yang menghancurkan nama baiknya, apalagi di akhir masa kekuasaannya.
Budi W Soetjipto,Dosen FEB UI dan Dewan Pembina Indonesia Strategic Management Society.