”Open banking” harus mendukung portabilitas data. Seorang nasabah seharusnya dapat memanfaatkan data mereka.
Oleh
RICO USTHAVIA FRANS, ANGGOTA STEERING COMMITTEE INDONESIA FINTECH SOCIETY
·4 menit baca
Adopsi teknologi digital yang cepat dan banyaknya perusahaan fintech dan start up digital telah menjadi katalis munculnya kebutuhan open banking. Secara singkat, open banking adalah praktik berbagi informasi dan layanan keuangan nasabah secara elektronik dan aman dengan persetujuan dari nasabah yang bersangkutan.
Salah satu penggerak awalnya adalah regulator Eropa yang pada 2015 menerbitkan Payment Service Directive atau dikenal dengan nama PSD2. Aturan tersebut bertujuan mendorong pengembangan pembayaran digital melalui open banking dengan meningkatkan daya kompetisi perbankan menghadapi neo-bank (internet atau digital bank), yang merupakan salah satu evolusi dari fintech, dengan mereposisi bank menjadi penyedia platform finansial dengan konsep bank as a service (BAAS).
Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) pun sudah mengeluarkan Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP) sebagai bagian dari cetak biru Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025. OJK walaupun sampai saat ini belum memiliki inisiatif khusus terkait open banking, sudah mulai mengadakan beberapa seminar tentang open banking bagi industri keuangan secara umum.
Berikut beberapa aspek open banking yang dapat menjadi bahan pemikiran dan diskusi menarik dalam implementasi open banking di Tanah Air.
Open banking harus mendukung portabilitas data. Seorang nasabah seharusnya dapat memanfaatkan data mereka yang tersimpan di suatu bank untuk digunakan di institusi lain, misalnya untuk membantu proses loan underwriting oleh fintech pihak ketiga.
Sebaliknya, pihak perbankan juga bisa mendapatkan data dari pihak non-perbankan atau fintech untuk keperluan credit scoring. Contoh lain, misalnya, pada saat kita mengajukan permohonan visa, kedutaan asing bisa mendapatkan data perbankan kita secara digital dengan bank-bank yang sudah bekerja sama.
Data nasabah tidak terkungkung dalam penyimpanan data yang terkotak-kotak di berbagai institusi.
Dengan demikian, data nasabah tidak terkungkung dalam penyimpanan data yang terkotak-kotak di berbagai institusi. Undang-Undang Pelindungan Data secara prinsip sudah mewajibkan institusi pengendali data untuk menyediakan layanan tersebut.
Namun, pelaksanaannya masih belum berjalan dengan baik. Dengan konsep open banking, OJK dapat mendorong portabilitas data untuk dilakukan dengan baik dan aman.
Open banking memungkinkan aktivitas perbankan dilakukan secara digital di ekosistem atau aplikasi pihak ketiga. Salah satu contoh yang sudah umum diterapkan adalah pembayaran transaksi menggunakan kartu debit, kartu kredit, atau pendebitan tabungan secara langsung tanpa harus berpindah aplikasi.
Selain use case pembayaran, seyogianya kita juga bisa mengakses produk dan layanan bank lainnya melalui aplikasi pihak ketiga, seperti pembukaan rekening dan pengajuan pinjaman. Sebab, ini akan mendukung inklusi keuangan secara digital.
Sementara para pelaku sektor riil, dengan pendekatan teknologi finansial, mulai merambah masuk ke sektor keuangan.
Beberapa pembatasan yang dilakukan oleh OJK saat ini merupakan langkah kehati-hatian yang bisa diatasi dengan standar dan implementasi open banking yang aman.
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah hubungan timbal balik antara pihak perbankan dan non-perbankan sebagai pelaku sektor riil. Perbankan dibatasi sedemikan rupa sehingga tidak bisa masuk ke sektor riil.
Sementara para pelaku sektor riil, dengan pendekatan teknologi finansial (financial technology/fintech), mulai merambah masuk ke sektor keuangan. Hal ini bisa menimbulkan suatu kondisi di mana para pelaku sektor keuangan, khususnya perbankan, dipaksa regulator sektor keuangan untuk membuka akses terhadap nasabah dan infrastrukturnya melalui layanan open banking.
Di sisi lain, tidak ada regulator dari sisi sektor riil yang memaksa para pelaku di sana untuk membuka akses layanan atau pelanggan mereka secara resiprokal. Akibatnya, ada risiko value creation dari open banking mengalir satu arah dari pelaku industri keuangan, khususnya perbankan, ke pihak lain seperti fintech, e-commerce, dan para pemain digital ekosistem lainnya.
Open banking notabene membuat perbankan terhubung ke banyak mitra. Oleh karena itu, selain keamanan data, keamanan proses transaksi open banking itu sendiri juga harus dijaga.
Jangan sampai instruksi dari mitra perbankan yang mengakses layanan diubah di tengah jalan. Ini misalnya dengan serangan man in the middle atau serangan siber langsung ke dalam sistem perbankan atau mitra.
Standardisasi open banking dapat meningkatkan efisiensi dan mempercepat adopsi.
Tantangan bagi industri dan regulator adalah untuk mencari keseimbangan standar keamanan yang tetap memungkinkan adopsi yang luas.
Standardisasi open banking dapat meningkatkan efisiensi dan mempercepat adopsi. Mengingat perubahan teknologi yang cepat, idealnya standar open banking ditentukan oleh para pelaku melalui self regulatory organization (SRO) terkait, bukannya oleh OJK atau BI.
Beberapa aspek yang sebaiknya distandardisasi dalam kaitannya dengan open banking mencakup data, teknis, keamanan, dan tata kelola. Di luar dari standardisasi aspek-aspek tersebut, ada satu aspek yang sebaiknya tidak distandardisasi, yaitu aspek komersial. Aspek komersial yang berhubungan dengan bisnis di antara pihak-pihak yang terlibat sebaiknya tetap menjadi perjanjian bisnis dari pihak tersebut.
Pendekatan implementasi standar wajib seperti yang diterapkan oleh BI dalam inisiatif QRIS memang bisa mempercepat adopsi dan penetrasi pasar. Namun, hal ini bisa berjalan dengan baik jika lembaga standar bisa merespons perubahan teknologi dan pasar dengan cepat. Jika proses pengembangan standar berjalan lambat, pendekatan wajib ini justru akan menghambat.
Mengingat open banking relatif baru, hendaknya ada fleksibilitas dari regulator dalam hal perizinan. Mekanisme sandboxing sebaiknya diterapkan dalam hal perizinan open banking untuk menyederhanakan birokrasi dibandingkan proses perizinan biasa. Sandboxing memungkinkan industri menjadi lebih lincah dalam melakukan eksperimen dan berinovasi mengembangkan layanan open banking namun risiko bisa termitigasi.
Implementasi open banking yang baik akan membawa kemajuan bagi industri perbankan.
Implementasi open banking yang baik akan membawa kemajuan bagi industri perbankan. Namun, perjalanan masih panjang serta pro dan kontra akan banyak muncul.
Keterbukaan dan koordinasi antara pelaku industri perbankan, fintech, regulator, dan bahkan konsumen akan dapat mendukung terciptanya sebuah ekosistem open banking yang aman, sehat, dan memberikan ruang bertumbuh bagi semua pihak. Implementasi open banking yang baik memerlukan pikiran terbuka dari semua pihak yang terlibat.