Jeratan Rantai Pasok
Pemerintah pusat ataupun pemerintah desa perlu membantu petani mengolah dan menjual komoditas hortikulturanya.
Media sosial kembali dihebohkan dengan adanya petani ataupun pedagang sayuran yang memilih membuang sayurnya dan membiarkannya membusuk. Beberapa warga merespons dengan mengimbau agar sayuran sebaiknya dibagikan saja daripada ”dibuang sia-sia”.
Kita harus memahami bahwa sesungguhnya sayuran ”yang dibiarkan membusuk” adalah bentuk protes petani ataupun pedagang terhadap harga jual yang rendah akibat sengkarut rantai pasok.
Studi Saptana (2012) dalam konteks beberapa daerah penghasil cabai merah besar di Jawa Tengah, misalnya, telah mengidentifikasi bentuk-bentuk rantai pasok yang belum menyejahterakan petani.
Pertama, manajemen rantai pasok pola dagang umum, yakni mekanisme pasar mulai dari petani menjadi pemasok komoditas para pedagang pengepul dengan persyaratan dan kesepakatan dalam proses tawar-menawar.
Pemberian pinjaman dari pengepul membawa konsekuensi adanya ikatan antara petani dan pengepul dan menyebabkan pemodal menjadi penentu harga jual. Petani harus mau menerima harga jual rendah dan hanya menjual kepada pengepul yang menjadi mitranya sebagai konsekuensi dari ikatan tersebut.
Baca juga: Perantara Menguasai Rantai Pasok Gabah Petani
Kedua, kemitraan petani dengan pasar induk. Petani menjual hasil panen langsung kepada pengepul atau langsung kepada pedagang komisioner di pasar induk.
Pengepul berperan dalam mengumpulkan hasil panen dan memasok kepada pedagang besar antardaerah melalui pedagang komisioner (Saptana, 2012). Kajian Saptana (2012) mengenai transaksi komoditas cabai merah menunjukan adanya masalah dalam kemitraan pasar induk, yakni volume produksi stagnan, harga fluktuatif, dan jumlah pedagang komisioner yang terlalu banyak.
Ketiga, manajemen rantai pasok dengan kemitraan petani dengan subterminal agribisnis (STA). Pengembangan STA, misalnya, di Jawa Tengah dilakukan di Boyolali dan Magelang yang terkait dengan Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu.
Kelembagaan STA memosisikan petani sebagai penanggung jawab proses produksi dan menjualnya kepada pengepul atau langsung kepada pedagang komisioner di STA. Gabungan kelompok tani (gapoktan) bersama pengepul berperan mengumpulkan komoditas untuk memasok pedagang besar antardaerah melalui pedagang komisioner. Pedagang besar akan menyalurkan komoditas ke daerah perkotaan, seperti Jabodetabek dan luar Jawa.
Saptana (2012) menemukan, terdapat beberapa kendala dalam pengelolaan STA, yakni harga komoditas yang fluktuatif, penanganan pascapanen yang dilakukan pengepul menyebabkan nilai tambah tidak dinikmati oleh petani, dan beberapa komoditas harus disuplai oleh sentra produksi lain.
Keempat, manajemen rantai pasok kemitraan perusahaan dengan petani mitra di sentra produksi lahan sawah dataran rendah. Kemitraan dibangun melalui proses kesepakatan antara kelompok tani/gapoktan dan kontrak kerja sama tertentu (Saptana, 2012).
Kelompok tani/gapoktan diharuskan menyediakan lahan luasan tertentu yang disepakati, menanam varietas cabai merah yang disepakati, mengikuti standar produksi mitra, dan hanya diperkenankan menjual kepada perusahaan. Perusahaan mitra memiliki kewajiban menyediakan sarana produksi, bimbingan teknis, dan membeli hasil panen dengan harga yang sudah disepakati.
Kajian Saptana (2012, hlm 68) menunjukkan bahwa petani dirugikan secara ekonomi dengan model kemitraan tersebut disebabkan penyediaan benih yang terlambat, harga beli yang rendah di bawah nilai pasar, dan kualitas benih yang buruk.
Harapan untuk memanfaatkan platform digital yang berpihak kepada petani dalam rantai pasok sendiri belum berjalan dengan baik.
Kelima, manajemen rantai produksi kemitraan perusahaan dengan petani mitra di sentra produksi lahan kering dataran tinggi. Kemitraan model ini juga dilakukan dalam kontrak kerja sama.
Kewajiban perusahaan mitra adalah menyediakan sarana produksi, yang dapat dilakukan melalui pihak ketiga/perusahaan pembibitan; memberikan bimbingan teknis dan penanganan pascapanen; melakukan pembelian hasil panen secara langsung bagi cabai merah yang memenuhi kriteria dengan harga yang disepakati (Saptana, 2012).
Rantai pasok ini sendiri memiliki masalah, seperti minimnya modal petani, target produksi yang sulit tercapai, serta harga jual yang rendah menyebabkan petani memilih melanggar kesepakatan dan menjualnya melalui mekanisme dagang umum (Saptana, 2012).
Data statistik pertanian
Harapan untuk memanfaatkan platform digital yang berpihak kepada petani dalam rantai pasok sendiri belum berjalan dengan baik. Kajian Bank Pembangunan Asia menunjukkan bahwa platform limakilo.id yang dikelola perusahaan dalam rantai pasok bawang merah dan eragano.com pada perdagangan cabai belum berjalan dengan baik.
Ketiadaan data statistik pertanian yang kurang memadai secara nasional turut menyebabkan tidak efektinya penggunaan platform yang dikelola kedua perusahaan mitra petani (Haryanti et al, 2018). Aplikasi Eragano melayani kebutuhan petani dengan lebih baik dibandingkan Lima Kilo, tetapi petani perlu membeli gawai yang memiliki fitur berbasis Android.
Vetter et al (2019) menjelaskan bahwa keberadaan berbagai retail modern pun belum mampu menyerap hasil panen dari petani secara optimal. Hal tersebut disebabkan munculnya ekspansi retail modern diikuti dengan masifnya impor komoditas yang membuat petani lokal tidak diuntungkan oleh rantai pasok tersebut. Petani sendiri secara sukarela memilih keluar dari rantai pasok retail modern untuk mempertahankan penghidupannya (Vetter et al, 2019).
Baca juga: Membawa ”Blockchain” ke Kebun Petani
Ada dua langkah yang dapat digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan petani dalam rantai pasok. Pertama, pemerintah perlu membantu petani melalui rekan usaha untuk dapat mengolah komoditas hortikultura menjadi barang setengah jadi atau bahkan barang jadi.
Kedua, pemerintah desa melalui badan usahanya dapat menjadi mitra petani untuk menjualkan komoditasnya dan membangun hubungan dengan mitra, seperti pasar, ataupun restoran. Petani perlu didudukkan sebagai penentu harga komoditas setelah diperhitungkan biaya produksi dan distribusinya.
Anggalih Bayu Muh Kamim, Mahasiswa Magister Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia IPB University
Facebook: anggalih.bayu