”Quo Vadis” Petani Muda Indonesia
Untuk mencapai kedaulatan pangan, regenerasi petani harus didahulukan. Namun, soal ini pemerintah terkesan lepas tangan.
Salah satu hasil Sensus Pertanian 2023 yang luput dari perhatian para elite adalah mayoritas usia petani Indonesia berusia di atas 55 tahun dan angkanya terus meningkat. Sementara itu, berdasarkan hasil survei Jakpat (2022), hanya 6 dari 100 generasi Z (usia 15-26 tahun) yang ingin bekerja di bidang pertanian.
Banyak negara sedang mengalami isu regenerasi petani, termasuk Indonesia. Jika tidak segera diatasi, kita mengalami ancaman krisis pangan di masa depan.
Belum ada upaya yang lebih struktural dalam mengatasi regenerasi petani dalam konteks pembangunan pertanian. Padahal, sektor pertanian memiliki dimensi yang sangat luas.
Mosher dalam bukunya, Getting Agriculture Moving (1966), menjelaskan, pembangunan pertanian adalah bagian integral dari pembangunan ekonomi dan masyarakat. Dengan kata lain, pertanian bukan sekadar penambahan produksi, melainkan sebuah proses yang memberikan perubahan sosial, nilai, norma, perilaku, dan kelembagaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani dan pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Ilusi Kedaulatan Pangan
Sejumlah negara telah memprakarsai program pengembangan kapasitas bagi petani muda. Thailand punya program Young Smart Farmer (YSF) sejak 2014. Malaysia meluncurkan program Agropreneur Muda (PAM) pada 2021. Filipina meluncurkan program Young Farmers Challenge (2021). Turki memiliki instrumen kebijakan Young Farmers Projects (YFPS) diluncurkan pada 2016.
Sebanyak 6.908 petani muda Malaysia menerima hibah senilai total Rp 429 juta di tahun yang sama. Filipina menjalankan program bantuan sosial dengan membagikan 230.000 hektar lahan milik negara kepada lulusan sarjana pertanian. Turki memfokuskan programnya kepada perempuan (70 persen) dengan pendidikan rendah. Thailand menggelontorkan dana kepada penerima manfaat sebesar Rp 50 juta sejak 2014.
Indonesia sudah memiliki program Youth Enterpreneurship and Employement Support Services (YESS) sejak 2019 yang diprakarsai Kementerian Pertanian dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bentuk kegiatannya adalah bantuan modal usaha bagai petani muda, pelatihan, magang, dan pemilihan duta petani muda (young ambassador agriculture). Namun, sayangnya, program tersebut bersifat temporal dan akan berakhir pada 2025.
Belum ada tanda-tanda dari pemerintah untuk mengupayakan program regenerasi petani yang berkelanjutan. Presiden terpilih Prabowo Subianto justru berfokus pada program Makan Bergizi dan Minum Susu gratis.
Akibatnya, pagu indikatif Kementerian Pertanian dipangkas dari Rp 13,6 triliun 2024 menjadi Rp 8,06 trilun pada 2025. Kebijakan pembangunan pertanian Indonesia masih sebatas upaya penambahan produksi, pemberian pupuk subsidi, mekanisasi, dan penambahan infrastruktur.
Pemerintah terkesan lepas tangan dalam menarik minat anak muda untuk terjun di dunia pertanian. Kebutuhan mendasar petani, yaitu lahan sebagai modal produksi terbesar, tak didahulukan sebagai landasan membangun pertanian.
Lembaga keuangan kita juga belum ramah terhadap usaha-usaha pertanian karena dianggap berisiko besar. Yang menguasai komoditas pertanian justru para korporasi besar, petani hanya sebagai buruh.
Berdasarkan National Young Farmers Survei (2022) yang dilakukan terhadap 10.091 responden petani muda di berbagai belahan dunia mengungkapkan, tantangan struktural yang paling mendesak adalah akses lahan, modal, jaminan kesehatan, perumahan, biaya produksi, modal pinjaman mahasiswa, perubahan iklim, masalah imigrasi, dan akses program ke pemerintah.
Belum ada tanda-tanda dari pemerintah untuk mengupayakan program regenerasi petani yang berkelanjutan.
Belajar dari China
Tiap negara memiliki kemampuan untuk bangkit dari kemerosotan dan mengatasi krisis. Tahun 1970-an, kondisi umum pertanian di China masih terbelakang dan 30 juta-40 juta penduduknya meninggal karena kelaparan.
Produk domestik bruto (PDB) China pada 1980 sekitar 194,80 dollar AS. Tahun 2023, pendapatan per kapitanya mencapai 12.500 dollar AS. Tak disangka, reformasi ekonomi berbasis sosialismenya berhasil. Kini, China memiliki cadangan devisa terbesar di dunia.
Sulit membayangkan China seperti masa kini apabila melihat kondisi negara itu di masa lampau. Sumber daya manusia petaninya didominasi oleh petani berusia gaek, perempuan, bekerja paruh waktu, minim pengetahuan, pekerjaan sampingan, dan pola sistem ekstensif.
Dalam menghadapi persoalan itu, China merumuskan dua pertanyaan mendasar: ”Siapa yang akan bertani?” dan ”Bagaimana cara bertani yang efektif dan efisien?”.
Jawaban dari rumusan itu bermuara pada kebijakan Presiden Deng Xiaoping pada 1978 yang disebut sebagai sistem tanggung jawab rumah tangga (household responsibility system/HRS). Mekanisme HRS adalah petani bisa menyewa tanah dan mengelolanya secara mandiri.
Rumah tangga memiliki hak untuk menggunakan tanah tersebut dalam jangka waktu tertentu dengan memenuhi kuota produksi yang ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan, rumah tangga diizinkan menjual hasil panen di pasar bebas asalkan telah memenuhi kuota produksi pemerintah.
Negara yang tadinya mengalami kelaparan dan krisis pangan kini menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. China mampu memberi makan 1,5 miliar orang dengan luas lahan 7 persen dari lahan pertanian yang ada di Bumi.
Sebagaimana China, Indonesia juga harus menemukan cara reformasi pembangunan pertaniannya sendiri. China masih tergolong pasar berkembang, tetapi nilai ekonominya yang terbesar kedua di dunia. Bahkan, sejak 2010, China mendepak AS dari posisi negara industri manufaktur terbesar di dunia.
Baca juga: Meraih Indonesia Emas dari Desa
China mengalami percepatan pembangunan pertanian. Mereka kuasasi idiom puncak peradaban Barat, memperbaiki kualitas bangsa dengan jalan pendidikan dan transformasi pertanian. Mereka juga menguasai teknologi menandingi AS dan Eropa. Di era globalisasi, mereka bangkit dengan teknologi, pendidikan, dan ketahanan pangan.
Kita yang jauh lebih lama bersentuhan dengan peradaban Barat belum berhasil membuktikan kemandirian pangan ke tingkat global. Pemerintah kita tak memiliki visi pembangunan yang mampu mentransformasi wajah pertanian Indonesia. Sebaliknya, kita mudah terombang-ambing hegemoni produk impor asing, seperti beras, jagung, kedelai, buah-buahan, daging sapi, dan ayam. Pertanian kita berlangsung tanpa ada tranformasi yang berkelanjutan.
Jurusan pertanian, peternakan, agrobisnis, teknologi pangan di perguruan tinggi Indonesia sudah ada di mana-mana. Ada ratusan ribu lulusan yang dihasilkan setiap tahun. Namun, karena dianggap kurang keren, maka sebagian besar lulusannya bekerja di luar keilmuannya. Fokus pendidikan bergeser dari mencerdaskan bangsa dalam ”keilmuannya” untuk dipakai di masyarakat menjadi ”yang penting bisa diterima kerja”.
Dukungan politik
Perlu ada kepemimpinan politik untuk melanjutkan program yang mengangkat petani-petani muda di daerah. Malaysia, Thailand, Filipina, dan China sudah menjadikan program yang mendukung petani muda dalam kebijakannya.
Hal ini penting untuk dalam mewujudkan ketahanan pangan dan pertanian yang berkelanjutan. Presiden yang terpilih diharapkan bisa mewujudkan program yang mendukung eksistensi petani/peternak muda di Indonesia.
Andai saja dana APBN untuk proyek jalan pintas sekadar penambahan produktivitas yang mengabaikan lingkungan dialokasikan meningkatkan minat anak muda membuat usaha, memberikan tambahan modal usaha pertanian yang sudah berjalan, menyubsidi alat/aset usaha, memperkuat SMK pertanian yang potensinya ternyata membesarkan hati, niscaya lebih banyak anak muda menjadi petani. Lebih sedikit anak muda pindah ke kota mengadu nasib.
Baca juga: Dorong Gen Z Jadi Petani, Akademisi: Penuhi Dulu Lahan Minimal 1 Hektar
Persoalan kita bukan sekadar rendahnya produktivitas dan perubahan iklim, melainkan bagaimana juga menjaga agar terjadi regenerasi petani yang berkelanjutan. Ini harus didukung oleh semua pihak: pemerintah, DPR, perguruan tinggi, dan seluruh masyarakat.
Sudah 79 tahun merdeka, Indonesia belum juga berdaulat atas pangan dan menyejahterakan rakyatnya—terutama petani. Penguasa dan politisi kita masih sibuk mengurusi kepentingannya sehingga abai dalam mengurusi kepentingan bangsa yang jauh lebih besar. Untuk mencapai kedaulatan pangan, regenerasi petani harus didahulukan!
Febroni Purba, Young Ambassador Agriculture 2024 Kementerian Pertanian