”Megathrust”, Ancaman Nyata
Gempa kuat yang bersumber di zona ”megathrust” umumnya destruktif dan berpotensi tsunami karena hiposenternya dangkal.
Gempa besar dengan magnitudo 7,1 yang mengguncang wilayah Jepang selatan dan berpusat di zona Megathrust Nankai pada 8 Agustus 2024 dapat ditentukan parameternya dengan baik oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG.
Bahkan, BMKG mampu memprediksi dengan akurat potensi tsunami yang bakal terjadi.
Hasil pemodelan tsunami yang dilakukan BMKG terhadap gempa yang terjadi menunjukkan adanya ancaman ”waspada” dengan tinggi tsunami kurang dari setengah meter. Akhirnya terkonfirmasi, tsunami benar-benar terjadi dan tercatat di Pantai Miyazaki dengan tinggi 31 sentimeter. Disyukuri tsunami yang terjadi tak menimbulkan kerusakan.
Megathrust Nankai yang menjadi pembangkit gempa terletak di lepas pantai Pulau Kyushu, Shikoku, dan Kinki. Megathrust merupakan sumber gempa yang terdapat di zona subduksi/tumbukan lempeng. Sumber gempa megathrust digambarkan sebagai sebuah ”patahan naik yang besar” karena di zona ini memang terdapat bidang kontak antarlempeng yang mampu mengakumulasi energi gempa sangat besar.
Baca juga: Benarkah Akan Terjadi Gempa ”Megathrust” di Indonesia?
Itu sebabnya mengapa sumber gempa megathrust bisa memicu gempa dahsyat hingga menciptakan rekahan (rupture) panjang dengan pergeseran bidang patahan yang luas. Gempa kuat yang bersumber di zona megathrust umumnya bersifat destruktif dan berpotensi tsunami karena hiposenternya dangkal.
Para ahli gempa Jepang meyakini Megathrust Nankai merupakan salah satu zona sumber gempa potensial, tetapi selama puluhan belum terjadi gempa besar (seismic gap). Saat ini, Megathrust Nankai diduga sedang mengalami proses akumulasi energi gempa yang dapat rilis sebagai gempa dahsyat kapan saja.
Pelajaran dari Jepang
Sejarah gempa mencatat Megathrust Nankai sangat aktif dalam membangkitkan gempa dahsyat dan destruktif, yakni (1) gempa dan tsunami Hakuho tahun 684; (2) gempa Ninna tahun 887; (3) gempa Kōwa Nankaido tahun 1099; (4) gempa dan tsunami Shōhei Nankaido M 8,4 tahun 1361; (5) gempa dan tsunami Keichō Nankaido M 7,9 tahun 1605; (6) gempa dan tsunami Hoei M 8,7 tahun 1707; (7) gempa dan tsunami Ansei M 8,4 tahun 1854; (8) gempa dan tsunami Nankaido M 8,4 tahun 1946.
Dari catatan ini tampak bahwa Megathrust Nankai secara berkala memicu gempa dahsyat setiap satu hingga dua abad. Tunjaman Nankai memiliki beberapa segmen megathrust. Namun, jika seluruh tepian patahan itu tergelincir sekaligus, para ilmuwan Jepang meyakini sumber gempa itu mampu memicu gempa hingga M 9,1.
Sebagai langkah antisipasi dan preventif, pascagempa Nankai M 7,1, para ilmuwan Jepang tanpa ragu segera mengeluarkan peringatan kewaspadaan. Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida bahkan sampai membatalkan kunjungan ke tiga negara Asia Tengah dan lebih memilih merespons peringatan potensi gempa besar yang disampaikan para ahli.
Kekhawatiran para ahli muncul bukan tak berdasar karena gempa yang terjadi dipicu oleh salah satu segmen Megathrust Nankai. Di zona megathrust ini terdapat palung laut sepanjang 800 kilometer, membentang dari Shizuoka hingga Pulau Kyushu. Gempa Nankai dikhawatirkan menjadi gempa pembuka (foreshock) dari gempa dahsyat berikutnya di sistem Tunjaman Nankai.
Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari Jepang. Para pejabat negara, ahli, dan publik Jepang selalu kompak dalam kesiapsiagaan gempa. Ini tampak dari budaya mereka, seperti mencatat dan mengamati perilaku gempa sejak lama, bahkan sejak 1.137 tahun lalu.
Sebagai contoh, mereka memiliki catatan gempa kuno Hakuho Nankai yang terjadi tahun 684. Para ahli selalu menandai dan mencatat urutan aktivitas seismik dengan sangat baik. Terlebih, publik Jepang tak mudah lupa dengan kejadian bencana. Mereka biasa menggali sejarah gempa dan tsunami untuk menata mitigasi. Setiap kejadian bencana selalu melahirkan inovasi upaya mitigasi nyata.
Selain itu, masyarakat Jepang memiliki literasi gempa dan tsunami sangat baik sehingga adanya informasi potensi gempa besar tak membuat mereka jadi ”kagetan” dan ”gumunan” hingga menciptakan kegaduhan dan kepanikan.
Di sinilah poin pentingnya: gempa Nankai menjadi momen tepat untuk mengingatkan masyarakat Indonesia akan potensi gempa kuat.
Publik Jepang selalu memercayai dan menerima pendapat para ahli. Adanya informasi potensi gempa besar membuat mereka memperkuat tekad mewujudkan mitigasi konkret/nyata; membangun keyakinan kuat bahwa upaya mitigasi akan menyelamatkan mereka.
Jika kekhawatiran akan terjadinya gempa besar M 9,1 di Palung Nankai menjadi kenyataan, tentu gempa besar yang terjadi tidak saja merusak, tetapi juga akan memicu tsunami. Meskipun deformasi batuan tidak berdampak di Indonesia, tetapi karena gempa yang terjadi memiliki mekanisme sesar naik (thrust fault) di kedalaman dangkal, tentu dapat memicu tsunami yang berdampak hingga wilayah Indonesia.
Namun, kita tak perlu khawatir sebab apa yang terjadi di Jepang bisa kita monitor secara real time dan dengan cepat kita analisis, termasuk memodelkan tsunami yang bakal terjadi. BMKG tentu dengan segera akan menyebarluaskan informasi gempa dan peringatan dini tsunami di seluruh wilayah Indonesia.
Apa yang jadi kekhawatiran ilmuwan Jepang terhadap zona Megathrust Nankai saat ini sebenarnya sama persis dengan yang dirasakan dan dialami para ilmuwan gempa Indonesia. Kita selama ini sangat mengkhawatirkan zona seismic gap, khususnya di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut. Potensi terjadi gempa besar di kedua segmen megathrust ini patut diwaspadai karena di zona ini sudah lebih dari 200 tahun belum terjadi gempa besar.
Ancaman nyata
Pembahasan mengenai potensi gempa di Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut sebenarnya bukanlah hal baru. Kajian ini sudah ada sejak sebelum terjadi gempa dan tsunami Aceh 2004. Informasi potensi gempa di zona megathrust yang berkembang saat ini bukanlah bentuk peringatan dini (warning), yang seolah-olah dalam waktu dekat akan segera terjadi gempa besar.
Kekhawatiran ilmuwan Jepang terkait potensi gempa di Megathrust Nankai membuat kita mengingatkan kembali keberadaan zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut yang diyakini para ahli sebagai zona kekosongan gempa besar (seismic gap) yang sudah berlangsung selama ratusan tahun.
Memang diakui ada beberapa perbedaan pandangan dan pendapat di sebagian ahli terkait ketidakpastian potensi gempa di zona megathrust. Namun, BMKG lebih memilih mengedepankan skenario terburuk (worst case) bahwa seismic gap harus kita waspadai karena dapat melepaskan energi gempa signifikan yang terjadi sewaktu-waktu sehingga kesiapsiagaan bencana wajib disiapkan.
Munculnya kembali pembahasan potensi gempa di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut sebenarnya tak ada kaitan langsung dengan peristiwa gempa Nankai di Jepang. Menariknya, gempa M 7,1 yang memicu tsunami kecil pada 8 Agustus 2024 mampu menciptakan kekhawatiran para ilmuwan, pejabat negara, dan publik di Jepang. Di sinilah poin pentingnya: gempa Nankai menjadi momen tepat untuk mengingatkan masyarakat Indonesia akan potensi gempa kuat.
Gempa kuat terakhir di Tunjaman Nankai terjadi pada 1946 (usia seismic gap 78 tahun), sementara gempa besar terakhir di Selat Sunda terjadi pada 1757 (usia seismic gap 267 tahun) dan gempa besar terakhir di Mentawai-Siberut pada 1797 (usia seismic gap 227 tahun). Artinya, seismic gap di Selat Sunda dan Mentawai-Siberut periodenya jauh lebih lama dibandingkan dengan seismic gap Nankai. Dalam hal ini, mestinya kita jauh lebih serius dari Jepang dalam menyiapkan upaya mitigasinya.
Para pejabat negara, ahli, dan publik Jepang selalu kompak dalam kesiapsiagaan gempa.
Sumber gempa megathrust adalah ancaman nyata. Dalam hal ini, sumber gempa Megathrust Sunda yang mencakup wilayah barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, Lombok, hingga Sumba masih eksis, tecermin dari keberadaan Palung Sumatera (Sumatra Trench) dan Palung Jawa (Java Trench). Hasil pemonitoran BMKG juga menunjukkan aktivitas gempa di jalur megathrust masih sangat aktif membentuk kluster seismisitas yang memanjang dari Aceh hingga Sumba.
Fakta sejarah membuktikan, zona megathrust merupakan sumber gempa potensial yang banyak menimbulkan kerusakan (destruktif) dan korban jiwa (deadly). Gempa merusak di sepanjang busur Jawa pernah terjadi tahun 1699, 1780, 1818, 1834, 1840, 1852, 1859, 1867, 1875, 1904, 1937, 1943, 1957, 1994, dan 2006. Adapun gempa yang memicu tsunami Jawa terjadi tahun 1818, 1840, 1859, 1904, 1921, 1957, 1994, dan 2006.
Sementara gempa merusak dan tsunami di sepanjang busur barat Sumatera pernah terjadi pada 1797, 1818, 1833, 1843, 1861, 1861, 1885, 1886, 1907, 1908, 2004, 2005, 2007, dan 2010.
Data di atas bukti nyata bahwa zona megathrust merupakan sumber gempa potensial yang tak boleh diabaikan dan patut diwaspadai. Bahkan, sebuah peta seismic gap lama yang disusun para ahli sejak sebelum 2004 terkonfirmasi dengan beberapa kejadian gempa kuat dan tsunami seperti tahun 1994 (gempa dan tsunami Banyuwangi), 1996 (gempa dan tsunami Biak), 2004 (gempa dan tsunami Aceh), 2009 (gempa dan tsunami Manokwari), dan 2010 (gempa dan tsunami Pagai).
Sudah kita pahami bersama bahwa hingga saat ini belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang dengan tepat dan akurat mampu memprediksi terjadinya gempa—kapan, di mana, dan berapa kekuatannya—sehingga kita semua juga tidak tahu kapan gempa akan terjadi sekalipun tahu potensinya.
Sekali lagi, informasi potensi gempa megathrust yang berkembang saat ini sama sekali bukanlah prediksi atau peringatan dini sehingga jangan dimaknai secara keliru, seolah akan terjadi dalam waktu dekat. Masyarakat diimbau tetap tenang dan beraktivitas normal seperti biasa. BMKG selalu siap memberikan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami dengan cepat dan akurat.
Daryono, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)