Di Bawah Bayang-bayang ”Megathrust”
Ancaman gempa ”megathrust” di Indonesia bukan lagi sekadar prediksi ilmiah, melainkan kenyataan yang harus kita hadapi.
Setiap hari, kita melangkah di atas Bumi yang menyimpan potensi bencana yang luar biasa, tetapi sering kali kita abai terhadapnya. Zona megathrust yang menjadi isu menakutkan bagi sebagian masyarakat adalah bom waktu yang menunggu untuk melepaskan kekuatannya.
Kejadian gempa di Jepang pada 8 Agustus 2024 seharusnya menjadi alarm keras bagi kita untuk tidak lengah. Kita diingatkan akan pentingnya kesiapsiagaan dan kesadaran bahwa kita hidup di wilayah dengan risiko bencana yang signifikan.
Mengabaikan ancaman ini sama saja dengan menutup mata terhadap kenyataan. Kini saatnya kita meningkatkan kesadaran bahwa ancaman ini bukan sekadar bayangan, melainkan realitas yang bisa terjadi kapan saja.
Baca juga: Gempa Hebat ”Megathrust” Mengancam, Bagaimana Harus Mengantisipasinya?
”Seismic gap” dan kegelisahan
Zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut adalah salah satu dari sekian banyak seismic gap yang belum mengalami gempa besar dalam jangka waktu yang sangat lama, meskipun wilayah tersebut aktif secara tektonik.
Gempa besar terakhir di Selat Sunda terjadi pada tahun 1757. Adapun gempa besar terakhir di Mentawai-Siberut tercatat pada tahun 1797.
Ini berarti usia seismic gap di Selat Sunda sudah mencapai 267 tahun dan di Mentawai-Siberut mencapai 227 tahun.
Zona megathrust lain, seperti di selatan Pulau Jawa, misalnya, telah menjadi saksi beberapa gempa besar dalam sejarah. Misalnya, gempa Banyuwangi yang terjadi tahun 1994 dengan magnitudo 7,8 dan gempa Pangandaran pada 2006 dengan magnitudo 7,7.
Gempa Pangandaran, yang memicu tsunami setinggi 8 meter, menewaskan 668 jiwa dan menyebabkan kerusakan luas di sepanjang pantai selatan Jawa. Hal ini menunjukkan betapa besar potensi kerusakan yang bisa ditimbulkan jika zona megathrust ini kembali melepaskan energinya.
Di Laut Banda, wilayah yang dikenal dengan aktivitas seismik tinggi, zona megathrust ini menjadi bagian dari Busur Banda yang kompleks, di mana Lempeng Indo-Australia menyusup ke bawah Lempeng Eurasia, menciptakan tekanan yang luar biasa besar.
Sejarah mencatat gempa Ambon pada tahun 1899 dengan magnitudo 7,8 yang diikuti oleh tsunami besar.
Potensi bahaya di Laut Banda tak hanya berasal dari gempa itu sendiri, tetapi juga dari longsoran bawah laut yang dapat memperburuk efek tsunami.
Papua, dengan zona megathrust yang terletak di bagian utara, terutama di wilayah Teluk Cenderawasih, juga memiliki sejarah kegempaan yang signifikan. Tahun 1926, gempa besar bermagnitudo 7,4 mengguncang wilayah Jayapura, dan hingga kini ancaman gempa besar dan tsunami tetap ada.
Karakteristik geologis Papua yang rentan terhadap gempa dangkal dan longsoran bawah laut menambah kompleksitas risiko yang dihadapi wilayah tersebut.
Di utara Pulau Flores, zona megathrust memiliki potensi bencana yang sama besar. Salah satu contoh paling tragis adalah gempa dan tsunami pada tahun 1992 dengan magnitudo 7,8. Tsunami yang dihasilkan saat itu mencapai ketinggian hingga 36 meter dan menewaskan lebih dari 2.000 orang serta menghancurkan banyak desa di sepanjang pesisir.
Ancaman gempa megathrust di Indonesia bukan lagi sekadar prediksi ilmiah, melainkan kenyataan yang harus kita hadapi dengan serius.
Tragedi ini mengingatkan kita bahwa zona megathrust di Flores bisa memicu bencana yang sangat merusak.
Sementara itu, di Sumatera Utara, zona megathrust yang mencakup wilayah di sebelah barat laut Sumatera juga memiliki sejarah gempa dan aktivitas vulkanik yang signifikan. Wilayah ini terkenal dengan supervolcano Toba, yang letusannya sekitar 74.000 tahun lalu berdampak global.
Meskipun aktivitas vulkanik Toba berbeda dengan subduksi tektonik, zona ini tetap menyimpan potensi bahaya besar jika terjadi gempa yang memicu tsunami, seperti yang pernah terjadi di Aceh tahun 2004.
Semua contoh ini menunjukkan bahwa Indonesia berdiri di atas wilayah yang sangat rentan terhadap bencana gempa dan tsunami, khususnya di zona megathrust. Setiap wilayah ini memiliki sejarah kegempaan yang panjang dan berpotensi memicu bencana yang tidak kalah besar dari yang pernah terjadi sebelumnya.
Belajar dari sejarah dan pengalaman Jepang
Kekhawatiran ini tidak hanya dirasakan ilmuwan di Indonesia. Jepang, yang memiliki sejarah panjang gempa besar, baru saja mengalami gempa dengan magnitudo 7,1 di Prefektur Miyazaki pada 8 Agustus 2024. Gempa yang terjadi di Megathrust Nankai ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi gempa yang lebih besar di masa depan.
Sejarah gempa di Nankai menunjukkan bahwa wilayah ini dapat memicu gempa dengan magnitudo hingga 9,0, yang berpotensi menyebabkan tsunami besar. Situasi ini sangat mirip dengan yang kita hadapi di Indonesia, khususnya di Selat Sunda dan Mentawai-Siberut.
Jepang telah mengalami beberapa gempa besar, seperti gempa Hoei tahun 1707 (M 8,7) dan gempa Nankaido pada 1946 (M 8,4), yang semuanya diikuti oleh tsunami.
Namun, yang membuat Jepang berbeda adalah kesiapan mereka dalam menghadapi bencana. Jepang memiliki sistem peringatan dini yang canggih, prosedur evakuasi yang jelas, dan masyarakat yang terlatih untuk menghadapi bencana. Ini adalah pelajaran penting bagi Indonesia, di mana kesiapsiagaan masih menjadi tantangan besar, terutama di daerah-daerah terpencil.
Baca juga: DI Yogyakarta Diguncang Gempa M 5,8, Warga Berhamburan Keluar Rumah
Negara lain yang juga berada di zona megathrust telah mengambil langkah-langkah mitigasi yang efektif. Chile, misalnya, memiliki sejarah gempa besar yang panjang, termasuk gempa dengan magnitudo 8,8 pada 2010.
Namun, sistem peringatan dini mereka yang canggih dan prosedur evakuasi yang jelas membantu mengurangi jumlah korban jiwa secara signifikan.
Selandia Baru, yang berada di atas lempeng tektonik aktif, juga memiliki program pendidikan mitigasi bencana yang kuat.
Negara ini telah mengintegrasikan pendidikan bencana ke dalam kurikulum nasional, memastikan bahwa setiap warga negara memahami risiko yang ada dan bagaimana cara menghadapinya.
Indonesia bisa belajar banyak dari kedua negara tersebut, terutama dalam hal meningkatkan sistem peringatan dini dan memperkuat pendidikan mitigasi bencana di tingkat komunitas.
Langkah konkret
Untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap ancaman megathrust, Pemerintah Indonesia harus mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk program mitigasi bencana.
Ini termasuk investasi dalam teknologi peringatan dini yang lebih canggih, peningkatan jaringan sensor seismik, dan penguatan infrastruktur di wilayah-wilayah rawan. Pemerintah juga harus memastikan bahwa regulasi terkait bangunan tahan gempa diterapkan dengan ketat, terutama di daerah-daerah yang paling berisiko.
Koordinasi antarlembaga harus diperkuat untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam mitigasi bencana dapat bekerja sama dengan efektif. Ini termasuk melibatkan sektor swasta, yang memiliki peran penting dalam memastikan bahwa infrastruktur dan bangunan yang mereka kelola memenuhi standar keselamatan yang ditetapkan.
Selain upaya teknis dan kebijakan yang diterapkan pemerintah, salah satu aspek terpenting dalam mitigasi bencana adalah kesadaran masyarakat.
Indonesia terletak di wilayah yang sangat rawan bencana, terutama gempa bumi dan tsunami, akibat posisi geologisnya di pertemuan beberapa lempeng tektonik besar.
Masyarakat harus memahami bahwa bencana bukanlah sesuatu yang mungkin terjadi, tetapi sesuatu yang pasti akan terjadi. Oleh karena itu, kesiapsiagaan menjadi kunci dalam menghadapi ancaman ini.
Penting bagi setiap individu, komunitas, dan organisasi di Indonesia untuk menyadari risiko yang ada di sekitarnya.
Kesadaran ini harus ditanamkan sejak dini, melalui pendidikan formal dan informal, serta melalui kampanye publik yang berkelanjutan. Masyarakat harus paham bahwa wilayah tempat tinggal mereka bisa saja menjadi pusat gempa besar berikutnya, dan yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkan diri untuk meminimalkan dampak dari bencana tersebut.
Langkah konkret yang bisa diambil mencakup edukasi masyarakat tentang bagaimana cara bertindak cepat dan tepat saat gempa terjadi, memahami rute evakuasi, dan pentingnya memiliki peralatan darurat di rumah. Selain itu, penting juga untuk membangun budaya keselamatan, di mana setiap orang bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan orang lain di sekitarnya.
Masyarakat harus memahami bahwa bencana bukanlah sesuatu yang mungkin terjadi, tetapi sesuatu yang pasti akan terjadi.
Program-program simulasi bencana harus rutin dilakukan, tidak hanya di sekolah dan tempat kerja, tetapi juga di komunitas-komunitas kecil.
Ancaman gempa megathrust di Indonesia bukan lagi sekadar prediksi ilmiah, melainkan kenyataan yang harus kita hadapi dengan serius. Dengan tindakan yang tepat dan upaya yang lebih intensif, kita dapat meningkatkan kesiapsiagaan terhadap gempa besar yang mungkin terjadi kapan saja. Semoga dengan kesiapsiagaan yang lebih baik, kita bisa menekan dampak bencana dan mencapai kondisi di mana korban jiwa dapat diminimalkan atau bahkan tidak ada sama sekali.
Waktu untuk bertindak adalah sekarang, sebelum bencana besar itu benar-benar terjadi.
Hijrah SaputraDosen Magister Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga