Bayangkan Anda memasuki pasar tradisional yang ramai, di mana kepercayaan dan keadilan menjadi dasar setiap transaksi. Saat memilih buah dan sayuran, Anda melihat sesuatu yang aneh, penjual diam-diam menaruh beban tersembunyi di satu sisi timbangan. Akibatnya, Anda membayar lebih untuk barang yang kurang, meninggalkan perasaan tertipu dan mempertanyakan minggatnya keadilan.
Kisah ini mencerminkan kegundahan dalam petisi ”Bayarkan Tukin Dosen Kemendikbudristek” yang baru-baru ini mencuat, mewakili kegelisahan ribuan dosen di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Selama bertahun-tahun, mereka berada di sisi yang salah dari timbangan yang berat sebelah—dibebani oleh kebijakan yang belum mampu memenuhi janji tunjangan kinerja (tukin).
Ceritanya begini: Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2013, hanya dosen dari Kementerian Kesehatan yang menerima tunjangan kinerja, sementara dosen dari Kemendikbudristek serta Kementerian Agama tidak. Seiring terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), nasib dosen di bawah Kementerian Agama ibarat partai politik yang bergabung dengan koalisi pemenang—menikmati tiap tetesan tukin.
Baca juga: Pengukuran Kinerja Dosen
Sementara itu, dosen Kemendikbudristek seperti menaiki rollercoaster yang tak kunjung berhenti. Awalnya, di bawah naungan Kemdikbud, mereka tidak menerima tukin meskipun nyaris menerimanya saat terbitnya Pepres No 151/2015. Namun, harapan itu seketika sirna saat Kemdikbud berubah menjadi Kemenristekdikti (2015-2019) karena Perpres 138/2015 tentang Tunjangan Kinerja di Lingkungan Kemenristekdikti mencabut hak mereka.
Kini, ketika mereka berada di Kemendikbudristek, Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan bahwa ”Ketika Permendikbud No 49/2020 mulai berlaku, tunjangan kinerja bagi pegawai yang beralih tugas ke Kemendikbudristek harus mengikuti peraturan ini”. Namun, peraturan-peraturan tukin itu bagai tertulis di atas pasir.
Salah satu alasan dosen di Kemendikbudristek tidak menerima tunjangan kinerja adalah karena mereka sudah menerima tunjangan profesi, mantra dari mantan Mendikbud Mohammad Nuh yang masih sakti hingga kini.
Kesenjangan
Masalahnya, semua dosen di kementerian lain juga menerima tunjangan profesi selain tunjangan kinerja. Artinya, dibandingkan dengan dosen dari kementerian lain, dosen di Kemendikbudristek seperti pekerja rodi yang menerima upah tidak sampai setengah dari upah dosen di kementerian lain.
Begini hitung-hitungannya: tunjangan kinerja untuk seorang dosen dengan jabatan fungsional ”Lektor” dan kelas jabatan 11 di kementerian lain ditetapkan sebesar Rp 8.757.600 per bulan. Namun, dosen dengan jabatan tersebut di Kemendikbudristek hanya menerima tunjangan profesi sebesar Rp 3.426.000—selisih Rp 5.331.600 per bulan, seperti upah guru Oemar Bakrie, dikebiri tanpa ampun.
Selain itu, anggapan bahwa remunerasi dosen di Kemendikbudristek adalah ”pendapatan ganda” juga menyesatkan. Meskipun Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTBH) dan Perguruan Tinggi Badan Layanan Umum (PTBLU) memiliki otonomi dalam pengelolaan keuangan, sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia—terutama Perguruan Tinggi Satuan Kerja (PT Satker) yang menyusun 68 persen dari 175 PTN di Indonesia—tidak memiliki hak istimewa ini. Akibatnya, dosen di PT Satker tidak menerima remunerasi, semakin memperlebar kesenjangan kesejahteraan dosen pada PT dengan kasta berbeda ini.
Jika kenyataan ini tidak cukup pahit, tengoklah fakta bahwa pemerintah juga memperlakukan tunjangan kinerja seperti anak emas dan tunjangan profesi seperti anak tiri. Jika diumpamakan perlombaan lari, tunjangan kinerja tak perlu repot-repot berlari, apalagi berkeringat. Hanya perlu menyentuh garis start saja dan keajaiban terjadi—medali emas langsung diserahkan kepadanya. Jika ia ingin berhenti di tengah perlombaan pun, ia masih bisa menerima 80 persen upahnya.
Dibandingkan dengan dosen dari kementerian lain, dosen di Kemendikbudristek seperti pekerja rodi yang menerima upah tidak sampai setengah dari upah dosen di kementerian lain.
Namun, tunjangan profesi harus melintasi jalur rintangan pelik—ujian kompetensi (kepantasan, kepangkatan, nilai TOEFL, TPA), biaya pendaftaran yang menguras kantong, dan lintasan panjang selama bertahun-tahun. Setelah berjuang mati-matian dan mencapai garis finis pun, ia menemukan upahnya tak sampai setengah dari tunjangan kinerja. Jika ia berani mengambil napas sejenak di tengah perlombaan (beban kerja tidak memenuhi), hadiahnya bisa hilang begitu saja.
Dosen Kemendikbudristek sebenarnya telah lama terjebak dalam jaringan regulasi yang seolah-olah menyediakan cek, tetapi tanpa ada niat untuk mencairkannya seperti di PHP-in secara finansial. Miris memang karena di atas kertas aturannya jelas (UU No 5/2014 tentang ASN dan Permendikbud No 49/2020) bahwa mereka berhak atas tunjangan kinerja seperti rekan-rekan mereka di kementerian lain. Namun, sementara kementerian lain telah berhasil memperjuangkan kesejahteraan dosen-dosennya dengan memberlakukan tunjangan itu, Kemendikbudristek bergeming.
Untuk mengatasi masalah tukin dosen, pemerintah harus segera menerapkan sistem pemantauan dan evaluasi yang transparan untuk memastikan distribusi tunjangan kinerja dan profesi sesuai undang-undang. Pemerintah, dosen, dan pemangku kepentingan perlu berdialog untuk menemukan solusi bersama dan memastikan kebijakan mencerminkan kebutuhan dosen secara adil. Selain itu, pemerintah juga perlu menyusun regulasi reward and punishment untuk memastikan kepatuhan terhadap kebijakan tukin.
Kemendikbudristek memang sedang mengusahakan kesejahteraan dosen. ”Peningkatan penghasilan ASN sedang dirumuskan melalui kebijakan nasional dalam bentuk perpres sebagai tindak lanjut dari UU ASN 2023. Saat ini, PP Manajemen ASN sedang dalam pembahasan di Menpan dan RB,” ujar Tjitjik Srie Tjahjandarie, Sekretaris Dirjen Diktiristek Kemendikbudristek, dalam sebuah kesempatan.
Namun, permasalahannya tetap pada soal keadilan dan kesetaraan yang seharusnya menjadi hak dosen Kemendikbudristek. Pengabaian hak ini mengakibatkan kesenjangan mencolok antara pendapatan dosen di Kemendikbudristek dan rekan-rekan mereka di kementerian lain.
Padahal, timbangan yang adil adalah fondasi dari setiap keputusan bijak dan ketidakadilan berlarut-larut ini hanya memperkuat ketimpangan dan meminggirkan mereka yang seharusnya berada di garis depan kemajuan bangsa.
Baca juga: Belenggu Produktivitas Dosen
Sejarah mengingatkan kita tentang pentingnya peran pendidik. Setelah kehancuran akibat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Pemerintah Jepang memprioritaskan pencarian dan pengembangan tenaga pengajar karena mereka memahami bahwa guru adalah kunci untuk membentuk masa depan bangsa. Ironisnya, di Indonesia, para pendidik yang menjadi ujung tombak kemajuan masih terabaikan.
Saat ini, di tengah euforia kemerdekaan ke-79 RI, kita harus jujur menjawab pertanyaan ini: Apakah kita benar-benar merdeka jika sebagian dari kita, khususnya para dosen di Kemendikbudristek, masih terbelenggu oleh ketidakadilan dan ketidaksetaraan sistemik?
Ketidakadilan ini bukan sekadar kesalahan birokrasi, melainkan juga refleksi dari kegagalan sistemik yang merongrong prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan. Inilah saatnya kita mengangkat kembali beban tersembunyi di timbangan, membagi secara merata hasil perjuangan kemerdekaan ini, dan mengembalikan keadilan kepada mereka yang telah lama diabaikan. Dengan langkah nyata dari pemerintah, kita bisa memastikan hak mereka sebagai wujud dari kemerdekaan sejati mereka.
Walter Balansa, Dosen/Peneliti Politeknik Negeri Nusa Utara, Sulawesi Utara