Pengingkaran DPR-Pemerintah, Krisis Konstitusional, dan Pembangkangan Sipil
Pembangkangan masyarakat sipil tak akan terjadi jika DPR dan pemerintah konsisten menegakkan hukum di atas kekuasaan.
Tanda khas suatu negara hukum demokratis dan budaya hukum yang tinggi adalah kepatuhan pemerintah dan warga negaranya terhadap konstitusi dan konstitusionalisme. Simbol utamanya adalah penghormatan kepada etika politik dan bernegara dan ketundukan pada putusan lembaga peradilan.
Maka, keadaan ini adalah cita-cita yang diidamkan oleh para pendiri Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan di Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Karena itu, meski akhirnya gagal, manuver politik DPR dan nafsu mengamankan kekuasaan Presiden Joko Widodo di akhir masa pemerintahannya yang mengabaikan dua putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan syarat pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah khususnya mengenai ambang batas pencalonan oleh partai politik (Putusan No 60/PUU-XXII/2024) dan titik penghitungan usia minimal calon kepala daerah (Putusan No 70/PUU-XXII/2024) merupakan upaya pembangkangan prinsip-prinsip kardinal di dalam konstitusi.
Upaya pembangkangan tersebut dipamerkan dalam sikap ugal-ugalan dan reaktif Badan Legislasi DPR dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pilkada yang merespons dua putusan MK, meskipun ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 telah meneguhkan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Meski kemudian, dengan alasan Rapat Paripurna DPR pada Kamis (22/8/2024) tidak memenuhi kuorum, revisi UU Pilkada tersebut batal disahkan.
Baca juga: Mangkir Berjemaah yang Bersejarah Saat Paripurna DPR Pengesahan RUU Pilkada
Bertolak dari momen pengingkaran konstitusi tersebut, terdapat tiga pesan kunci yang penting disampaikan kepada publik. Pertama, putusan MK yang bersifat final dan mengikat adalah bagian dari hukum dasar yang menyanggah tatanan konstitusional Republik Indonesia. Dalam arti lain, hukum dasar merupakan prinsip utama yang menyatukan persatuan kekuatan politik dan seluruh tatanan, yang mengekspresikan konsep konstitusi yang mutlak (Carl Schmitt, 2008).
Karena karakteristik putusan MK yang final dan mengikat semua pihak, maka ia juga merupakan pantulan dari doktrin struktur dasar yang bertujuan untuk melindungi esensi dan integritas konstitusi dari perubahan yang dapat merusak nilai-nilai fundamental yang menjadi dasar berdirinya negara.
Landasan tersebut secara fundamental merupakan warisan krusial dari Mahkamah Agung India dalam kasus Kesavananda Bharati versus Negara Bagian Kerala pada 1973 (Yaniv Roznai, 2017). Dengan demikian, pengkhianatan terhadap putusan MK akan membobol tatanan konstitusional dan menghancurkan integritas konstitusi.
Kedua, sikap mengacuhkan Putusan MK No 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan No 70/PUU-XXII/2024 akan berimbas pada krisis konstitusional, yakni situasi yang timbul ketika kerangka dasar sebuah konstitusi gagal menyelesaikan perselisihan politik, yang mengarah pada kerusakan sistem pemerintahan, yang salah satu penyebabnya adalah karena aktor-aktor politik tidak mau mematuhi ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi (Keith Whittington, 2001).
Gerakan sipil
Dalam tingkatan tertentu, darurat konstitusional memicu dua puncak gerakan sipil. Pertama, meletupnya resistensi sipil, suatu taktik tanpa kekerasan atau gerakan damai oleh masyarakat untuk menentang otoritas yang dianggap mengabaikan prinsip-prinsip konstitusional dalam wujud unjuk rasa, aksi massa, dan boikot. Unjuk rasa mahasiswa pada Kamis (22/8/2024) merupakan salah satu bentuknya.
Kedua, berkobarnya pembangkangan masyarakat sipil yang mencerminkan aksi penolakan secara sengaja dan terbuka untuk mematuhi hukum atau kebijakan penguasa sebagai bentuk perlawanan tanpa kekerasan.
Tentu kondisi tersebut dapat dielakkan apabila DPR dan pemerintah konsisten menegakkan hukum di atas kekuasaan semata sehingga aspirasi masyarakat dapat didengarkan dan tetap pada poros pemerintahan yang konstitusional dan beretika. Maka dari itu, jika DPR dan pemerintah melakukan pembangkangan konstitusional, jangan pernah menyalahkan rakyat apabila rakyat mendidik penguasa dengan melakukan pembangkangan sipil.
Sudah sepatutnya sumpah/janji anggota DPR dan presiden menjadi acuan signifikan dalam bernegara dan berpolitik.
Ketiga, Putusan MK No 60/PUU-XXII/2024 dan No 70/PUU-XXII/2024 sejatinya mengilustrasikan kebangkitan dan ketegasan lembaga peradilan konstitusi terhadap superioritas kekuasaan Presiden Joko Widodo yang turut serta memengaruhi lahirnya Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023.
Dalam konteks demikian, MK melalui preseden-preseden dan menunjukkan laku membangun suatu argumentasi yang kokoh dalam merumuskan kembali penguatan hak konstitusional partai politik dalam pencalonan kepala daerah, serta melampaui permohonan yang diminta oleh pihak yang berperkara.
Peristiwa kebangkitan kembali MK setelah Putusan No 90/PUU-XXI/2023 memiliki makna yang identik dengan perlawanan Mahkamah Agung Pakistan terhadap Presiden Pervez Musharraf dalam kasus lembaga peradilan versus Musharraf.
Secara ringkas, dalam perkara tersebut lembaga peradilan menantang tindakan eksekutif, khususnya dalam kasus-kasus yang terkait dengan legalitas peran ganda Musharraf sebagai Presiden dan Kepala Staf Angkatan Darat, serta isu-isu yang berkaitan dengan supremasi hukum dan hak asasi manusia (Tasneem Kausar, 2011).
Dengan demikian, berdasarkan tiga pesan sentral tersebut, maka terdapat empat keterkaitan utama pada topik strategis yang menuntut setiap warga negara selalu mengingat dan berjaga-jaga bahwa perlu selalu merawat demokrasi.
Pertama, prinsip dasar dalam menjalankan pemerintahan konstitusional bahwa kekuasaan atau politik harus tunduk pada hukum tertinggi, yaitu konstitusi bukan sebaliknya. Kondisi ini terjadi oleh karena konstitusi menyediakan kerangka kerja yang seimbang untuk menjalankan pemerintahan, mencegah terjadinya kesewenang-wenangan kekuasaan, serta memberikan legitimasi di mata publik atas keputusan politik yang diambil.
Kedua, sudah sepatutnya sumpah/janji anggota DPR dan presiden menjadi acuan signifikan dalam bernegara dan berpolitik, maka dalam konteks demikian tindakan secara konsistensi memegang teguh konstitusi atau Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan bisa terwujud. Dengan demikian, di masa mendatang tidak ada lagi pembangkangan terhadap konstitusi.
Ketiga, mengambil pelajaran dari krisis konstitusional Polandia bahwa pengangkatan hakim-hakim konstitusi yang merupakan upaya politis untuk mengamankan hegemoni cabang kekuasaan lainnya atas lembaga peradilan dapat memicu ketegangan politik dan konstitusional. Dengan demikian, itu mengungkap kelemahan secara signifikan sistem hukum Polandia, khususnya mengenai prosedur pengangkatan hakim Mahkamah Konstitusi dan keseimbangan kekuasaan antara lembaga negara (Marcin Wiacek, 2021).
Baca juga: Syahwat Kuasa Mengubur Nurani
Oleh karena itu, isu perubahan keempat UU MK utamanya pada Pasal 23A memiliki keidentikan dengan kasus di Polandia. Dalam konteks ini, Pasal 23A memberikan adanya pesan terselubung, yaitu upaya memanipulasi keanggotaan hakim demi tujuan politik tertentu.
Dalam keadaan demikian, pasal tersebut mengatur masa jabatan hakim konstitusi, yakni sepuluh tahun menjabat, tetapi juga menyuguhkan ruang otoritas kepada lembaga pengusul hakim (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung) untuk mengevaluasi hakim setiap lima tahun dengan cara memberikan persetujuan atau tidak bagi hakim bersangkutan untuk melanjutkan jabatan lima tahun keduanya (Kompas.id, Revisi UU MK, ”Court Packing Bill” ala Indonesia, 18 Mei 2024).
Terakhir, di balik pengingkaran DPR dan pemerintah terhadap putusan MK dalam upaya merevisi UU Pilkada, maka terdapat suatu muslihat atau manipulasi penggunaan hukum yang disebut dengan permainan keras konstitusional atau constitutional hardball (Mark Tushnet, 2004). Di dalam siasat tersebut terjadi penggunaan cara-cara yang legal dan konstitusional yang dilakukan secara agresif untuk mencapai tujuan politik sehingga merusak spirit hukum dan membunuh demokrasi itu sendiri (Levitsky dan Ziblatt, 2023).
Dalam konteks penyelewengan terhadap konstitusi yang dilakukan oleh DPR dan presiden, terdapat dua model yang secara telak dapat menyudahi demokrasi Indonesia, yakni mempergunakan hukum sebagai senjata politik dan eksploitasi ketentuan dan celah hukum demi agenda politik tertentu.
Nicky Fahrizal, Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta