Meredupnya Menara Api Kampus
Sikap kritis dan idealisme ilmiah jadi roh kemerdekaan kampus. Masyarakat tak ingin nyala menara api kampus ini redup.
Dunia kampus ditandai oleh keteguhan menjaga idealisme keilmuan sebagai masyarakat ilmiah. Menolak birokrasi. Mengubur feodalisme. Menghindari formalitas dan seremoni. Menjunjung tinggi kebenaran ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Semua itu berkonstelasi pada independensi.
Kampus-kampus di Tanah Air adalah persambungan dari perkembangan institusi perguruan tinggi Indonesia yang masih sangat muda (belum mencapai satu abad). Meski demikian, mereka mewarisi pengalaman kampus-kampus dunia dengan reputasi unggul dalam bidang akademik selama ratusan tahun.
Ambil satu contoh, di tengah kondisi Indonesia yang otoriter, militeristik, KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), semasa peralihan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, kampus adalah sebuah anomali atau perkecualian. Kampus-kampus tetap terhormat karena netralitas dan kemandiriannya.
Berdiri kokoh di atas prinsip masyarakat ilmiah. Berhadapan dengan budaya kampus dengan kemerdekaan sebagai roh yang disikapi sebagai salah satu model gerakan subversif; Orde Baru mengeluarkan berbagai kebijakan, semisal NKK (normalisasi kehidupan kampus) dan BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Baca juga: Menjaga Marwah Pendidikan Tinggi
Setelah peristiwa Malari, Presiden Soeharto melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef menindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Nomor 0156/U/1978 yang isinya tentang NKK. Kemudian organisasi mahasiswa intrakampus ditata ulang dan diredefinisi dalam bingkai paradigma politik Orde Baru. Lewat kebijakan ini, kampus menjadi target politik untuk dikendalikan. Meski demikian, semasa Orde Baru, kampus tetap berjiwa merdeka.
Ciri kampus-kampus kala itu menjaga reputasi akademik yang direalisasikan ke dalam Tridarma Perguruan Tinggi dengan tetap fokus pada integritas ilmiah. Dosen berkarya dalam bidang akademik murni dan penuh percaya diri atas pilihan profesi yang bagi mereka sangat terhormat.
Reformasi adalah sumbangan sikap kritis terakhir kampus kepada negara, semenjak peristiwa Malari. Beberapa mahasiswa menjadi korban. Sejarah pergerakan kampus dan mahasiswa sebagai lembaga tanpa bendera politik kembali berulang dengan tertembak dan hilangnya sejumlah mahasiswa dan aktivis. Setelah reformasi, potret seorang mahasiswa demonstran, Soe Hok Gie, benar-benar telah diturunkan dari dinding-dinding almamater.
Pragmatisme sistemik
Di kalangan sivitas dosen dan pegawai universitas, pragmatisme sistemik menjadi lawan idealisme ilmiah. Ini menjadi awal titik balik hilangnya kemerdekaan ilmu di kampus. Kampus memasuki babak baru: ”siap saji!”.
Standar-standar yang berbasis pada kecepatan dan kuantitas memasuki dunia kampus, sebagaimana yang sejalan dengan standar-standar kinerja dalam borang akreditasi. Kampus-kampus mengejar plakat atau sertifikat akreditasi. Kampus benar-benar telah kehilangan kemerdekaan, yang sejatinya adalah karakternya.
Orientasi kerja kampus sebagai lembaga ilmiah, bukan lagi ilmu dan kebenaran yang obyektif, netral, dan independen, tetapi agenda akreditasi program studi. Dosen-dosen tidak bekerja secara independen lagi dalam mengembangkan ilmunya di bawah tridarma, tetapi dikendalikan oleh kuasa para asesor lembaga akreditasi dengan seperangkat borang di dalam laptopnya.
Demikian pula halnya dengan adanya standar-standar dosen yang ditetapkan di dalam borang akreditasi. Masa studi di program pascasarjana bagi para dosen ”tidak pakai lama”. Dosen-dosen pengajar yang bekerja di program pascasarjana sulit melawan kondisi serba cepat ini.
Orientasi kerja kampus sebagai lembaga ilmiah, bukan lagi ilmu dan kebenaran yang obyektif, netral, dan independen, tetapi agenda akreditasi program studi.
Proses kerja ilmu dalam menemukan kebenaran yang terkadang reflektif dan kontemplatif, diwarnai diskusi dan bimbingan atau pergulatan pemikiran, tidak ada. Lembaga atau sekolah-sekolah pascasarjana berlomba-lomba untuk menghasilkan magister dan doktor ”cepat saji”.
Tahapan-tahapan ujian dan pertanggungjawaban kerja ilmu yang dilakoni oleh seorang mahasiswa magister atau calon doktor; semakin menjadi formalitas. Sementara itu, foto-foto atau video ujian magister dan promosi doktor di media sosial (medsos) menjadi citra lain yang mengagumkan dan memberi justifikasi sosial yang luar biasa.
Standar-standar borang akreditasi, dalam perkara pangkat dan jabatan dosen, memicu pelembagaan secara diam-diam untuk mengejar lektor kepala dan guru besar. Kedua jabatan ini telah ada semenjak awal sejarah universitas di Indonesia.
Pada masa lalu, dosen-dosen suntuk pada ilmu yang diampu. Mereka ibarat rahib yang kudus: membaca literatur, belajar sepanjang waktu, memberi kuliah, melakukan riset di laboratorium atau di pedalaman, berseminar, menulis semata-mata bagi suatu tanggung jawab ilmuwan atau peneliti yang murni dan tulus. Mereka tidak ada yang mengejar indeks-indeks untuk memperoleh ”Id”.
Akhir-akhir ini para dosen berlomba-lomba menjadi guru besar. Hal ini adalah dampak dari sistem administrasi dan standar-standar kuantitatif dan sikap jemawa yang dipicu dunia medsos. Sistem ini tidak mampu mengolah elemen-elemen moralitas, etika, dan idealisme.
Independensi keilmuan dosen dan kemerdekaan kampus yang selama Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi masih ada; kini telah beralih ke pragmatisme kuantitatif. Karena itulah, program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) dengan spirit kemerdekaan atau independensi perguruan tinggi tidak mudah diterima.
Hal ini menunjukkan bahwa kampus-kampus dalam masa yang sangat pendek, semenjak beberapa tahun reformasi lewat; telah berjarak dengan kemerdekaan. Artinya, kampus setelah reformasi tidak memiliki kemerdekaannya lagi.
Memandang jabatan terhormat guru besar atau profesor sebatas isian borang akreditasi, memang terlepas dari moralitas, etika, dan idealisme.
Masalahnya adalah ideologi cepat saji diterima bersama, termasuk di dalam mencapai jabatan guru besar. Kuatnya kontribusi standar-standar kuantitatif tidak hanya menjustifikasi pragmatisme, tetapi juga berinovasi atau mencari terobosan, misalnya dengan gerakan desakralisasi jabatan guru besar yang terjadi akhir-akhir atau program percepatan meraih jabatan profesor.
Guru besar di era medsos adalah prestise dan citra yang sangat tinggi dan hebat. Dalam hal ini medsos memicu sikap jemawa para dosen generasi baru untuk meraih gelar guru besar secara pragmatis: bukan melalui jalan kudus, kontemplasi, dan refleksi diri.
Baca juga: Menimbang Akar Pragmatisme Akademisi
Atribut-atribut seperti gelar, sapaan, toga, kalung atau selempang, dan buket mawar adalah ikon-ikon yang paling viral di medsos. Dahulu, memutuskan untuk menjadi seorang guru besar adalah sebuah pergulatan batin.
Seorang doktor pendidikan biologi di sebuah kampus di Bali dengan terpaksa memilih jalan sebagai guru besar dalam pendidikan biologi setelah dibujuk rayu oleh rektor, dekan, serta para kolega; semata-mata untuk memperkuat reputasi universitasnya. Profesor Nyoman Tirta akhirnya menyampaikan orasi yang memukau hadirin lewat kajian filosofis relasi antara keyakinan Hindu terhadap reinkarnasi dan peta DNA.
Pergulatan batin sebelum memutuskan menjadi seorang guru besar kiranya tidak sepenuhnya ada di era ini. Kenyataan yang ada tentu saja pada suatu konteks hilangnya kemerdekaan kampus, pragmatisme, standar-standar kuantitatif borang badan-badan akreditasi, sikap jemawa baru era disrupsi yang dipicu oleh media sosial dan pergaulan kultur digital.
Karena itulah, tindakan Rektor UII Yogyakarta, Prof Fathul Wahid ST MSc, yang disiarkan di berbagai platform medsos; soal penolakan pemanggilan/sapaan profesor, bisa dilihat sebagai perlawanan terhadap kuasa medsos, serta sebuah perenungan mendalam yang sarat dengan kearifan seorang akademisi.
Cibiran-cibiran masyarakat terhadap maraknya pencapaian gelar profesor membuktikan bahwa pada tataran sosial riil, masyarakat masih tetap menjunjung tinggi segala kehormatan bagi siapa saja yang layak menyandang jabatan profesor atau guru besar.
Masyarakat tidak menginginkan nyala menara api itu meredup.
I Wayan Artika, Dosen Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Bali