Distorsi Demokratisasi Energi
Mendemokratisasi proses transisi energi melalui partisipasi publik jadi kunci atas kesadaran perubahan iklim global.
Persoalan ketergantungan yang mengakibatkan candu akan energi fosil tetap menjadi persoalan pelik. Energi fosil merupakan sumber energi utama yang menggerakkan ekonomi masyarakat dunia, terlepas dari banyaknya alternatif sumber energi yang ditawarkan. Emisi hasil dari energi fosil dan tidak dapat diperbaruinya energi fosil menambah peliknya persoalan.
Perjuangan dan kampanye untuk menggunakan energi yang dapat diperbarui pun tak kurang-kurangnya mengemuka, baik dari para aktivis energi terbarukan (atau dalam konteks ini disebut ”energi bersih”) hingga politisi tingkat internasional lewat forum pertemuan-pertemuan antarkepala negara. Hadirnya kepala negara pada tingkatan internasional dalam upaya transformasi dunia kepada energi bersih mengindikasikan bahwa terdapat kepelikan dan kerumitan tertentu di baliknya.
Energi bersih bukan hanya soal kita beralih dari ketergantungan kita terhadap energi fosil menjadi energi baru dan energi terbarukan, misalnya, melainkan lebih rumit daripada menyiapkan hingga penggantian infrastruktur semacam itu. Ada banyak hal yang perlu segera disesuaikan untuk melakukan transisi energi, seperti regulasi dalam negeri dan kesepakatan bersama antarnegara, di tengah arena kepentingan yang luar biasa di balik ”rezim” energi fosil dunia.
Baca juga: Transisi Energi dan Peningkatan Kapasitas Energi Terbarukan
Sebagai negara net importir minyak, ketergantungan Indonesia terhadap minyak impor sangat terasa, lebih-lebih di masa ketegangan Rusia dengan Ukraina dan NATO serta China dengan Taiwan dan Amerika Serikat. Salah satu indikatornya adalah subsidi terhadap harga jual bahan bakar minyak yang telah mencapai lebih kurang Rp 502 triliun tiap tahun demi memastikan keterjangkauannya pada semua pihak.
Terhadap angka fantastis ini dapat ditafsirkan bahwa pernyataan pemerintah sebagai dilema karena nilai tersebut merupakan pembengkakan yang akan memberikan dampak kurang baik terhadap pengelolaan keuangan negara.
Di sisi lain, upaya Indonesia mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang tecermin di Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang dijabarkan dalam Peraturan Presiden No 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, saat ini pemerintah sedang membahas Rancangan Perubahan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional dan mengubah target bauran energi.
Ternyata PP No 79/2014 mengandung pasal yang ambigu karena menimbulkan grey area pengaturan dan memberi justifikasi legal bilamana target energi terbarukan tidak tercapai. Lebih dari itu, bukannya merevisi Undang-Undang No 30/2007 tentang Energi, menyelesaikan RUU Migas atas amanat putusan Mahkamah Konstitusi, menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), PP No 79/2014 dan Perpres No 22/2017 malah akan dilakukan perubahan target karena masih jauh dari target yang di tetapkan di awal pengesahannya, yaitu 23 persen pada 2025.
Selain itu, terdapat berbagai persoalan teknis lain di bidang energi yang membutuhkan komitmen serius di bidang politik.
Padahal, dalam upaya mencapai bauran energi, pemerintah pernah mendeklarasikan secara tegas target net zero emission pada 2060 di forum Climate Change Conference of the Parties ke-26 (COP-26) pada akhir 2021 dan menjadikannya sebagai salah satu jargon utama dalam menjabat Presiden G20 pada 2022.
Selain itu, terdapat berbagai persoalan teknis lain di bidang energi yang membutuhkan komitmen serius di bidang politik. Misalnya, percepatan peran inklusif masyarakat dalam perannya meningkatkan energi terbarukan di bauran energi di tiap provinsi, solusi inklusif-komprehensif tantangan konsumsi BBM dan LPG, serta pengembangan tatanan makro dan mikro dalam merespons desentralisasi, demokratisasi, dan disrupsi sistem energi ke depan.
Berangkat dari berbagai kondisi makro dan mikro tersebut, timbul pertanyaan yang lebih mendasar tentang fondasi kebijakan energi nasional kita: apakah kita memiliki konsep energi yang sesuai dengan kondisi Indonesia, yang mencerminkan kepribadian bangsa, yang menggambarkan adaptasi pada kondisi landscape dan lifescape Indonesia, tetapi tak lepas dari tanggung jawab pada kemaslahatan lingkungan global dan masa depan generasi Indonesia Emas 2045?
Belajar dari masyarakat Yunani
Perubahan iklim telah menjadi isu bersama dunia. Kerisauan keberlanjutan bumi makin menyatukan manusia dan ini pertama kalinya dalam sejarah. Kegagalan mengatasi perubahan iklim adalah megakrisis kemanusiaan berskala global. Isu lingkungan yang dahulu hanya diperhatikan oleh beberapa kelompok masyarakat dunia, sekarang upaya gotong royong bersama muncul berbagai sudut negara seperti di Yunani, Eropa.
Organisasi masyarakat sipil bernama Hyperion di Yunani adalah komunitas energi terbarukan demokratis pertama di Athena. Ide di balik komunitas ini adalah untuk menciptakan kolektif demokratis yang menghasilkan energi terbarukan bagi anggota koperasi dan masyarakat luas.
Dengan memanfaatkan potensi pancaran sinar matahari 50 persen lebih banyak per meter persegi dibandingkan Jerman, Yunani punya potensi terbesar untuk energi terbarukan di Eropa. Negara ini juga menjadi salah satu peluang investasi paling menarik untuk energi terbarukan di dunia.
Selama dekade terakhir, porsi energi terbarukan terhadap total konsumsi energi meningkat hampir dua kali lipat, dari 11 persen menjadi 20 persen. Hal ini terutama disebabkan oleh pembangkit listrik tenaga angin dan surya. Pada saat yang sama, Yunani secara bertahap menghentikan penggunaan batubara dan telah menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 43 persen sejak 2005.
Baca juga: Pemerintah Baru, Pilih Energi Terbarukan atau Solusi Palsu?
Salah satu pendiri Hyperion, Takis Grigoriou, mengatakan bahwa ”Kami mengambil tindakan sendiri, memproduksi energi kami sendiri, mendemokratisasi sektor energi dan mempercepat transisi dengan cara yang adil dan partisipatif.”
Hyperion berjanji mendonasikan sebagian pendapatan kepada rumah tangga berpenghasilan rendah di Athena. Donasi juga akan diberikan kepada sebuah pusat kebudayaan yang mempromosikan budaya Afrika dan dapur umum yang memberi makan masyarakat miskin yang tinggal di dekat ibu kota.
Chris Vrettos, salah satu pendiri Hyperion, mengatakan bahwa komunitas energi adalah ”solusi di persimpangan dua krisis besar yang kita hadapi: kehancuran ekologi dan kemunduran demokrasi”. Masing-masing dari 130 anggota Hyperion memiliki satu suara dalam semua proses pengambilan keputusan koperasi.
Secara teknis, listrik yang dihasilkan oleh panel surya milik Hyperion kemudian dialirkan ke jaringan publik dan diukur dalam kilowatt-jam. Para anggota koperasi kolektif akan mendapatkan jumlah listrik ini pada tagihan utilitas mereka, sesuai dengan investasi masing-masing. Listrik ini diperhitungkan akan terus diterima oleh anggota selama sekitar 25 tahun ke depan, sesuai perkiraan umur panel.
Gagasan demokratisasi energi
Mengatasi peliknya permasalahan energi di Indonesia sejatinya diperlukan upaya gotong royong bersama. Karena gotong royong merupakan narasi yang tepat digunakan untuk mengatasi permasalahan bangsa secara kolektif dan merupakan pesan ideologis dari para pendiri negara sebagai prinsip pembangunan berkelanjutan.
Paradigma pembangunan keberlanjutan pada transisi energi terhadap lingkungan dan kesejahteraan masyarakat selanjutnya membawa analisis mewujudkan keadilan energi di Indonesia menggunakan gagasan demokrasi energi. Gagasan itu merebak secara global pertama kali sekitar tahun 2010.
Gagasan ini coba menggabungkan ide mengenai demokrasi dan juga energi yang bertujuan menjadi media penengah antara masyarakat dan transformasi menuju energi berkeadilan. Peralihan atas energi fosil pada pemanfaatan EBET dimaknai sebagai suatu proses dan dinamika politik dengan dua tujuan prioritas, yakni bertujuan untuk mencapai penggunaan energi yang dapat diperbarui dan memperkuat demokrasi.
Tuntutan utama dari demokrasi energi ialah penggabungan dua komponen penting yang berkaitan dengan iklim, yakni demokrasi di satu sisi dan upaya peralihan dari fosil menuju energi terbarukan di sisi yang lainnya. Demokrasi energi memegang kunci utama atas kesadaran perubahan iklim global antropogenik.
Baca juga: Mengandalkan Masyarakat untuk Transisi Energi yang Adil
Sebagai upaya untuk mencapai energi bersih, negara-negara di seluruh dunia saat ini mengupayakan terselenggaranya transisi energi secara optimal. Dengan demikian, penerapan atas gagasan demokrasi energi secara sederhana dapat dipahami sebagai salah satu jalan dari suatu negara untuk mencapai target bauran energi dan mengurangi ancaman perubahan iklim.
Maka, dapat dikatakan bahwa upaya pengusahaan EBET merupakan upaya yang memiliki dua sisi kerusakan lingkungan dalam pengusahaannya dan energi ramah lingkungan yang dihasilkan pada sisi yang lain. Untuk itulah perlu adanya gagasan untuk menjembatani agar tidak dimaknai sebagai distorsi, yaitu melalui gagasan demokrasi energi.
Gagasan ini merupakan gagasan yang mendemokratisasi proses transisi energi melalui partisipasi publik dengan diterapkannya gagasan tersebut, publik dapat lebih menerima suatu keputusan dan keputusan yang diambil tersebut merupakan keputusan yang diambil dengan tujuan kolektif. Namun, untuk dapat bekerja dengan benar, perlu dibuka transparansi seluas-luasnya berkaitan dengan kebijakan pengusahaan EBET melalui kepastian hukum di sektor energi.
Rifqi Nuril Huda, Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS); Mahasiswa Pascasarjana Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia; Ketua Umum Akar Desa Indonesia
Instagram: rifqinurilhuda