Dekolonisasi Pengetahuan
Para akademisi Asia Tenggara menggeser cara pandang dan posisi analitis mereka dalam berbagai disiplin ilmu dari Barat.
Indonesia sudah merdeka dan berdaulat secara politik sejak 1945. Namun, dalam hal pengetahuan, hingga 79 tahun peringatan kemerdekaannya, akademisi negeri ini masih sering berada dalam bayang-bayang dan hegemoni negara lain. Berbagai teori pengetahuan sosial yang kita pakai, misalnya, didominasi oleh teori dari Barat atau bersifat Amerika atau Eropasentris yang tak sepenuhnya cocok untuk membaca konteks di Indonesia.
Dalam studi agama, kita menggunakan konsep seperti sekte, denominasi, heresi, dan ortodoksi yang tak banyak ditemukan di Indonesia. Istilah fundamentalisme yang biasa dipakai untuk menganalisis fenomena keagamaan dan melabeli kelompok tertentu juga tak sepenuhnya pas diterapkan di negeri ini.
Ketika AR Fahruddin (1915-1995), Ketua Umum Muhammadiyah 1968-1990, ditanya apakah Muhammadiyah gerakan fundamentalis, jawabannya sangat mengejutkan. Dalam wawancara dengan Herman Beck (2001, 286), Pak AR menyebutkan bahwa, jika kriteria utama dari fundamentalisme adalah keyakinan bahwa kitab suci Al Quran itu tak mengandung kesalahan dan semua isinya merupakan wahyu dari Allah, maka Muhammadiyah harus disebut sebagai kelompok fundamentalis. Tidak hanya Muhammadiyah, hampir semua kelompok Islam lain juga masuk kategori fundamentalis jika hanya kriteria ini yang dipakai.
Baca juga: ”Quo Vadis” Masyarakat Sipil?
Bahkan, konsep dan definisi agama yang diadopsi beberapa peraturan pemerintah menunjukkan hegemoni pengetahuan Barat di Indonesia. Konsep agama yang harus memiliki kitab suci, ritual, dan ketuhanan yang esa adalah pengaruh konsepsi agama besar yang mendistorsi konsep keagamaan dalam Buddha, Hindu, Konghucu, dan agama lokal. Demikian pula dengan trikotomi santri, priayi, dan abangan yang dikemukakan Clifford Geertz. Ia bukanlah pengelompokan keagamaan yang ada di masyarakat Jawa. Selain karena priayi bisa berada dalam kategori santri dan abangan, masyarakat tidak terbagi dalam tiga klasifikasi kelas itu.
Meski Belanda telah melakukan kajian indology, perspektifnya adalah kolonial dan sedikit melibatkan orang Indonesia dengan pemikiran otentik untuk melihat negeri ini dari kacamata mereka sendiri.
Secara umum, dalam ilmu sosial dan humaniora, setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, memang tak banyak ilmuwan sosial yang dimiliki bangsa ini. Meski Belanda telah melakukan kajian indology, perspektifnya adalah kolonial dan sedikit melibatkan orang Indonesia dengan pemikiran otentik untuk melihat negeri ini dari kacamata mereka sendiri.
Gelombang pertama lahirnya banyak sarjana sosial adalah hasil didikan Amerika Serikat, terutama produk aliansi kampus-kampus yang tergabung dalam Cornell’s Modern Indonesia Project yang dimulai sejak tahun 1950-an. Memasuki era Orde Baru, ilmuwan sosial banyak yang dikooptasi kekuasaan untuk melegitimasi kepentingan dan program pemerintah. Meski tak lagi dikontrol oleh pemerintah, setelah Reformasi 1998 banyak ilmuwan sosial yang kehilangan independensi karena dikendalikan atau ditentukan oleh pasar atau menjadi konsultan proyek asing dalam hal riset.
Baca juga: Orang Indonesia Naik Haji
Eropasentrisisme dan hegemoni pengetahuan Barat dalam memproduksi pengetahuan tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain di kawasan Asia Tenggara. Inilah yang membuat konferensi SEASIA di Manila, 17-20 Juli 2024, mengangkat tema ”De/Centering Southeast Asia”. Dengan konsep ”de/centering”, para akademisi Asia Tenggara berusaha menggeser cara pandang dan posisi analitis mereka dalam berbagai disiplin ilmu dari paradigma dominan yang diproduksi Barat menuju paradigma keilmuwanan dari pinggiran atau Asia Tenggara sendiri.
Langkah ini dilakukan untuk memperkuat kepakaran, lebih menggaungkan suara, dan melawan subordinasi yang selama ini terjadi di negara-negara pinggiran itu.
Dekolonisasi tidak berarti membuang atau meninggalkan semua pengetahuan dan teori dari Barat. Jika ini yang dilakukan, kita akan kehilangan pijakan yang kokoh dan semakin insular. Dekolonisasi juga bukan berarti tak mau menggunakan bahasa Inggris dalam produksi pengetahuan atau hanya mau memublikasikan karya anak bangsa di penerbit dan jurnal nasional. Jika ini yang ditempuh, justru akan menjadikan kita semakin berada dalam kondisi ”katak di bawah tempurung”.
Makna dekolonisasi di sini adalah de/centering, yakni ”mempersoalkan narasi dan perspektif dominan yang secara historis berpusat di ’Barat’ dan cara mereka memandang Asia Tenggara. Alih-alih mengadopsi narasi dan perspektif itu, perlu ditonjolkan pengalaman, sejarah, dan budaya yang beragam dan kompleks di kawasan tersebut sebagaimana diceritakan oleh orang Asia Tenggara sendiri. Para cendekiawan dari kawasan ini harus mengambil alih kepemilikan narasi dan sejarah mereka sendiri, yang sering kali dihapus, dipinggirkan, atau disalahartikan”. (SEASIA Program 2024).
Mengapa dekolonisasi dalam arti de/centering ini perlu dilakukan? Di antaranya adalah karena dominannya ”white man”. Kita seperti kehilangan jati diri dalam produksi pengetahuan dan kiblat ilmu selalu ke Eropa, Amerika, atau Australia. Karena itu, langkah dekolonisasi ini dilakukan terutama agar kita bisa mendapatkan kembali agensi dan identitas sebagai orang Asia Tenggara, membaca Indonesia dengan perspektif Indonesia sendiri. Seperti tertulis dalam SEASIA Program, proses ini juga untuk memfasilitasi dialog yang lebih inklusif dan adil, menciptakan kesempatan untuk pembelajaran dan pemahaman bersama, menumbuhkan empati, rasa hormat, dan solidaritas yang lebih besar di seluruh komunitas epistemik.
Penderitaan dan keterbelakangan masyarakat tidak bisa disalahkan pada rakyat itu sendiri, tetapi pada penguasa.
Berbagai negara yang dulu mengalami penjajahan sudah melakukan berbagai upaya untuk dekoloniasi pengetahuan ini. Di India dengan Gayatri Spivak mengembangkan konsep sub-altern. Mesir, Palestina, dan negara-negara Arab melakukan orientalisme, seperti yang ditulis Edward Said, Abdul Latif Tibawi, dan Anwar Abdul Malik. Di Asia Tenggara sebetulnya ada Syed Hussein Alatas dan Jose Rizal telah memelopori upaya ini.
Baca juga: Sengkarut Akademik
Seperti disampaikan oleh Syed Farid Alatas dalam sambutan kunci konferensi tersebut, Jose Rizal dan Hussein Alatas membongkar hegomoni pengetahuan Barat yang memandang masyarakat di Asia Tenggara ini pemalas dan sulit maju. Secara paradigmatik, Alatas dan Rizal membantah pemahaman ini dengan menegaskan bahwa ”penderitaan dan keterbelakangan masyarakat tidak bisa disalahkan pada rakyat itu sendiri, tetapi pada penguasa”, seperti penguasa kolonial dan pelanjutnya, termasuk para komprador asing.
Untuk membuktikan teorinya, Alatas mengajak kita untuk melihat masyarakat Asia Tenggara sebelum masa penjajahan. Hal yang menyebabkan mereka malas karena mereka lack of interest, lack of love terhadap apa yang dikerjakan. Watak dari kolonisasi itu membuat orang menjadi malas bekerja karena tidak ada insentif bagi mereka. Kemudian dilanjutkan dengan paradigma tentang kerja yang selalu diasosiasikan dengan capital interest bahwa kerja hanya dimaknai dalam konteks kapitalisme.
Dekoloniasi ini sebetulnya tidak hanya ditujukan pada produksi pengetahuan yang AS atau Eropasentris, tetapi juga terhadap hegemoni lain, seperti dominasi laki-laki dalam produksi pengetahuan ataupun ethno-nationalism. Dengan dekolonisasi ini, diharapkan masyarakat mendapatkan freedom from hegemonic orientation, bisa melakukan kritik terhadap proses produksi pengetahuan, dan menghilangkan bias jender/laki-laki atau bias yang lain. Termasuk hegemoni pengetahuan itu adalah sistem ranking atau Scopusisme.
Ahmad Najib Burhani, Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)