Degradasi Nilai Pancasila dalam Praktik Politik
Praktik politik yang ada saat ini adalah politik yang menghalalkan segala cara, meninggalkan Pancasila dan Konstitusi.
Harian Kompas pada minggu pertama dan kedua Agustus 2024 menjadikan perhelatan Olimpiade Paris 2024 sebagai berita utama, khususnya terkait keuletan para atlet untuk meraih medali dan mengharumkan nama Indonesia.
Jika pada olahraga, Kompas secara gamblang mengisahkan sportivitas, kompetisi yang fair, kekeluargaan, kegotongroyongan, rekam jejak para atlet, dan perjuangan mengharumkan nama bangsa dan negara; pada persoalan politik, hukum, dan ekonomi, sebaliknya Kompas memberitakan hal-hal yang amat memprihatinkan.
Pada Senin (5/8/2024), misalnya, berita utama Kompas menelaah bagaimana ”Jalan Terjal Pembela Hukum Orang Kecil”, sehingga ada kantor Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung yang menjual 3,5 kilogram gula pasir demi mendampingi warga. Miris memang. Sementara, seorang mantan menteri yang terkena kasus korupsi dapat membayar tim pengacara bagi dirinya dengan bayaran yang amat fantastis, Rp 800 juta.
Di halaman muka hari yang sama, Kompas mengulas Pilkada 2024 dengan judul ”KIM Plus Serius Diwujudkan”. Tirani mayoritas melalui Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang terjadi di Pilpres 2024 ternyata tidak berhenti pada terpilihnya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka saja, tetapi berlanjut pada pilkada serentak 2024.
Praktik politik yang ada saat ini adalah politik yang menghalalkan segala cara.
Bahkan ini tak terbatas pada partai-partai yang tergabung pada KIM, tetapi juga merambah sampai ke koalisi partai yang dulu menjadi koalisi pendukung pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, yakni Nasdem, PKB, dan PKS. Karena itu, koalisi tersebut disebut sebagai KIM Plus.
Mereka berupaya menyatukan kekuatan agar tercipta ”Potensi Calon Tunggal di Pilkada Menguat” (Kompas, 5/8/2024). Bagi para pendukung KIM, koalisi politik semacam ini tidak melanggar hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Mereka juga menganggap ini tak bertentangan dengan demokrasi. Pandangan ini muncul, karena para politisi itu adalah bagian dari—meminjam terminologi Gaetano Mosca—”elite penguasa” (governing elite).
Demokrasi kaum penjahat
Dalam terminologi ekonomi, mereka dapat disebut sebagai kekuatan kartel yang menentukan siapa calon yang boleh dipilih rakyat (konsumen) dan meniadakan kedaulatan rakyat tentang siapa yang patut didukung pada pilkada gubernur, misalnya di DKI Jakarta. Tokoh yang elektabilitasnya tinggi, seperti Anies Baswedan atau Basuki Tjahaja Purnama, ”dinihilkan” kesempatannya untuk menjadi calon gubernur.
Dalam pandangan Olle Tornquist, demokrasi yang sedang dibangun kekuatan kartel ini adalah ”Demokrasi Kaum Penjahat” karena tak ada lagi fairness, sportivitas, dan egalitarian yang memberikan kesempatan yang sama bagi elite lain untuk maju menjadi pemimpin di pusat kekuasaan dan daerah.
Ini sama dengan praktik penguasa Orde Baru yang tidak saja membangun tirani minoritas, yakni sekelompok kecil penguasa dan pimpinan parpol menyatu dan menentukan tata cara permainan politik di pemilu, tetapi juga diktator mayoritas yang menutup kesempatan bagi rakyat untuk memilih tokoh yang disukai, punya rekam jejak baik dan layak dipilih menjadi pimpinan di daerahnya.
Para elite politik yang tergabung di dalam KIM Plus, entah sadar atau tidak, sebenarnya sedang menari-nari di bawah genderang yang ditabuh oleh penguasa yang di atasnya. Penguasa yang memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti pengaruh kuat pada kartel-kartel ekonomi, pengaruh politik karena jabatannya di pemerintahan, pengaruh pada institusi pemerintahan lainnya baik sipil, militer atau kepolisian, atau bahkan kepada mereka yang ada di tingkat eksekutif, legislatif, yudikatif dari pusat maupun daerah.
Jika di era Orde Baru, Presiden Soeharto dan para operator politiknya melakukan ”korporatisme negara” dengan mengooptasi, antara lain, kelompok mahasiswa dan pemuda ke dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Karang Taruna, kalangan Islam ke dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI), buruh ke dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), PNS ke dalam Korpri, persatuan istri-istri pejabat ke dalam Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, dan sebagainya; di era Reformasi ini tak sedikit organisasi sukarelawan dibentuk oleh partai atau individu penguasa.
Baca juga : Syahwat Kuasa Mengubur Nurani
Bahkan yang terbaru, penguasa negara berupaya mengooptasi ormas berbasis agama melalui kebijakan pemberian izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Satu hal yang amat mengenaskan, ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (Persis) telah menerima tawaran itu.
Padahal, wilayah pertambangan batubara yang diberikan penguasa negara bukanlah pertambangan baru, melainkan pertambangan bekas, yang tentunya untuk mengelolanya butuh biaya yang lebih besar, sementara penanganan isu lingkungannya sudah banyak masalah.
Bagi para pembela HAM dan demokrasi, ilmuwan kampus, aktivis LSM yang bukan bagian dari elite penguasa (non-governing elites), apa yang dilakukan para politisi untuk membangun KIM Plus itu bertentangan dengan moralitas politik, demokrasi, sportivitas dalam berpolitik, dan asas fairness dalam praktik politik Indonesia.
Machiavellisasi politik
Praktik politik yang ada saat ini adalah politik yang menghalalkan segala cara. Praktik semacam ini sudah meninggalkan Pancasila dan Konstitusi negara. Tak ada lagi dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, karena mereka lebih mendasari keuangan yang mahakuasa.
Tak ada lagi sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, karena pertarungan politiknya didasari pada homo homini lupus, siapa yang menang adalah mereka yang kuat. Hanya mereka yang memiliki uang, orangtua kaya, atau orangtua berkuasa dapat memenangi pilkada.
Tak ada lagi sila Persatuan Indonesia, karena semua didasari oleh pengelompokan politik atau kepentingan yang mengesampingkan asas Persatuan Indonesia. Tak ada lagi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, karena mereka yang berkuasa dialah yang amat menentukan.
Tak ada lagi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, karena para elite politik, khususnya elite pemerintahan, tak peduli pada pengangguran yang makin bertambah dan harga yang melangit. Bagi mereka, banyaknya PHK, pengangguran, dan orang miskin adalah lahan politik yang baik agar mereka bisa memenangi politik dengan mudah, melalui sebaran bantuan sosial dan janji-janji manis lainnya.
Praktik semacam ini sudah meninggalkan Pancasila dan Konstitusi negara.
Runtuhnya Partai Beringin
Apa yang terjadi pada Partai Golkar menunjukkan betapa digdayanya kekuatan di atas partai-partai politik seperti digambarkan di atas. Sesuatu yang sudah diperkirakan akan terjadi akhirnya terjadi juga. Dalam bahasa para netizen, ”Partai Beringin akhirnya tumbang dipotong sang tukang kayu.”
Sebenarnya, jika ada soliditas, persatuan, kegotongroyongan di dalam Golkar, partai ini akan mampu mempertahankan jati dirinya dan mampu mencegah adanya campur tangan luar terhadap partai tertua di republik ini. Jika pimpinan dan elite utama Golkar lainnya tak tersangkut hukum, mereka tidak akan tersandera olehnya.
Kompas secara apik menggambarkan betapa kasus hukum menyandera partai-partai di pilkada. Walaupun kalangan Istana membantah intervensi Istana, dan Presiden Jokowi sendiri membantahnya melalui kalimat klise, ”Itu, kan, persoalan internal di dalam Golkar, mereka punya mekanisme sendiri untuk menyelesaikannya”, publik tahu, ada tangan-tangan kekuasaan di luar partai Golkar yang melakukan politik divide et impera ke dalam Golkar.
Jika di dalam Golkar ada rasa memiliki (sense of belonging) dan ”kekitaan” (we feeling) yang kuat, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto pasti aman sampai Munas Golkar Desember 2024.
Presiden terpilih Prabowo Subianto harus sadar bahwa apa yang terjadi di Golkar bukanlah sekadar melumpuhkan Golkar, melainkan jauh lebih sadis dan kuat dari itu. Ini ”kudeta politik” atau ”proxy war” terhadap Golkar dengan tujuan ”menduduki” atau ”memengaruhi” Golkar agar jadi kendaraan politik Jokowi untuk tetap ”mengawasi” gerak-gerik politik, kebijakan, dan langkah politik Prabowo lima tahun ke depan.
Intinya, Prabowo harus tetap menjadi pembantu Jokowi dan tak memiliki otoritas penuh sebagai presiden pada 2024-2029.
Penihilan Anies, penyanderaan partai-partai politik di pilkada, pengawasan ketat pada Presiden Prabowo merupakan siasat Jokowi untuk menyelamatkan dinasti politik yang sedang dibangunnya dan menjadikan Gibran presiden di 2029. Apakah parpol, masyarakat sipil, kaum intelektual kampus dan nonkampus, serta rakyat akan mendiamkan?
Pancasila, Konstitusi, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika harus kita selamatkan. Demokrasi harus kita tegakkan, tanpa harus meniru Bangladesh atau mengulang peristiwa Mei 1998.
Ikrar Nusa BhaktiPeneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (Maret 1984-April 2017), Duta Besar RI untuk Tunisia (April 2017-Oktober 2021)