Pemerintah ke depan adalah keberlanjutan dari pemerintah saat ini tapi tetap perlu perubahan agar keluar dari stagnasi.
Oleh
AGUSTINUS PRASETYANTOKO PENGAJAR UNIKA ATMA JAYA JAKARTA,
·4 menit baca
Sehari sebelum merayakan HUT Ke-79 Kemerdekaan, Presiden Jokowi menyampaikan keterangan pemerintah atas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2025 beserta Nota Keuangannya. Selanjutnya, Dewan Perwakilan Rakyat akan melakukan serial sidang guna memfinalisasi APBN 2025. Begitulah ritual tahunan yang biasa.
Tahun ini ada hal yang tak biasa, yaitu untuk pertama kalinya rancangan fiskal yang dibacakan presiden aktif sudah mengakomodasi program kerja presiden terpilih. Tak seperti biasanya, kali ini proses transisi kekuasaan terjadi dalam suasana keberlanjutan.
Meski dalam kerangka keberlanjutan, pemerintah baru tetap perlu melakukan berbagai pembaruan strategi pembangunan agar keluar dari stagnasi.
Meski dalam kerangka keberlanjutan, pemerintah baru tetap perlu melakukan berbagai pembaruan strategi pembangunan agar keluar dari stagnasi. Pembangunan infrastruktur yang masif serta berbagai kebijakan sosial selama 10 tahun ini belum mampu menggerakkan perubahan struktural sebagaimana diharapkan, khususnya terkait penciptaan lapangan kerja.
Merosotnya daya beli masyarakat serta berkurangnya jumlah kelas menengah akhir-akhir ini merupakan sinyal melemahnya penciptaan lapangan kerja.
Padahal, untuk mewujudkan visi Indonesia Maju 2045, pendapatan per kapita harus naik sekitar 6 kali lipat dari 5.200 dollar Amerika Serikat (AS) per tahun per kapita pada 2024 menjadi sekitar 30.300 dollar AS per tahun per kapita pada 2045 sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Peran swasta
Bukan pemerintah, melainkan sektor swasta melalui instrumen investasilah yang menciptakan lapangan kerja. Salah satu kekurangan pembangunan sepuluh tahun terakhir adalah terbengkalainya tatanan regulasi dan institusi sehingga iklim investasi kurang kondusif.
Selama 10 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi boleh dibilang mengalami stagnasi. Pada 2014 pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02 persen atau bisa dikatakan sama dengan pencapaian pada triwulan II-2024 sebesar 5,05 persen.
Pada 2014 pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02 persen atau bisa dikatakan sama dengan pencapaian pada triwulan II-2024 sebesar 5,05 persen.
Dari sisi pengeluaran, pendorong utama perekonomian masih didominasi konsumsi rumah tangga yang pada 2014 menyumbang 56,07 persen produk domestik bruto (PDB). Sementara pada triwulan II-2024, kontribusinya sebesar 54,53 persen.
Dua motor utama perekonomian, yaitu investasi dan ekspor peranannya justru menyusut. Pada 2014, komponen investasi masih sebesar 32,57 persen terhadap PDB merosot menjadi 27,89 persen pada semester I-2024. Demikian pula dengan aktivitas ekspor barang dan jasa yang pada 2014 peranannya sebesar 23,72 persen menyusut menjadi 21,40 persen pada semester I-2024.
Pertumbuhan pada kisaran 5 persen selama 10 tahun terakhir sangat mengandalkan peran pengeluaran pemerintah. Akibatnya, beban fiskal meningkat tajam. Rasio utang terhadap PDB melonjak, dari 24,7 persen pada 2014 menjadi 38,68 persen pada 2024.
Jika dilihat dari sisi produksi, perekonomian 2014 ditopang tiga sektor utama, yaitu industri pengolahan (21,28 persen), perdagangan (13,29 persen), dan pertanian (11,76 persen). Sepuluh tahun kemudian, ketiga sektor tetap menjadi penyumbang utama dengan perubahan porsi.
Industri pengolahan berkontribusi sebesar 18,52 persen. Menyusul berikutnya adalah pertanian (13,78 persen) dan perdagangan (12,99 persen). Selama 10 tahun terakhir, sektor jasa lebih tinggi pertumbuhannya. Sementara sektor manufaktur tumbuh di bawah rerata pertumbuhan nasional. Akibatnya, peranannya dalam perekonomian juga merosot.
Dampak infrastruktur
Mengapa investasi besar-besaran di bidang infrastruktur tak mampu mendorong industri pengolahan? Pertama, terjadi kecenderungan global di mana perekonomian bergeser dari sektor manufaktur ke sektor jasa. Tak terkecuali Indonesia. Situasi ini kurang menguntungkan Indonesia yang sebenarnya masih memerlukan peran sektor manufaktur. Indonesia mengalami deindustrialisasi prematur.
Transisi sektor primer ke sektor manufaktur biasanya ditandai dengan ”bonus struktural” di mana terjadi pergeseran penyerapan tenaga kerja dengan tingkat upah lebih baik. Sementara transisi dari manufaktur ke jasa justru menimbulkan lebih banyak kerugian sehingga menimbulkan ”beban struktural”. Jumlah tenaga kerja yang diperlukan di sektor jasa lebih sedikit dibandingkan sektor manufaktur.
Pembangunan infrastruktur yang masif tak membuat perekonomian lebih efisien, justru sebaliknya. Sebab, biaya logistik hanya salah satu komponen dari efisiensi ekonomi.
Kedua, iklim investasi dalam 10 tahun terakhir mengalami kemunduran. Indeks ICOR (Incremental Capital Output Ratio) pada 2014 sebesar 5,5 persen. Pada 2024, indeksnya melonjak menjadi 6,5 persen.
Rasio ini menunjukan jumlah investasi yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Makin tinggi ICOR menunjukkan ekonomi semakin tidak efisien karena untuk menggerakkan perekonomian diperlukan investasi lebih besar.
Pembangunan infrastruktur yang masif tak membuat perekonomian lebih efisien, justru sebaliknya. Sebab, biaya logistik hanya salah satu komponen dari efisiensi ekonomi. Masih ada faktor lain seperti regulasi dan institusi, kualitas sumber daya manusia dan iklim investasi, yang menentukan efisiensi perekonomian, tetapi tak diperhatikan selama ini.
Pemerintah ke depan perlu merumuskan strategi yang sistematis dan terukur untuk mengungkit produktivitas dan daya saing sektoral. Perlu perbaikan kualitas regulasi dan insitusi guna meningkatkan iklim investasi. Juga strategi khusus penyediaan pekerja trampil di sektor yang ingin didorong.
Pada level strategi yang lebih spesifik diperlukan pemetaan sektor industri yang memiliki tiga kriteria utama, yaitu produktivitas (productivity), penyerapan tenaga kerja (employability) serta orientasi pada ekspor (tradability) yang tinggi. Kebijakan industri tak lagi bisa berorientasi pada jenis sektor industri, tetapi lebih pada karakteristiknya.
Kebijakan industri tak lagi bisa berorientasi pada jenis sektor industri, namun lebih pada karakteristiknya.
Survei Industri 2014 menunjukkan industri otomotif, reparasi dan elektronik merupakan sektor yang memberikan upah paling tinggi. Sektor seperti ini perlu mendapat fasilitasi lebih banyak agar terus terakselerasi, baik melalui instrumen perpajakan, subsidi maupun fasilitasi.
Meski pemerintah ke depan adalah keberlanjutan dari pemerintah saat ini, tetap diperlukan berbagai perubahan agar keluar dari stagnasi perekonomian yang terjadi sepanjang sepuluh tahun ini.