Upaya untuk mereformasi hukum keluarga terus berlanjut melalui praktik hukum.
Oleh
THERESIA DYAH WIRASTRI
·4 menit baca
Di tengah ramainya diskusi mengenai cuti melahirkan dan cuti ayah dalam Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak yang akhirnya disahkan bulan lalu, kita lupa bahwa UU yang mengatur mengenai peran perempuan dan laki-laki dalam kehidupan keluarga, yaitu UU Perkawinan, tahun ini genap berusia 50 tahun.
UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan 1974) merupakan sebuah produk hukum yang bersifat plural dan nasional. Plural karena rezim hukum yang berlaku bergantung pada agama yang dianut. Nasional karena memuat ketentuan umum yang berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia, apa pun agamanya.
UU Perkawinan 1974 merupakan produk kompromi partai yang berkuasa di masa itu. Usulan pasal yang dinilai kontroversial dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan tahun 1973 ditolak.
Misalnya, ketentuan yang membolehkan perkawinan beda agama dan opsi pernikahan sipil (civil marriage). Syarat sahnya perkawinan pada akhirnya berlandaskan pada peraturan agama para pihak yang menikah. Artinya, perkawinan dianggap sebagai peristiwa agama dan, oleh karena itu, perkawinan yang hanya diselenggarakan menurut ketentuan sipil dianggap tidak sah.
Dalam sistem hukum Indonesia, norma hukum keluarga Islam diatur lebih lanjut melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diterbitkan tahun 1991. Pada praktiknya, KHI konsisten dengan UU Perkawinan 1974 dan mengadopsi norma-norma yang ada di dalamnya.
Pada dekade pertama tahun 2000-an, dengan semangat gerakan reformasi, dirancanglah RUU yang bertujuan untuk mereformasi norma-norma hukum keluarga dalam KHI berbasiskan kesetaraan dan keadilan jender. Namun, RUU itu ditangguhkan (Musdah Mulia, 2017; MB Hooker 2008).
Sejak 1991, reformasi hukum keluarga mengalami perkembangan yang lambat saat perubahan norma terutama terjadi melalui lembaga Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), bukan melalui perubahan UU.
Satu-satunya perubahan norma yang terjadi dalam 50 tahun sejarah UU Perkawinan 1974 adalah pengaturan mengenai batas usia minimum perkawinan perempuan yang disamakan dengan laki-laki, dari usia 16 menjadi 19 tahun (UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019).
Meski demikian, perubahan ini juga didorong putusan MK yang menilai perbedaan batas usia perkawinan tersebut merupakan bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Akselerasi perubahan hukum
Upaya untuk mereformasi hukum keluarga terus berlanjut melalui praktik hukum.
Sebagai contoh, hakim pengadilan agama menafsirkan norma-norma hukum keluarga Islam dengan mempertimbangkan kepentingan umum (maslahat), kesetaraan jender, perlindungan perempuan dan anak, serta perubahan sosial dalam masyarakat.
Beberapa tafsir baru tersebut telah diakui oleh MA sebagai yurisprudensi, tetapi belum diterapkan secara konsisten oleh hakim (Nurlaelawati, 2010; van Huis, 2015). MA, sebagai lembaga peradilan tertinggi, memainkan peran penting dalam menjaga kesatuan hukum.
Untuk memperbaiki kualitas putusan pengadilan dan mencapai kesatuan hukum, sejak 2011 MA mengembangkan sistem kamar yang membagi MA dalam kamar hukum pidana, hukum perdata, hukum agama, hukum militer, dan hukum tata usaha negara.
Upaya pembaruan hukum agar lebih responsif terhadap jender kemudian menemukan jalannya melalui SEMA.
Sejak diperkenalkannya sistem kamar di Indonesia, MA setiap tahun mengeluarkan peraturan internal terkait permasalahan hukum yang dirasa mendesak. Permasalahan hukum tersebut dibahas dalam rapat pleno setiap kamar.
Hasil rapat pleno tahunan dari lima kamar MA itu selanjutnya diterbitkan dalam bentuk surat edaran (surat edaran Mahkamah Agung/SEMA). Dengan hadirnya SEMA diharapkan peradilan dapat menghasilkan keputusan yang lebih konsisten.
Dalam merumuskan SEMA, hakim kamar agama secara khusus mempertimbangkan dua instrumen hukum yang memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak, yaitu UU Perlindungan Anak dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Hal ini, misalnya, dapat ditemukan pada SEMA Nomor 7 Tahun 2012 yang mengatur bahwa penentuan besaran mutah, nafkah idah, dan nafkah anak ditentukan dengan mempertimbangkan kemampuan suami dan kepatutan (seperti lamanya masa perkawinan atau besaran take home pay sang suami).
Ketentuan ini disempurnakan dalam SEMA No 3/2018 yang menambahkan bahwa penentuan besaran juga ”… [H]arus mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup istri dan/atau anak.”
SEMA No 3/2015 menegaskan bahwa putusan terkait nafkah anak hendaknya diikut dengan penambahan 10-20 persen per tahun dari jumlah yang ditetapkan, di luar biaya pendidikan dan kesehatan.
Jika terjadi perselisihan atau ketidaksepakatan antara mantan suami dan mantan istri tentang besaran nafkah, mereka dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk menentukan besaran nafkah yang sesuai.
Jalan panjang reformasi
Reformasi hukum keluarga yang mengedepankan asas kesetaraan dan keadilan jender melalui perubahan UU memang belum menemui hasil.
Pembagian peran laki-laki dan perempuan sebagai kepala keluarga dan ibu rumah tangga, sebuah dikotomi yang diamini oleh masyarakat patriarkis, masih terus dipertahankan. Upaya pembaruan hukum agar lebih responsif terhadap jender kemudian menemukan jalannya melalui SEMA.
Pertanyaannya: apakah dengan demikian SEMA akan bertransformasi menjadi sumber hukum baru, khususnya dalam ranah hukum keluarga, di mana perubahan hukum konvensional melalui perubahan UU kerap gagal dilakukan?
Mengandalkan perubahan norma melalui SEMA mungkin dapat menjadi solusi sementara, tetapi kebijakan internal semacam ini tak mampu mendorong perubahan hukum secara masif dan terstruktur.
Sudah saatnya Indonesia memiliki UU Perkawinan yang lebih responsif jender dan mampu mengakomodasi berbagai perubahan sosial yang ada di masyarakat.
Theresia Dyah Wirastri, Ketua Bidang Studi Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan FHUI; Visiting Fellow dari Van Vollenhoven Institute, Leiden Law School