Hadiah Rp 6 miliar akan berumur lebih panjang bila setengahnya diberikan dalam Obligasi Republik Indonesia atau SUN.
Oleh
LYNDA IBRAHIM
·4 menit baca
Bersama seluruh rakyat Indonesia minggu lalu saya bersorak saat Gregoria Mariska Tunjung, Veddriq Leonardo, dan Rizki Juniansyah memenangkan medali untuk Indonesia di Olimpiade Paris 2024. Indonesia belum nama jaminan di gelanggang olahraga internasional sehingga setiap atlet kita yang lolos kualifikasi, berlaga, apalagi merebut medali adalah kemenangan tersendiri bagi bangsa ini. Terima kasih kami untuk semua anggota kontingen Indonesia di Olimpiade dan terutama selamat untuk Gregoria, Veddriq, Rizki, beserta para pelatih dan pendukungnya.
Namun, di antara tempik sorai penyambutan kepulangan para atlet, saya tertegun saat mendengar jawaban Veddriq dan Rizki mengenai rencana penggunaan bonus kemenangan Rp 6 miliar mereka. Selain jawaban umum, seperti membagikan kepada orangtua dan jawaban cerdas, seperti menabung atau investasi, keduanya menjawab akan membangun fasilitas olahraga di tempat kelahiran mereka.
Saya tidak mengkritisi niat mulia Veddriq dan Rizki. Tertegunnya saya karena menyadari bahwa Veddriq dan Rizki sampai menjawab begitu mungkin karena kesadaran mereka bahwa cabang olahraga mereka ini tidak dilengkapi fasilitas mumpuni.
Harus diakui, panjat tebing/dinding dan angkat besi bukan anak emas, seperti sepak bola dan bulu tangkis, terlepas realita kategori panjat cepat sudah beberapa kali memecahkan rekor dunia. Sementara itu, sebelum Rizki meraih emas di Paris, angkat besi tidak pernah putus menyumbangkan medali sejak Olimpiade Sydney 2000 hingga Olimpiade Tokyo 2020. Total sepanjang lima olimpiade itu ada 7 perak dan 8 perunggu yang disumbangkan 9 lifter, termasuk oleh Eko Yuli (2 perak dan 2 perunggu) dan Lisa Rumbewas (2 perak, 1 perunggu).
Bulu tangkis punya sejarah panjang membawa Indonesia ke peta olahraga dunia, tapi sepak bola, terlepas ribut menaturalisasi kanan-kiri, tak juga konsisten membawa piala untuk Ibu Pertiwi. Kenapa sepak bola tetap dihujani dukungan, ya karena sebagai olahraga yang membawa tontonan massal ia adalah pintu terbesar ke rakyat. Panem et circenses, kata penyair Juvenal pada jaman Romawi Kuno, roti dan sirkus. Sepak bola adalah sirkus yang dibutuhkan penguasa untuk menyibukkan perhatian rakyatnya.
Bisa dipahami penyebabnya, tapi bukan lantas diterima imbasnya sampai pemenang medali emas Olimpiade dari cabor lain harus turun patungan memperbaiki sarana latihan di kampung halamannya. Revitalisasi Pelatnas Cipayung dan pembangunan pusat pelatihan baru untuk panjat tebing yang baru diumumkan itu harusnya tidak perlu selama ini menunggu. Kalau sudah menang berebut pejabat Pusat dan daerah berfoto dengan atlet untuk diunggah di media sosial, saat masih latihan dan bertanding awal dibiarkan seadanya. Belum lagi kalau menghadapi cedera, seperti dialami lifter Eko Yuli sampai tidak optimal berlaga di Paris, saya baca beritanya saja miris. Menyiapkan fasilitas pelatihan dan menyokong kepersertaan di berbagai kompetisi adalah tanda jasa minimal yang harus diberikan negara pada pejuang olahraganya.
Tidak semua mantan atlet mampu jadi pelatih, karena kepelatihan adalah ilmu tersendiri.
Di luar isu pendukungan masa aktif, ada juga masalah pendukungan jangka panjang. Semua atlet mulai dari usia muda, banyak yang pendidikan formalnya terkesampingkan karena fokus latihan dan bertanding. Beda dengan profesi lain yang bisa pensiun di rentang usia 50-60 tahun, atlet jauh lebih muda saat pensiun. Tak kompetitif lagi bertanding di usia akhir 20-an atau pertengahan 30-an, banyak yang tidak punya pegangan gelar akademis atau ketrampilan lain untuk bekerja.
Tidak semua mantan atlet mampu jadi pelatih, karena kepelatihan adalah ilmu tersendiri. Tak semua juga berbakat dan bermodal dagang seperti legenda bulu tangkis Ivana Lie yang sukses berniaga melalui Elvana Sports sampai sekarang. Apalagi atlet dari keluarga berada seperti mantan tetangga saya yang tak perlu disebut namanya, sungguh jarang. Banyak kisah mantan atlet yang kemudian terlunta-lunta, paling menggemparkan mungkin Ellyas Pical, petinju pertama Indonesia yang menang gelar IBF pada tahun 1985 namun lalu terseok-seok mencari penghidupan dan 20 tahun kemudian ditangkap karena narkoba.
Tragedi Pical memang mendorong Pemerintah untuk memberlakukan program masuk ASN bagi mantan atlet, dan walaupun itu solusi yang tidak buruk, saya terpikir skema yang lebih komprehensif lagi. Contoh hadiah Rp 6 miliar kemarin, akan lebih “berumur” panjang dampaknya bagi atlet bila mungkin setengahnya diberikan dalam bentuk Obligasi Republik Indonesia atau Surat Utang Negara.
ORI dan SUN adalah instrumen investasi yang paling aman karena penjamin langsungnya adalah Pemerintah sendiri, dan arus pendapatan tetapnya akan selalu jadi penyangga hidup bagi atlet jauh setelah pensiun.
Memakai ORI 25 di awal 2024 sebagai acuan, kepesertaan Rp 3 miliar akan mendapat kupon sekitar Rp 13 juta perbulan. Setelah masa tenor berakhir seketika diikutkan ORI berikutnya, sehingga atlet akan selalu punya pendapatan pasif, sesuatu yang makin berarti saat ia pensiun sebagai atlet dan tidak mendapat bonus kemenangan lagi. Toh kalau atlet butuh menggunakan dana pokok, ORI bisa diperjualkan tiap saat mengikuti harga pasarnya.
Menurut saya skema di atas lebih aman untuk jangka panjang ketimbang tabungan atau deposito. Tabungan sekarang tidak menarik karena kalah digerus pajak dan biaya administrasi bank, dan bunga deposito tidak setebal dulu. Tapi ORI dan SUN adalah instrumen investasi yang paling aman karena penjamin langsungnya adalah Pemerintah sendiri, dan arus pendapatan tetapnya akan selalu jadi penyangga hidup bagi atlet jauh setelah pensiun.
Jangan anaktirikan saat masih berlaga, bantu pertahankan jaring pengaman setelah meninggalkan arena. Tanda jasa bermakna sesungguhnya dari negara bagi pahlawan-pahlawan olahraganya, bukan?