Patriotisme Hatta
Masalah kemerdekaan nasional adalah masalah kekuatan.
Mohammad Hatta memulai studi di Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam, Belanda, pada 1921. Usianya 19 tahun ketika itu.
Tentu ia bergabung menjadi anggota Indische Vereeniging (perkumpulan mahasiswa Hindia Belanda) yang didirikan pada tahun 1908, enam bulan setelah Boedi Oetomo didirikan di Jawa.
Nama Indische Vereeniging diganti menjadiIndonesische Vereenigingpada 1922. Nama baru ini secara politis ditujukan untuk Ibu Pertiwi.
Dari rangkaian peristiwa dalam politik kolonial yang diskriminatif dan menyudutkan anak negeri, Indonesische Vereeniging yakin rakyat Indonesia dapat memperoleh keadilan, hanya jika mampu melawan kekuasaan melalui prinsip nonkooperatif atau menolak kerja sama. Tak lama kemudian namaIndonesische Vereeniging menjadi Perhimpunan Indonesia.
Prinsip nonkooperatif Perhimpunan Indonesia menyandarkan diri pada kekuatan sendiri, mengumandangkan perasaan hormat pada diri sendiri dalam kalbu rakyat Indonesia.
Baca juga: Mengenang Bung Karno, Mengenang Bung Hatta
Kemasyhuran Perhimpunan Indonesia di kalangan rakyat Indonesia, khususnya di antara para cendekiawan Indonesia, terutama disebabkan prinsip nonkooperatif ini.
Hatta, sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia sejak 1926, menekankan kepada anggota-anggotanya bahwa mereka harus bersiap menghadapi kesulitan-kesulitan politik, termasuk risiko penahanan, penjara, dan pembuangan.
Masalah kemerdekaan nasional adalah masalah kekuatan. Syarat utama menampilkan kekuatan ini adalah aksi massa untuk mencapai kepercayaan dan kesadaran pada diri-sendiri, melalui propaganda mengenai kesatuan dan solidaritas Indonesia.
Akhir tahun 1926, Semaun datang dari Moskwa menemui Hatta di Den Haag. Semaun adalah bekas pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah dibuang dari Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda dan terpilih oleh Comintern jadi anggota Komite Eksekutif Komunis Internasional.
Hatta dan Semaun membahas kegagalan PKI melakukan pemberontakan pada 1926. Keduanya berkesimpulan Pemerintah Hindia Belanda akan melikuidasi Gerakan PKI.
Oleh karena itu, sangatlah baik bagi Perhimpunan Indonesia untuk mengambil alih kepemimpinan gerakan nasionalis.
Hatta dan Semaun pun merumuskan konvensi yang ditandatangani oleh Semaun sebagai wakil PKI dan Hatta sebagai wakil Perhimpunan Indonesia. Dalam konvensi itu, antara lain, disebutkan pengakuan PKI atas kepemimpinan Perhimpunan Indonesia terhadap seluruh gerakan rakyat Indonesia.
Konvensi itu bocor dan sampai ke telinga Stalin di Moskwa. Semaun dipanggil oleh Stalin, diamuk dan dipecat dari Partai Komunis dan dari Komunis Internasional.
Ia diperintahkan membatalkan konvensi ini di depan pers internasional di Moskwa. Ini dilakukannya. Kemudian, ia dibuang ke Crimea dan belakangan ke Siberia.
Melalui inisiatif ”Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial”, suatu kongres internasional diadakan di Brussels pada Februari 1927. Perhimpunan Indonesia diundang berpartisipasi dalam kongres tersebut.
Hatta mempropagandakan nama Indonesia agar dikenal oleh organisasi-organisasi internasional.
Hatta berpendapat, peristiwa ini amat penting. Hasil rapat menetapkan delegasi terdiri dari Hatta sebagai ketua, Nasir Pamontjak, Ahmad Soebardjo, Gatot Tarunamihardjo, dan Abdul Manap sebagai anggota.
Dalam kongres, muncul Semaun mewakili Sjarikat Rakyat di Indonesia. Sebagai ketua delegasi, Hatta diberi tempat di presidium. Begitu pun Semaun.
Di kongres ini Hatta berkesempatan mengenal secara pribadi para pemimpin gerakan buruh internasional dan para pemimpin Asia dan Afrika, seperti Jawaharlal Nehru dari India, Hafiz Ramadhan Bey dari Mesir, Senggor dari Afrika.
Liga ini kemudian diganti namanya menjadi ”Liga Menentang Imperialisme untuk Kemerdekaan Nasional”.
Sepanjang tahun 1927, Hatta malang-melintang di Eropa untuk berceramah soal kemerdekaan Indonesia, ”L’Indonésie et son Problème de l’Indépendance”. Hatta mempropagandakan nama Indonesia agar dikenal oleh organisasi-organisasi internasional.
Saat pulang ke Belanda setelah berceramah di Swiss, 23 September 1927, Hatta dijemput polisi dan dibawa ke penjara di Den Haag. Bersama Hatta, ditahan pula Nasir Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat.
Di dalam penjara, Hatta minta dikirimi buku-buku mengenai hukum-hukum konstitusi dan ilmu politik, termasuk majalah Indonesia Merdeka untuk menyusun pembelaannya di pengadilan.
Tuduhan terhadap Hatta adalah ”menghasut” yang mereka angkat dari tulisan dia di majalah Indonesia Merdeka.
Majelis hakim memutuskan hukuman 3 tahun penjara untuk Hatta. Pembela Hatta, Mr Duys dan Mr Mobach, menolak cara-cara yang tidak tepat dan kurang berhati-hati dari jaksa penuntut.
Semula Hatta berkeinginan membacakan pembelaan yang telah ia siapkan di penjara. Namun, ia diminta menyerahkan saja pembelaan, yang jika dibaca akan memakan waktu tiga setengah jam itu, ke pengadilan untuk dipelajari.
Hatta hanya menyampaikan pembelaan patriotik singkat, antara lain: ”…lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain…”.
Pada 22 Maret 1928, Hatta dan kawan-kawannya dinyatakan bebas dari segala tuduhan.
Setelah kemenangan di pengadilan itu, Hatta melatih kader-kader baru untuk menggantikannya sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia. Ia langsung aktif kembali meneruskan perjuangannya, tetapi jabatan ketua diserahkannya kepada Abdul Sjukur tahun 1930.
Setelah Soekarno ditahan, penguasa kolonial mulai mengarahkan perhatian kepada Hatta dan kawan-kawannya dari PNI Baru.
Sementara itu, diterima kabar dari Indonesia bahwa Ir Soekarno dan tiga temannya dari Partai Nasional Indonesia (PNI) ditahan oleh pemerintah kolonial. Namun, tak ada protes keras diajukan oleh Persatuan Partai-Partai Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Hanya Partai Islam PSII yang mengadakan rapat umum untuk menentang tindakan kolonial itu. PNI sendiri tidak berbuat apa-apa.
Soekarno dan teman-temannya dijatuhi hukuman penjara di Bandung. PNI dibubarkan oleh pimpinan pusatnya atas desakan Mr Sartono.
Kesediaan berkorban
Hatta membandingkan, hal yang berlawanan terjadi di India. Ketika Gandhi mengajak rakyat bergerak ke pantai untuk membuat garam sebagai gerakan menolak peraturan kolonial Inggris, 56.000 penduduk ditahan dan dimasukkan ke penjara. Namun, gerakan itu berjalan terus sampai akhirnya pemerintah kolonial Inggris terpaksa membatalkan peraturan yang ditentang rakyat India.
Di Indonesia, hanya empat unsur pimpinan partai yang dimasukkan ke penjara, tetapi partai itu dibubarkan. Hal ini terjadi tidak lain karena adanya ketakutan bahwa pemerintah kolonial akan menyatakannya sebagai partai terlarang.
Para pemimpin partai itu lupa bahwa mereka menunjukkan kelemahan mereka. Taktik semacam itu menunjukkan bahwa mereka tidak bersedia berkorban. Padahal, justru kesediaan untuk berkorban inilah yang justru merupakan ajaran Perhimpunan Indonesia.
Pada Juli 1932, Hatta lulus dari ujian doktoral dan kembali ke Indonesia setelah 11 tahun lamanya berada di luar negeri. Setiba di Indonesia, Hatta sempat menemui Soekarno di Bandung sebelum ia aktif di Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru).
Pada November 1932, Hatta pulang ke Sumatera Barat menemui keluarganya dan melihat pergerakan rakyat di sana. Ia sempat tinggal satu setengah bulan di sana sebelum dipanggil asisten residen di Bukittinggi. Ternyata, Hatta harus segera meninggalkan Sumatera Barat tengah hari besoknya.
Keteguhan nonkooperatif
Dinas intelijen politik rupanya makin keras menangani dan mengawasi aktivitas-aktivitas para nonkooperator.
Pada Februari 1934, Hatta mulai berkeliling Jawa mengunjungi pimpinan PNI Baru. Hatta mendengar Soekarno ditahan dan partai-partai nonkooperatif telah dilarang.
Setelah Soekarno ditahan, penguasa kolonial mulai mengarahkan perhatian kepada Hatta dan kawan-kawannya dari PNI Baru. Mereka ditahan untuk dibuang ke Boven Digoel, Papua.
Pada Januari 1935, kapal datang menjemput Hatta dan kawan-kawannya menuju Boven Digoel. Sehari setelah tiba di pembuangan Boven Digoel, Hatta dan kawan-kawannya satu per satu dibawa menghadap Kapten Van Langen, kepala pemerintahan di sana.
Pemimpin Indonesia, Soekarno dan Hatta, menempatkan diri dengan baik untuk mulai mempersiapkan kemerdekaan Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945.
Kapten Van Langen mengatakan bahwa untuk Hatta dan kawan-kawannya hanya ada dua pilihan. Pertama, bersedia untuk bekerja bagi pemerintah kolonial dengan upah 40 sen gulden per hari. Orang yang bersedia dapat mengharap dipulangkan ke tempat asal.
Pilihan kedua ialah menjadi orang buangan yang menerima ransum in natura tiap bulan berupa 18 kilogram (kg) beras, 1 kg kacang hijau, 2 kg ikan asin, 400 gram teh, dan 1 blok kecil garam.
Mereka yang perlu gula dan lain-lain dapat membeli sendiri di satu-satunya warung China di situ. Ransum tiap bulan ini hanya separuh dari jumlah yang diberikan kepada para kriminal di penjara, yang bernilai 2 gulden 40 sen setiap bulan.
Orang buangan penerima ransum tiap bulan ini, kata Van Langen, tidak ada harapan untuk dipulangkan ke Sumatera atau ke Jawa. Van Langen berharap Hatta memilih bekerja.
Hatta menjawab: ”Jika saya mau bekerja untuk pemerintah, tentulah ketika saya masih di Jakarta, pasti saya dapatlah menjadi orang besar dengan gaji yang besar pula, tidak perlu datang kemari menjadi kuli dengan gaji 40 sen per hari.”
Berbagai cara diupayakan untuk membujuk, tetapi Hatta tetap nonkooperator dan menolak bekerja sama. Ia memilih menjadi orang buangan yang menerima ransum in natura.
Baca juga : Harmoni Soekarno-Hatta
Pertengahan 1935, Residen Ambon, Dr Haga, datang ke Boven Digoel untuk turut membujuk Hatta. Dikatakan Hatta, jika dianggap sebagai intelektual, ia seharusnya diberi bantuan sama seperti yang diberikan kepada dr Tjipto dan Mr Iwa Kusuma Sumantri di Banda Neira serta Soekarno di Ende.
Hatta mendengar dr Tjipto menerima 175 gulden dan Soekarno menerima 150 gulden. Dr Haga menjawab, beda peraturan di Boven Digoel, di Neira, dan di Ende.
Pada tahun 1935, Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira. Mereka hidup di Banda Neira selama 6 tahun. Pada tahun 1941, Jepang memaklumkan perang kepada Hindia Belanda. Pada 1942, Hatta dan Sjahrir dipindah ke Sukabumi.
Pada 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Penjajahan Belanda berakhir dan digantikan dengan penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun yang penuh kekejaman.
Pemimpin Indonesia Soekarno dan Hatta menempatkan diri dengan baik untuk mulai mempersiapkan kemerdekaan Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sri-Edi SwasonoKetua Umum Majelis Luhur Tamansiswa