Merunut Jalan Mitologi Sang Kurma
Kebetulan bapak ditangkap polisi dua kali. Sejak itu mungkin ia bertobat dan ingin membayar karmanya kepada penyu.
Sampai pertengahan tahun 1990-an, sekelompok nelayan di Desa Perancak, Jembrana, Bali, masih menjadi pemasok utama penyu ke wilayah Denpasar Selatan. Mereka menangkap penyu sampai ke perairan di Kalimantan atau Sulawesi. Waktu itu, penyu memang menjadi komoditas perdagangan yang menguntungkan. Selain harganya lumayan mahal, menangkapnya pun terbilang tidak sulit.
Keberlimpahan hasil tangkapan nelayan itu diiringi dengan tingkat konsumsi penyu yang tinggi. Jadilah tempat-tempat penjagalan penyu merebak di Denpasar Selatan. Jadilah pula warung-warung sate, lawar, dan gulai penyu tersebar dari Sesetan, Sidakarya, Nusa Dua, dan Tanjung Benoa.
Pada petetengahan tahun 1980-an, aku ingat persis saban kali melakukan upacara adat, termasuk merayakan Galungan dan Kuningan, tuan rumahku di Sesetan, Denpasar Selatan, selalu menyembelih penyu. Kupikir ini saat yang tepat untuk memohon maaf lahir dan batin kepada para pembaca ePILOG ini karena aku juga dahulu suka mengonsumsi daging penyu. Ya itu tadi, berawal dari pemberian tuan rumah, lalu pelan-pelan mengubah mindset-ku bahwa daging penyu menjadi daging yang lumrah dikonsumsi pada saat merayakan hari raya. Berbeda dengan di Jembrana, santapan utama perayaan upacara adat adalah daging babi. Oleh sebab itu, memotong babi menandakan kemewahan dan keistimewaan sebuah upacara di Denpasar Selatan.
Bahkan saat beberapa bulan tinggal di rumah paman di Tanjung Benoa (dekat Nusa Dua), hampir setiap hari aku mengonsumsi daging penyu. Selain ikan, penyu adalah santapan istimewa bagi penduduk setempat. Tanjung Benoa, waktu itu, dikenal sebagai salah satu penjagalan penyu terbesar di Bali.
Baca juga: Mengarang bebas tentang perasaan yang tertindas
”Kebetulan bapak ditangkap polisi dua kali. Sejak itu mungkin ia bertobat dan ingin membayar karmanya kepada penyu,” kata I Wayan Anom Astika Jaya, Ketua Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih, Desa Perancak, Jembrana, Bali, Selasa (13/8/2024), di Perancak.
Ayahanda Anom, I Wayan Tirta (alm), dahulu dikenal sebagai nelayan yang khusus berburu penyu. Namun, setelah peristiwa penangkapannya, yang bahkan sampai dua kali, ia seperti tersadar bahwa aktivitasnya menangkap penyu sangat merugikan. Penyu jadi semakin langka di sekitar perairan Desa Perancak.
”Sebab, pembesarannya memakan waktu sampai puluhan tahun. Penyu hanya bertelur pada usia 20-50 tahun. Kalau dikonsumsi terus, pasti akan habis,” kata Anom.
Sebagai wujud pembayaran dosa, Tirta dan para nelayan Perancak kemudian mendirikan kelompok pelestari penyu bernama Kurma Asih pada tahun 1997. Sejak itu, nelayan yang tadinya pemburu penyu bertransformasi menjadi pengedukasi warga. Ia kemudian berburu telur penyu di sepanjang garis pantai Desa Pengambengan, Desa Perancak, sampai Desa Yeh Kuning. Panjang garis pantai itu berkisar 10-15 kilometer.
Bapak tak segan-segan membeli telur penyu dari warga lalu ditetaskan di sepetak pasir. Setelah 4-5 bulan, tukik-tukiknya kemudian dilepas ke laut bebas. Itu sudah berjalan sampai 27 tahun sampai hari ini.
”Bapak tak segan-segan membeli telur penyu dari warga lalu ditetaskan di sepetak pasir. Setelah 4-5 bulan, tukik-tukiknya kemudian dilepas ke laut bebas. Itu sudah berjalan sampai 27 tahun sampai hari ini,” tutur Anom.
Penyu memang bukan makhluk sembarangan. Dalam mitologi Hindu, terdapat kepercayaan tentang Kurma Awatara. Kurma tak lain adalah penyu dan awatara adalah penjelmaan. Kurma Awatara adalah jelmaan Dewa Wisnu kedua kalinya setelah Matsya Awatara (berbentuk ikan besar), yang turun ke dunia untuk menyelamatkan manusia.
Dikisahkan dalam kitab Adiparwa, pada saat para dewa dan asura (raksasa) menginginkan Tirta Amerta (air keabadian), di zaman Satya Yuga, mereka harus bekerja sama untuk mengaduk lautan susu. Pengadukan itu membutuhkan Gunung Mandara sebagai tongkat pangaduknya, serta ikatan dari tubuh Naga Anantaboga dan Naga Basuki. Masalahnya, jika diaduk tanpa penopang, bisa jadi bumi tenggelam dan Tirta Amerta yang berada di dasar lautan gagal diperoleh.
Maka, Dewa Wisnu menjelma menjadi seekor penyu raksasa yang mengapung di atas lautan susu. Berkat cangkang penyu raksasa itulah, air suci kehidupan berhasil diperoleh oleh para dewa. Kisah ini kemudian diabadikan dan dijadikan filosofi dasar dari keberadaan alam semesta. Dalam ajaran Hindu dikenal dengan Padmasana. Ia tak lain adalah sebuah tempat suci utama, yang terdapat pada hampir setiap wilayah di seluruh Indonesia.
Padmasana tak lain berupa bunga padma (teratai) dan asana adalah sikap duduk atau tuntunan. Padmasana menyerupai sebuah tempat duduk istimewa yang diperuntukkan untuk memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Hal yang istimewa, pada bagian bawah Padmasana, terdapat makhluk menyerupai penyu besar bernama Bedanawang Nala atau Empas yang dililit oleh dua ekor naga yang juga besar.
Bedawang Nala yang dililit naga itu tiada lain representasi simbolik dari kisah dalam Adiparwa tadi. Jadi, penyu bagi masyarakat Hindu, terutama di Bali, adalah dasar dari keberadaan bumi. Ia selalu mengapung dan siap menyangga bumi agar tidak tenggelam oleh berbagai bencana. Jangan lupa, penyu yang mengapung itu harus diikat oleh dua ekor naga, yang membuatnya menjadi lebih kokoh, tak tergoyahkan.
Kira-kira seperti itulah dasar filosofi keberadaan Padmasana sehingga menjadi pelinggih (tempat suci) utama dalam gugusan pura-pura di Bali. Dan jangan lupa, selalu akan nada penyu yang menjadi penyangga utama sehingga pemujaan itu tetap ”mengapung” di segala pikiran umat Hindu.
Anom Astika menebak bahwa perubahan sikap dan perilaku orangtuanya tidak semata-mata karena karma atau pencidukan oleh polisi. Perubahan sikap dan perilaku itu lebih-lebih karena kesadaran yang tumbuh seiring pemahaman akan pentingnya keberadaan makhluk bernama penyu (bedawang nala).
”Jadi sejak lama penyu sudah dikisahkan dalam mitologi, bahkan diperlakukan sebagai makhluk yang menopang keberadaan manusia di bumi ini. Dan bukan main-main, makhluk ini dipercaya sebagai jelmaan dari Dewa Wisnu, selaku pemelihara alam semesta. Jadi, mau tidak mau kita harus melindunginya,” ujar Anom.
Ia kini mewarisi Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih dari ayahnya. Sejak berdiri sampai hari ini, setidaknya sudah lebih dari 600.000 ekor tukik berhasil dilepas ke lautan bebas. Pengeraman telur penyu di Pantai Perancak biasanya dimulai sekitar bulan April sampai Juli dalam setiap tahun. Penetasannya sudah mulai pada Juli sampai September. Begitu terus siklusnya sepanjang tahun.
Sejak Senin (12/8/2024) sampai Selasa (13/8/2024), tidak kurang dari 1.500 ekor tukik dilepaskan. ”Sekitar 48.500 butir telur penyu masih dalam masa penetasan. Kami keramkan dalam 540 sarang. Mungkin nanti September akan banyak menetas dan melepas tukik,” ujar Anom.
Dulu, ayahnya bersama kelompok nelayan membiayai seluruh perburuan telur dan penetasan penyu secara mandiri. Kini, Anom memiliki cara yang lebih maju. Siapa pun yang ingin turut berperan serta dalam melestarikan keberadaan penyu boleh menjadi ”orangtua” adopsi. Mereka biasanya memberikan donasi dan nama-nama pendonasi ditulis dalam secarik kertas yang ditancapkan di atas pasir pengeraman.
”Cara ini efektif sebagai edukasi sekaligus kampanye bagi pelestarian penyu. Kebanyakan orangtua adopsi itu justru datang dari Eropa. Ada yang datang langsung, ada yang lewat online,” ujar Anom.
Sekadar tahu, penyu-penyu yang dilepas dari Pantai Perancak, jika berhasil selamat menjadi dewasa, 20-25 tahun nanti akan kembali ke pantai yang sama untuk bertelur. Ini baru satu dari sekian banyak keistimewaan penyu. Selain itu, mengutip pengalaman Anom, saat dilepas ke laut, tukik yang merayap dan menuju ke satu arah (tidak langsung ke air) menandakan bahwa telurnya berasal dari pantai arah yang sama.
Penyu memiliki alat navigasi yang disebut magnetoreception, semacam kemampuan melakukan navigasi terhadap magnet bumi. Bahkan disebutkan, penyu punya kemampuan mengukur bujur dan lintang bumi sehingga walau bermigrasi sejauh ribuan mil, pada saat bertelur ia akan kembali ke pantai yang sama.
Jika kini terdapat ratusan sarang penyu pada garis pantai sepanjang 10 kilometer dari Pengambengan sampai Yeh Kuning, tiada lain karena tukik-tukik yang dilepas 20 tahun silam, telah menjadi dewasa dan bereproduksi. Sejak tahun 1997, Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih, seperti disebutkan Anom, telah melepas lebih dari 600.000 ekor tukik.
Masalahnya, tidak semua tukik berhasil menjadi penyu dewasa. Perbandingannya, 1.000:1. Artinya, dari 1.000 ekor tukik yang berhasil dilepas ke laut, hanya 1 ekor kemungkinannya yang tetap hidup dan menjadi dewasa.
”Selebihnya bisa dimangsa predator seperti hiu, kepiting, burung, atau ditangkap manusia,” cerita Anom. Oleh karena itu, jika tidak ditetaskan dengan konservasi, populasi penyu akan terus-menerus merosot.
Kini, warga di sepajang garis Pantai Perancak sudah teredukasi secara baik bahwa penyu termasuk makhluk langka yang dilindungi. Sering kali terjadi jika para nelayan menangkap penyu, anak-anak mereka mengembalikannya ke lautan. Justru masalah krusial kini, kata Anom, perusakan terhadap habitat bertelur penyu. Banyak pantai tempat bersarang penyu kini telah berubah karena berbagai hal. Pertama-tama karena abrasi air laut, kemudian kedua karena eksploitasi pantai untuk pembangunan.
Hal kedua inilah yang kini mengancam habitat bertelur penyu di Pantai Perancak. Pengembangan pariwisata tanpa mengindahkan habitat penyu akan membuat penyu kesulitan untuk berkembang biak.
”Buntutnya ada beberapa temuan di mana penyu mati saat mengandung telur-telurnya. Ia tidak bisa bertelur karena gangguan manusia, terutama permukiman atau sarana wisata lainnya,” kata Anom.
Oleh karena itu, jika Pemerintah Kabupaten Jembrana ingin mengembangkan Perancak sebagai destinasi wisata, sebaiknya berangkat dari konsep ekowisata. Konsep ekowisata dianggap ramah terhadap pelestarian lingkungan. Sebab, bukankah mengintip penyu bertelur dan melepas tukik ke lautan lepas adalah suguhan wisata yang mendebarkan?
Ketika turut melepas tukik sebanyak 300 ekor, Selasa (13/8/2024), di Pantai Perancak, aku ingat Kurma Awatara yang diceritakan sebagai mitologi. Saat-saat para tukik merayap di pantai sembari mendengarkan suara ombak adalah saat-saat di mana bumi akan diselamatkan. Dalam pikiran skala (realitas wadag), para nelayan di pesisir Perancak sedang membuat penyelamatan terhadap kawanan penyu yang mulai langka. Namun, dalam pikiranku berkelebat-kelebat sesuatu yang niskala (tak nyata), para tukik itulah sumber pertama-tama yang justru akan menyelamatkan bumi beserta makhluk seisinya dari keterbenaman oleh air laut.
Ia akan mengapung dan menyangga bumi, yang semakin hari semakin berlimpah bebannya. Para penyulah yang kemudian berjasa besar agar para dewa menemukan air suci, yang akhirnya menjadi sumber regenerasi makhluk hidup, termasuk manusia. Oleh sebab itu, orang-orang suci telah mengingatkan manusia dengan mendirikan ”monumen” persembahan bernama Padmasana. Sebab, di situlah kita semua bisa melihat dan mengenang, betapa berkat kehadiran penyu bumi dan segala isinya selamat dari amukan air.
Jadi, kalau datang ke Kurma Asih di Desa Perancak, Jembrana, Bali, jangan ragu-ragu menjadi sukarelawan, bila perlu berdonasi untuk kelestarian kehidupan para penyu. Selain rekreatif, Anda akan diajak menyelam ke dalam kolam pencerahan batin. Sekecil apa pun itu, kerelaan akan mendatangkan kesadaran tentang makhluk yang harus terus menjadi teman hidup manusia.
Baca juga: Madu dan Racun Si Seksi Kecubung
Putu Fajar Arcana, jurnalis Kompas 1994-2022, sastrawan, sutradara, Redaktur Tamu Rubrik Sastra Kompas 2022-sekarang, dosen Creative Writing London School of Public Relations (LSPR) Jakarta