”Fa-fi-fu was-wes-wos” diidentikkan dengan omong kosong meski ia merupakan implikasi logis dari kegagalan komunikasi.
Oleh
AHMAD HAMIDI
·2 menit baca
Bahasa Indonesia tak asing dengan konsep onomatope. Kata-kata seperti gong (onomatope besi yang dipukul), dangdut (onomatope ketukan gendang), dan kempis (onomatope angin yang keluar dari lubang kecil) merupakan produk budaya berdasarkan cerapan indra pendengaran manusia Indonesia pada lingkungannya untuk melambangkan alat musik, genre musik, dan kondisi tanpa angin pada ban.
Selain membutuhkan kepekaan merespons realitas, onomatope merupakan manifestasi kreativitas berbahasa. Pada tiap zaman, gairah berkreasi dalam berbahasa senantiasa memancar dari anak muda—kaum tua biasanya sibuk mencibir cara berbahasa mereka. Anak muda bergembira bersama bahasa dan, dalam kacamata yang positif, membuatnya jadi berwarna.
Di media sosial X dan Tiktok mudah kita temukan ungkapan fa-fi-fu was-wes-wos, yakni onomatope udara yang keluar dari mulut ketika seseorang berbicara penuh semangat. Ia lazim digunakan secara metaforis untuk merujuk gagasan yang diungkapkan secara rumit meskipun sebenarnya dapat diungkapkan secara sederhana.
Kerumitan mengungkapkan gagasan bersumber dari ketidakteraturan pikiran. Dalam konteks yang tidak tepat, mengungkapkan gagasan menggunakan terminologi dan mengutip teori-teori ilmiah berlebihan dapat memperumit keterpahaman.
Fa-fi-fu was-wes-wos diidentikkan dengan omong kosong, padahal keduanya berbeda. Omong kosong adalah sesuatu yang tidak pernah ada sebagaimana orang-orang berbahasa Inggris mengatakan bullshit, baloney, atau poppycock. Adapun fa-fi-fu was-wes-wos merupakan sesuatu yang benar-benar ada dan masuk akal.
Berbeda dengan omong kosong, fa-fi-fu was-wes-wos tidak mengandung intensi menipu, menyesatkan, atau menyombong. Ia merupakan implikasi logis dari kegagalan komunikasi. Dalam khazanah slang sezaman, ia sama belaka dengan ndakik-ndakik.
Di media sosial X dan Tiktok mudah kita temukan ungkapan fa-fi-fu was-wes-wos, yakni onomatope udara yang keluar dari mulut ketika seseorang berbicara penuh semangat.
Di satu sisi, fa-fi-fu was-wes-wos merupakan kritik terhadap cara mengungkapkan gagasan. Semestinya gagasan diutarakan secara sederhana agar mitra tutur dengan tingkat intelegensi dan daya fokus yang beragam mampu segera menangkap substansinya.
Banjir informasi
Sejauh ini banjir informasi di media sosial membuat penggunanya tidak hendak berlama-lama mengunyah gagasan yang rumit. Ketika satu gagasan tidak dapat dicerna secara cepat, kalau tidak mengabaikannya, warganet bakal meninggalkan fa-fi-fu was-wes-wos di kolom komentar.
Di lain sisi, fa-fi-fu was-wes-wos dapat berujung pada pembunuhan gagasan seseorang. Padahal, serumit atau sesederhana apa pun suatu gagasan, bagaimana pun cara pemilik gagasan menyampaikannya, sepanjang premisnya berangkat dari olah pikir yang logis, gagasan itu berharga.
Sampai di sini kita paham bahwa fa-fi-fu was-wes-wos dimaknai dalam konotasi negatif. Namun, sebagaimana tabiat bahasa, selalu ada anomali. Dalam konteks yang lebih terbatas, fa-fi-fu was-wes-wos juga digunakan dalam intensi memuji sehingga berkonotasi positif, seperti pujian untuk orang yang fasih berbahasa asing. Ia setara dengan cas-cis-cus.
Anak muda identik dengan pemberontakan. Itulah sifat alamiah mereka. Dalam berbahasa, mereka memberontak lewat penciptaan bentuk-bentuk baru, yang menunjukkan penolakan terhadap bentuk-bentuk bahasa yang usang.
Tulalit—onomatope pesawat telepon yang tidak tersambung ke nomor tujuan—yang digunakan untuk menyimbolkan orang yang enggak nyambung ketika mengobrol, misalnya, menjadi korban pemberontakan kelompok sosial ini. Kata itu sudah asing di lingkungan generasi Z yang kini mengenal ngang-ngong dan hah-hoh untuk maksud yang sama.
Ahmad Hamidi, Dosen Linguistik Universitas Andalas