Kecurigaan terhadap tubuh perempuan masih kerap terjadi. Kesetaraan masih menjadi perjuangan untuk terus didorong.
Oleh
SARAS DEWI
·4 menit baca
Para atlet perempuan tim rugbi Selandia Baru berdiri dengan tangguh mengenakan medali emas yang dikalungkan di leher mereka. Selepas dinobatkan sebagai pemenang di Olimpiade Paris, mereka membawakan tarian masyarakat adat Maori atau yang lebih dikenal dengan haka. Para perempuan itu berwajah serius, selepas teriakan dimulai, mereka menari dan mengutarakan kata-kata dengan lantang. Ujung jemari-jemari mereka digerakkan, wajah mereka ekspresif dengan mata terbelalak.
Kepercayaan orang-orang Maori, haka adalah tari yang bermakna merayakan hidup ini. Mereka meneriakkan secara serempak syair yang berbicara mengenai energi di tubuh yang menyelubungi mereka, bahwa mereka diliputi berkah dari para leluhur, dan apa pun yang terjadi mereka pantang menyerah. Mereka akan lebih kuat, lebih cepat, bertarung hingga tuntas.
Tarian ini menunjukkan resiliensi tubuh perempuan menggeluti tantangan secara bekerja sama. Kerja sama dan ketersalingan mereka sebagai kelompok telah membawa mereka pada kemenangan. Tarian haka juga membicarakan warisan para pendahulu, dan kemenangan tersebut adalah cara untuk menghormati sejarah mereka. Mata yang terbuka lebar memang menampilkan kegarangan, tetapi haka para perempuan ini dapat dimaknai juga sebagai kesungguhan serta penghayatan mereka terhadap hidup.
Dalam pandangan saya, tarian ini adalah penanda penting dalam upaya untuk menjadikan ajang Olimpiade yang peka terhadap kesetaraan jender serta inklusif dengan keragaman budaya. Jika menimbang, lebih dari satu abad yang lalu perempuan tidak dilibatkan dalam Olimpiade, baru pada tahun 1900 dan tidak lebih dari 22 perempuan yang turut serta dalam cabang olahraga seperti tenis dan golf. Kompetisi rugbi, misalnya, baru pada tahun 2016 diperkenalkan sebagai olahraga yang dipertandingkan bagi atlet perempuan di Olimpiade.
Setiap budaya memiliki para pahlawannya ( hero) dan keberadaan mereka dianggap sebagai contoh hidup yang layak diteladan oleh masyarakat.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jennifer Hargreaves, ia menyelidiki terkait dengan konsep kepahlawanan dalam olahraga. Ia menelusuri hubungan antara olahraga, politik perbedaan, dan polemik mengenai identitas jender. Ia menunjukkan bahwa olahraga tidak saja soal hiburan semata, melampaui itu, melalui olahraga kita dapat menyelisik ke dalam isu sosial, politik, dan budaya.
Hargreaves berargumen bahwa setiap budaya memiliki para pahlawannya (hero) dan keberadaan mereka dianggap sebagai contoh hidup yang layak diteladan oleh masyarakat. Sebagian besar pahlawan yang dikisahkan dalam bermacam budaya adalah laki-laki, bayangkan saja seperti Herkules, Arjuna, Perseus atau Bima, heroisme mereka digambarkan dengan tubuh lelaki yang kuat dan berotot. Hargreaves bertanya, ”bagaimana dengan para pahlawan perempuan (heroine)”?
Begitu pula mitos tentang atlet yang sempurna sebagai pahlawan, mereka diperlambangkan dengan maskulinitas. Stereotipe memang masih lekat dalam olahraga, misalnya pada olahraga rugbi dan tinju yang dianggap sebagai olahraga yang sangat maskulin sebab melibatkan kontak fisik yang keras. Asumsi ini juga disebabkan oleh pandangan yang sangat sempit tentang feminitas serta tubuh perempuan yang seolah-olah memiliki standar dan bentuk tunggal. Padahal tubuh perempuan beraneka bentuk, mobilitas serta kesanggupannya.
Prasangka dan diskriminasi terhadap tubuh perempuan terjadi pada Imane Khelif, seorang petinju yang mewakili Aljazair. Kemenangannya dianggap janggal dan ia dituding bukan seorang perempuan, meski pada faktanya ia terlahir dan tumbuh sebagai perempuan. Khelif mengalami perundungan dan hujatan, meski demikian ia terus fokus dalam kompetisi yang dihadapinya. Ini mengingatkan saya pada diskriminasi yang pernah terjadi pada pelari asal Afrika Selatan, Caster Semenya, di Olimpiade Rio pada tahun 2016. Ia diserang oleh pelari lainnya bahkan dipaksa menjalani pemeriksaan tubuh oleh Asosiasi Internasional Federasi Atletik (IAAF) sebab diragukan identitasnya sebagai perempuan.
Helen Jefferson Lenskyj, sosiolog dalam penelitiannya yang berjudul ”Pertandingan Olimpiade: Melalui Pendekatan Kritis” (2020), mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh IAAF dianggap tidak profesional sekaligus melanggar hak asasi manusia. Ia mengkritik keras pemaksaan verifikasi jender terhadap Semenya, yang terlahir dan menghidupi identitas sebagai seorang perempuan. Regulasi testosteron yang ditimpakan pada Semenya amat mempermalukan dan merugikan bagi atlet tersebut. Ia dipaksa mengonsumsi penekan testosteron yang menimbulkan nyeri pada perutnya, demam, dan mual. Padahal Semenya menganggap bahwa tubuhnya adalah anugerah, yang ia cintai dan banggakan sebagaimana adanya.
Kecurigaan terhadap tubuh perempuan masih kerap terjadi. Setidaknya, Olimpiade tahun ini di Paris sebagian publik dapat berdiskursus dengan pikiran yang terbuka, tetapi kesetaraan masih menjadi perjuangan yang penting untuk terus didorong. Tahun ini sebanyak 5.250 atlet perempuan berlaga, atau 50 persen dari total partisipan Olimpiade. Tentu ini menjadi tonggak representasi yang penting meski sejatinya kita belum rampung membicarakan kesetaraan secara interseksional dalam olahraga.
Olimpiade tahun ini kita menyaksikan prestasi atlet perempuan dengan berbagai latar belakang cerita yang mengharukan. Saya mengagumi permainan dan kepiawaian tubuh para atlet seperti Ilona Maher (rugbi, AS), Beatriz Souza (judo, Brasil), atau Desak Made Rita Kusuma Dewi (panjat tebing, Indonesia). Masing-masing dari mereka unik dengan gaya bertandingnya sendiri.
Cerita mengenai Nada Hafez atlet anggar dari Mesir, dan juga Yaylagul Ramazanova pemanah dari Azerbaijan, yang berkompetisi dalam keadaan hamil, menambah haru dan kekaguman pada dedikasi mereka. Begitu juga sportivitas yang ditampilkan para pesenam AS, Simone Biles dan Jordan Chiles, terhadap rekannya dari Brasil, Rebeca Andrade. Melampaui gagasan Olimpiade sebagai perlombaan untuk menjadi pemenang terbaik, sesungguhnya olahraga juga dapat menginspirasi kita tentang saling menghargai, persahabatan, dan selebrasi terhadap keragaman budaya.
Saras Dewi, Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia