Piala AFF U-19 2024: Pertarungan Simulakra dan Harga Diri Nasional
Kemenangan timnas U-19 atas Thailand bukan hanya kemenangan di lapangan, melainkan juga kemenangan harga diri nasional.
Pada Senin (29/7/2024) malam, suasana Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Jawa Timur, penuh dengan hiruk pikuk kebanggaan dan kegembiraan. Tim nasional Indonesia U-19, dalam sebuah pertandingan yang mendebarkan, berhasil menaklukkan Thailand dengan skor tipis 1-0 dan meraih gelar juara Piala AFF U-19 2024.
Bagi banyak orang, kemenangan ini adalah bukti nyata dari kerja keras dan dedikasi para pemain muda. Namun, lebih dari itu, kita akan menemukan lapisan makna yang lebih kompleks dan sarat dengan pertaruhan harga diri nasional.
Jean Baudrillard, dalam karyanya Simulacra and Simulation, memperkenalkan konsep simulakra, di mana representasi atau simbol mulai menggantikan realitas hingga batas di mana representasi itu sendiri menjadi realitas. Dalam konteks kemenangan timnas U-19, pertandingan sepak bola tersebut tidak lagi sekadar sebuah kompetisi olahraga; ia telah bertransformasi menjadi sebuah simulakra, sebuah arena tempat harga diri nasional dipertaruhkan dan dipertontonkan.
Baca juga: Terbang Meninggi, Garudaku...
Sepak bola, sebagai olahraga yang penuh gairah, sering kali menjadi medium ekspresi identitas nasional. Setiap gol, setiap tekel, dan setiap sorak-sorai penonton menjadi simbol kebanggaan kolektif.
Kemenangan Indonesia atas Thailand bukan hanya kemenangan di atas lapangan, melainkan juga kemenangan dalam medan semiotik ketika setiap momen pertandingan diolah dan dimaknai sebagai kemenangan harga diri nasional. Media massa memainkan peran penting dalam membentuk dan memperkuat simulakra ini.
Media massa dalam dunia simulakra
Media massa, sebagai penyampai informasi, sebenarnya juga berperan sebagai pencipta realitas. Dalam konteks kemenangan timnas U-19, media tidak hanya melaporkan fakta-fakta seputar pertandingan, tetapi juga mengonstruksi narasi yang mengangkat kemenangan ini menjadi sebuah epik nasional. Judul-judul berita, analisis pertandingan, serta liputan eksklusif tentang para pemain muda semua diramu untuk membangun citra dan simbol kemenangan yang lebih besar daripada realitas itu sendiri.
Liputan media yang intensif memperkuat simulakra sehingga pertandingan sepak bola berubah menjadi sebuah kontestasi antarnegara yang penuh dengan pertaruhan harga diri. Dalam dunia simulakra ini, setiap berita dan setiap gambar yang disajikan media menjadi potongan-potongan realitas baru yang dikonsumsi masyarakat. Baudrillard menyebutkan bahwa dalam dunia simulakra yang kita hadapi bukan lagi representasi dari realitas, melainkan realitas itu sendiri yang telah tergantikan oleh simbol-simbol.
Liputan media yang intensif memperkuat simulakra sehingga pertandingan sepak bola berubah menjadi sebuah kontestasi antarnegara yang penuh dengan pertaruhan harga diri.
Kemenangan dan ”semiotic warfare”
Kemenangan timnas U-19 atas Thailand adalah bagian dari semiotic warfare atau perang semiotik. Dalam hal ini, negara-negara bertarung bukan hanya melalui kekuatan militer atau ekonomi, melainkan juga melalui simbol-simbol budaya dan olahraga.
Dalam perang semiotik ini, harga diri nasional dipertaruhkan dalam setiap kompetisi internasional. Kemenangan ini, bagi Indonesia, adalah simbol dari keunggulan dan prestise nasional di mata dunia.
Namun, kita juga harus menyadari bahwa dalam dunia simulakra, realitas yang kita hadapi adalah hasil konstruksi simbolis. Kemenangan ini adalah refleksi dari kerja keras para pemain, tetapi juga hasil dari narasi media yang mengemas dan mempersembahkan kemenangan tersebut sebagai simbol dari kebanggaan nasional.
Dalam dunia simulakra, media massa adalah seniman yang membentuk dan mengarahkan persepsi publik.
Sebagai contoh, mari kita lihat bagaimana media massa mengangkat kisah perjalanan timnas U-19 dalam turnamen ini. Setiap kemenangan di babak sebelumnya, setiap taktik yang diterapkan oleh pelatih, juga setiap ekspresi wajah pemain diabadikan dalam gambar dan video yang disebarluaskan.
Narasi tersebut dibangun dengan begitu cermat, menciptakan sebuah cerita heroik yang memuncak pada kemenangan di final. Dalam dunia simulakra, cerita-cerita ini bukan sekadar laporan, melainkan elemen-elemen yang membentuk realitas baru bagi penontonnya.
Dalam perspektif semiotik, betul bahwa kemenangan ini juga menggambarkan bagaimana simbol-simbol nasionalisme dan identitas dikonstruksi dan dikuatkan. Sepak bola sering kali menjadi cermin tempat identitas nasional dipantulkan.
Kemenangan ini menjadi momen ketika simbol-simbol kebangsaan, seperti be,ndera Merah Putih, lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”, dan seragam tim nasional menjadi lebih dari sekadar benda; mereka menjadi penanda identitas kolektif dan kebanggaan nasional.
Baca juga: Memahami Spirit Nasionalisme Soekarno Lewat Sepak Bola
Dalam setiap pertandingan, simbol-simbol ini hadir dan dihadirkan kembali, mengingatkan kita kepada makna dan nilai-nilai yang mereka representasikan. Setiap kali bendera berkibar di stadion, atau lagu kebangsaan dinyanyikan dengan penuh semangat, kita dihadapkan pada momen-momen saat identitas nasional kita diperkuat dan dirayakan.
Itu adalah contoh bagaimana semiotik bekerja dalam konteks nasionalisme. Simbol-simbol menjadi penanda yang menghubungkan kita dengan makna dan nilai-nilai yang lebih besar.
Namun, Baudrillard mengingatkan kita untuk waspada terhadap ilusi realitas dalam dunia simulakra. Simbol-simbol ini, meskipun kuat dalam membentuk identitas dan kebanggaan nasional, juga bisa menjadi alat yang digunakan untuk menciptakan realitas yang terdistorsi.
Dalam konteks ini, media massa berperan sebagai agen yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga mengonstruksi dan mengarahkan persepsi publik.
Globalisasi dan media
Dalam era globalisasi dan media digital, simulakra tidak hanya terbatas pada konteks nasional, tetapi juga beroperasi dalam lingkup global. Pertandingan sepak bola internasional, seperti Piala AFF U-19, disiarkan secara luas dan ditonton oleh jutaan orang di berbagai belahan dunia. Media massa internasional juga turut berperan dalam membentuk narasi dan persepsi tentang kemenangan ini.
Di satu sisi, ini memberikan peluang bagi Indonesia untuk menunjukkan keunggulan dan prestasinya di kancah internasional. Di sisi lain, ini juga berarti bahwa kemenangan ini dihadapkan pada berbagai interpretasi dan narasi yang mungkin berbeda dari satu negara ke negara lainnya.
Dalam dunia simulakra, setiap penonton memiliki interpretasi dan pemaknaan yang unik, berdasarkan konteks budaya dan sosial mereka masing-masing.
Baca juga: Momentum Nasionalisme
Kemenangan ini, dalam konteks global, menjadi simbol dari dinamika kekuatan yang lebih luas. Ini adalah momen Indonesia dapat menunjukkan prestasinya kepada dunia, tetapi juga momen bagi simbol-simbol nasionalisme Indonesia berinteraksi dengan simbol-simbol dan narasi global.
Dalam dunia simulakra, interaksi ini menjadi kompleks dan berlapis, menciptakan realitas yang kaya dengan makna dan interpretasi. Betul, kan?!
Syamsul Kurniawan, Dosen di IAIN Pontianak; Pendukung Timnas Indonesia
Instagram: syamsul_kurniawan