Dilema Gula untuk Anak
Wajar anak suka makanan-minuman manis. Gula termasuk nutrisi yang dibutuhkan. Namun, tak mudah mengontrol konsumsi gula.
Lonjakan kasus cuci darah pada anak menjadi alarm adanya kesalahan dalam mengatur diet anak. Ada kesenjangan besar antara pengetahuan, praktik hidup sehat, dan kebijakan negara. Pemerintah perlu lebih progresif mengatur konsumsi gula masyarakat dengan mengendalikan persoalan hulu, yaitu pola asuh orangtua dan industri pangan olahan.
Evolusi sistem pengecap membuat manusia menyukai makanan kaya energi yang umumnya manis dan menolak bahan pangan berpotensi racun yang biasanya berasa pahit. Kesukaan terhadap rasa manis itu adalah bawaan lahir yang membuat bayi suka air susu ibu (ASI) atau buah-buahan manis dan tidak suka sayur yang cenderung pahit.
Kesukaan anak terhadap rasa manis itu, menurut Julie A Mennella dan Samuel S Gidding dalam tulisannya di The Philadelphia Inquirer, 21 September 2016, akan meningkat seiring bertambahnya usia. Anak butuh kalori tinggi untuk pertumbuhan. Selain itu, mengonsumsi sesuatu yang manis juga membuat suasana hati mereka lebih positif, mengurangi stres, lebih bahagia, dan mengurangi rasa sakit.
Kecenderungan rasa alami yang disukai anak-anak itulah yang mendasari industri memberi gula tambahan demi mengurangi rasa tidak enak pada makanan dan minuman anak-anak. Mulai dari susu formula, makanan pendamping ASI, biskuit bayi, susu kemasan, jus buah, hingga obat dan multivitamin untuk bayi dan anak semuanya dominan manis.
Baca juga: Mengapa Manusia Suka Rasa Manis?
Di sisi lain, meningkatnya konsumsi rumah tangga seiring peningkatan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat Indonesia membuat produk makanan dan minuman industri sangat digemari. Selain rasa yang enak, harga harga relatif terjangkau dan praktis, konsumsi makanan dan minuman olahan itu juga menjadi gaya hidup yang menunjukkan status sosial.
Orangtua akan lebih bangga jika mampu membelikan atau membekali anak mereka dengan makanan dan minuman olahan yang umumnya tinggi gula. Tak heran jika nasi dengan lauk mi goreng dan nugget jadi menu andalan bekal sekolah anak, khususnya mereka yang berasal dari kelompok ekonomi menengah bawah yang mendominasi struktur sosial ekonomi masyarakat.
Banyak orangtua menganggap susu kemasan yang tinggi gula adalah makanan alternatif saat anak malas dan enggan makan makanan rumah. Orangtua juga kurang gigih dalam mendorong anak untuk makan makanan sehat secara teratur. Saat anak enggan makan masakan rumah, orangtua masa kini cenderung menuruti apa mau anak yang tentu lebih menyukai makanan-minuman olahan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) merekomendasikan konsumsi gula tambahan anak usia 1-3 tahun adalah 25 gram per hari dengan angka kecukupan gizi harian mencapai 1.000 kalori. Sementara kebutuhan anak usia lebih dari 4 tahun hingga dewasa mencapai 50 gram per hari dengan kebutuhan energi harian sebesar 2.000 kalori. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 30 Tahun 2013 juga menyebut jumlah yang sama.
Gula tambahan adalah gula yang ditambahkan selama pembuatan makanan berupa gula sukrosa atau dekstrosa maupun bahan pangan yang dikemas sebagai pemanis, seperti gula meja atau gula dari sirop dan madu. Gula yang tidak termasuk gula tambahan adalah gula alami yang ada pada susu, buah, dan sayuran.
Sementara untuk bayi umur 0-2 tahun, Asosiasi Jantung Amerika (AHA) tidak merekomendasikan pemberian gula tambahan sama sekali. Dokter anak Edward Gaydos dari Cleveland Clinic, lembaga layanan medis terkemuka di Amerika Serikat di situs lembaga tersebut, 5 Juli 2024, menyebut konsumsi gula berlebih pada awal kehidupan rentan memicu obesitas, tekanan darah tinggi, diabetes melitus tipe 2, hingga penyakit jantung.
Terlalu banyak makanan dan minuman manis juga mengurangi ruang di perut anak untuk makanan dan minuman yang lebih sehat, seperti buah, sayur, biji-bijian utuh, hingga susu rendah lemak. Karena itu, orangtua harus aktif dalam mengatur pola makan anak demi kesehatan anak jangka panjang, bukan alasan praktis semata.
Pola konsumsi
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan, 56,2 persen penduduk usia lebih dari 3 tahun mengonsumsi makanan manis 1-6 kali per minggu dan 33,7 persennya mengonsumsi lebih dari 1 kali dalam sehari. Sementara yang minum minuman manis lebih dari sekali sehari mencapai 47,5 persen dan 43,3 persen minum manis 1-6 kali per minggu.
Berdasarkan kelompok umur, sekitar separuh anak umur 3-9 tahun makan makanan manis lebih dari sekali per hari. Lebih separuh anak umur 3-14 tahun minum minuman manis lebih dari sekali setiap hari. Makanan dan minuman berisiko (manis, asin, berlemak, dan lain-lain) disukai karena enak rasanya (96,2 persen), mudah didapatkan (91,3 persen), tetapi 43,3 persen tidak tahu bahaya dan risikonya.
Tingginya konsumen yang tidak memahami bahaya dan risiko gula tambahan itu menunjukkan adanya kesenjangan cukup lebar antara pengetahuan dan gaya hidup masyarakat.
Ketegasan pemerintah dalam mengatur konsumsi gula masyarakat itu perlu segera diwujudkan sebelum dampak konsumsi gula tambahan berlebih makin besar dan lebih sulit dikendalikan.
Badan Pusat Statistik menyebut, rata-rata konsumsi gula pasir per kapita pada 2023 mencapai 111,2 gram per minggu atau 16 gram per hari. Konsumsi gula pasir ini tidak termasuk konsumsi gula merah, kental manis, atau jenis gula lain yang bermacam jenisnya.
Jumlah konsumsi gula pasir per kapita per hari itu setara dengan satu sendok makan gula. Padahal, jika dilihat dari pola konsumsi masyarakat, gula tambahan itu ada dalam banyak makanan dan minuman olahan sendiri maupun buatan pabrik. Aneka minuman, kue, jajan pasar, keripik atau kerupuk, hingga berbagai hidangan berkuah dan sambal, semua mengandung gula.
Semakin bertambah usia dan semakin tinggi tingkat ekonominya, konsumsi gula masyarakat semakin kecil. Dengan sumber daya lebih yang mereka miliki, kelompok menengah atas tidak hanya lebih sadar tentang kesehatan, tetapi juga memiliki sumber daya lebih untuk mengakses sumber pangan yang lebih sehat dan lebih beragam, termasuk beragam jenis dan rasanya.
Pola konsumsi itu pula yang akhirnya terwariskan pada anak-anak mereka. Akibatnya, anak dari kelas ekonomi menengah bawah dan dari orangtua yang berpendidikan rendah paling rentan terhadap masalah kesehatan.
Karena itu, pemerintah perlu segera berperan dalam mengatur pola konsumsi gula masyarakat. Jika tidak, bukan hanya akan semakin banyak anak yang mengalami berbagai persoalan kesehatan, baik obesitas, diabetes, hipertensi, penyakit jantung, kerusakan ginjal, hingga gangguan perilaku.
Baca juga: Fakta-fakta Kasus Gagal Ginjal Anak
Kondisi itu diperparah dengan masih terbatasnya dokter ginjal anak yang ada di Indonesia. Konsekuensinya, bukan hanya deteksi dini yang lebih sulit dilakukan, tetapi kondisi ini juga menunjukkan akses layanan kesehatan berkualitas yang dimiliki anak-anak belum setara, khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah atau kota kecil.
Edukasi orangtua menjadi kunci, terlebih masih besarnya kelompok masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi menengah bawah dan berpendidikan rendah. Orangtua berperan penting karena anak masih dalam tanggung jawab mereka dan otaknya belum matang untuk bisa membedakan mana yang baik dan buruk, mengendalikan keinginan, atau bertanggung jawab atas pilihannya.
Penyadaran tentang pembatasan gula perlu lebih gencar dilakukan. Edukasi pola pengaturan diet dalam pengasuhan anak perlu terus didorong karena kampanye bahaya dan risiko gula pada usia muda masih jauh lebih terbatas dibanding kampanye serupa untuk penduduk dewasa dan lansia.
Pada saat bersamaan, aturan pemberlakuan tanda kadar gula makanan dan minuman olahan, baik produksi pabrik maupun industri rumah tangga, harus segera diberlakukan. Informasi gizi yang ada dalam produk makanan-minuman industri masih terlalu rumit untuk dipahami masyarakat.
Informasi gizi pada produk pangan industri yang ada saat ini umumnya menggunakan ukuran huruf sangat kecil dengan informasi sangat padat. Repotnya, satu kemasan produk ukuran kecil sering kali ditujukan untuk konsumsi lebih dari satu kali sajian. Belum lagi, ada banyak jenis gula yang digunakan dalam produk pangan industri dan membingungkan konsumen.
Baca juga: Kenali Cara Membaca Label Informasi Gizi pada Kemasan Pangan
Sikap tegas pemerintah itu penting mengingat konsumsi gula tidak mungkin dihilangkan atau dihindari secara penuh. Gula tetap dibutuhkan tubuh dalam jumlah terbatas. Mengatur dan mengendalikan kadar gula yang pas inilah yang menjadi tantangan masyarakat.
Untuk mengendalikan konsumsi anak, orangtua masih bisa memberikan makanan, minuman, atau kudapan manis dalam jumlah wajar pada hari atau momen tertentu, tidak setiap hari. Orangtua juga bisa membuat aneka makanan-minuman sendiri untuk anaknya sehingga gula yang digunakan sudah disesuaikan dengan batasan sehat.
Ketegasan pemerintah dalam mengatur konsumsi gula masyarakat itu perlu segera diwujudkan sebelum dampak konsumsi gula tambahan berlebih makin besar dan lebih sulit dikendalikan. Dengan menjalin kerja sama dengan orangtua, masyarakat, maupun industri, upaya menjaga kesehatan anak, termasuk kesehatan ginjal mereka, bisa dilakukan lebih optimal dan berdampak.