Fenomena berebut kursi depan menunjukkan kondisi ruang kelas belum bisa menciptakan sistem pembelajaran yang inklusif.
Oleh
ABDUR ROHMAN
·4 menit baca
Menyoroti dunia pendidikan di Indonesia sering kali membuat kita menepuk jidat. Selain masalah yang berbentuk konkret (sarana dan prasarana), pendidikan Indonesia masih juga dihantui oleh problem abstrak (kualitas). Terlebih, masalah tak kasatmata ini sering kali tak dirasakan oleh kita. Malah, menjadi hal yang dinormalisasi dan dijadikan bahan gelak tawa.
Salah satu yang saya maksud adalah berita tahunan yang menampilkan para orangtua berebut kursi depan di kelas bagi anaknya. Berita ini selalu muncul saat hari pertama tahun ajaran baru. Para orangtua rela berangkat pagi buta ke sekolah supaya anaknya bisa memperoleh posisi duduk di kursi paling depan.
Fenomena ini bukanlah hal lucu, melainkan hal yang memalukan dalam dunia pendidikan. Fenomena ini menunjukkan betapa menyeramkan kalau siswa memperoleh tempat duduk di kursi belakang.
Dalam tulisan ini, setidaknya akan dijabarkan dua alasan mengapa fenomena ini terus terjadi. Pertama, masalah keinklusifan guru dalam memberikan pembelajaran kepada siswa. Jika kita renungkan fenomena tersebut, apa yang dilakukan oleh para orangtua menunjukkan ketidakpercayaan mereka kepada proses pembelajaran di sekolah. Kursi depan dan belakang seakan menentukan keberhasilan siswa dalam pendidikan.
Dengan menempati kursi paling depan, siswa mudah berkomunikasi dengan guru. Siswa kursi depan lebih banyak diperhatikan dan diajak berinteraksi oleh guru. Karena lebih diperhatikan, maka siswa lebih serius pula dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Dengan begitu, siswa lebih cepat dan mudah memahami materi yang disampaikan oleh guru.
Sebaliknya, orangtua menganggap kursi belakang dipenuhi oleh siswa nakal dengan masa depan suram sehingga para orangtua takut anak mereka berubah menjadi anak yang nakal. Namun, apakah anggapan tersebut memang hanya berasal dari orangtua? Tentu tidak.
Karena fenomena berebut kursi depan terjadi bertahun-tahun, artinya privilese pemilik kursi depan sebenarnya juga terstruktur sangat lama. Opini guru lebih banyak memerhatikan, mengajak interaksi, dan berkomunikasi dengan siswa kursi depan adalah benar.
Siswa yang duduk di kursi belakang kurang dianggap keberadaannya oleh guru. Mereka dianggap sebagai siswa-siswa nakal, pembuat onar, dan tak pintar sehingga guru merasa memiliki alasan untuk tak perlu serius menjamin pemahaman mereka terkait pembelajaran.
Akhirnya, banyak siswa kursi belakang yang benar-benar tak memiliki peluang sebagaimana siswa kursi depan. Inilah awal kesuraman siswa kursi belakang. Usaha mereka hadir ke sekolah beroleh stigma dari guru sebagai siswa yang tak niat belajar.
Karena fenomena berebut kursi depan terjadi bertahun-tahun, artinya privilese pemilik kursi depan sebenarnya juga terstruktur sangat lama.
Akibat kurangnya perhatian guru, kursi belakang akhirnya memang lebih sering terjadi keonaran. Inilah alasan kedua mengapa banyak orangtua mengusahakan kursi depan bagi anaknya. Karena jauh dari awasan guru, kursi belakang cenderung menjadi pusat pelanggaran di dalam kelas, tidur saat jam pelajaran, bermain telepon seluler, merokok, hingga aksi perundungan.
Para orangtua tak ingin anak mereka terlibat dalam pelanggaran atau kenakalan siswa kursi belakang. Jika terjadi berlarut-larut, orangtua takut sifat negatif tersebut terbawa oleh anak mereka sampai ia dewasa.
Berdasarkan penjelasan ini dapat dilihat bahwa kondisi ruang kelas di sekolah belum bisa menciptakan sistem pembelajaran yang inklusif. Arti inklusif di sini masih dalam taraf dasar, yakni perbedaan karakter siswa antara kursi depan dan belakang.
Guru belum bisa memandang siswa sebagai manusia yang sama-sama ingin belajar dan berpengetahuan sehingga banyak siswa kursi belakang menjadi korban ketakterampilan guru dalam memfasilitasi kenyamanan mereka.
Tulisan ini bukan bermaksud menyudutkan profesi guru sebagai pendidik di sekolah, melainkan untuk sama-sama menyadari bahwa kehadiran guru memang belum selalu diharapkan oleh siswa.
Selanjutnya, ada pertanyaan lain yang juga perlu kita renungkan, yakni apakah benar semua siswa mengharapkan kursi depan? Penjelasan di atas sudah dapat menebak jawaban atas pertanyaan ini. Jawabannya adalah tidak.
Di setiap kelas tak semua siswa berebut ingin duduk di kursi depan. Banyak juga siswa yang ingin duduk dan saling berebut kursi belakang. Jika ditafsirkan, tak bisa dinafikan bahwa masih ada siswa yang ingin menjauh dari meja guru.
Artinya benar, tak semua siswa merasa nyaman dengan kehadiran guru. Beberapa siswa merasa aman dan tenang jika berada di tempat duduk yang tak dekat dengan guru.
Fakta ini harus menjadi bahan evaluasi bersama bahwa guru di sekolah belum bisa memberikan pembelajaran yang inklusif. Tak semua siswa merasa terfasilitasi oleh kehadiran guru. Sebaliknya, guru seakan menjadi aktor yang menyeramkan bagi siswa sehingga siswa merasa takut dan kebebasannya terancam dengan kehadiran guru.
Selain evaluasi pada kualitas guru, pengaturan tempat duduk kelas juga perlu menjadi bahan evaluasi. Jika guru enggan menghampiri siswa yang duduk di kursi belakang saat menjelaskan, butuh pengaturan tempat duduk yang lebih inklusif agar semua siswa dirasa kehadirannya dalam ruang kelas.
Pengaturan ini tidak sekadar membuat tempat duduk berbentuk lingkaran, tetapi juga menyesuaikan kebutuhan siswa. Siswa yang cenderung membutuhkan bantuan guru perlu duduk di kursi dekat meja guru, sebaliknya siswa yang cenderung pemelajar bebas dan mandiri bisa duduk sedikit jauh dengan guru.
Dengan konsep tersebut, maka semua siswa bisa merasa nyaman berada di ruang kelas. Sebaliknya, jika kursi depan terus diisi oleh siswa pintar, sedangkan kursi belakang diisi oleh siswa yang lebih butuh bantuan, hasil pembelajaran di kelas hanya akan memperoleh ketimpangan pengetahuan antarsiswa.
Abdur Rohman, Guru Sosiologi SMA Al-Anwari, Bangkalan, Jawa Timur