Kesiapan Pengaturan Kripto
Yurisdiksi pengaturan aset kripto ditargetkan akan berpindah dari Bappebti ke OJK pada Januari 2025.
Perdagangan aset kripto tumbuh dengan volatilitas yang tinggi. Pada 2020, nilai perdagangannya hanya Rp 65 triliun dan kemudian meroket di masa pandemi dengan volume mencapai Rp 860 triliun pada 2021. Setelah itu, volume transaksi turun drastis ke level Rp 306 triliun pada 2022 dan bahkan hanya sekitar Rp 149 triliun pada 2023.
Namun, sampai dengan pertengahan 2024, volume transaksi kembali naik ke Rp 302 triliun. Sementara itu, yurisdiksi pengaturan aset kripto ditargetkan akan berpindah dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Januari 2025.
Yurisdiksi pengaturan aset kripto ditargetkan akan berpindah dari Bappebti ke OJK pada Januari 2025.
Tentunya ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi OJK karena pengaturan industri perdagangan aset kripto tidaklah mudah. Berikut ini adalah beberapa aspek pengaturan dan pengawasan yang mungkin bisa menjadi perhatian OJK yang bakal menjadi regulator perdagangan aset kripto.
Pertama, struktur kelembagaan industri perdagangan aset kripto sebaiknya ditinjau ulang. Saat ini, Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) memiliki 35 anggota yang terdaftar resmi di Bappebti.
Secara teknis, sistem mereka adalah dompet kripto online di mana investasi penggunanya disimpan di ledger off chain (bukan di platform blockchain). Jadi, para pialang atau pedagang broker ini juga berperan ganda sebagai kustodian.
Oleh karena itu, pengawasan terhadap mereka juga harus kuat, termasuk menjaga mereka untuk tidak mengambil open position di level yang berbahaya atau bahkan melakukan transaksi tanpa underlying instruksi dari investor. Lebih parah lagi, bagaimana jika mereka bangkrut sementara mereka juga masih berfungsi sebagai kustodian dana dan aset kripto?
Walaupun pembentukan lembaga bursa, kliring, dan kustodian sebagai self regulatory organizations (SRO) perdagangan aset kripto sudah dilakukan oleh Bappebti, peran mereka belum benar-benar berjalan. Selain itu, kepemilikan lembaga-lembaga SRO tersebut mungkin harus ditinjau ulang. Seyogianya, SRO dimiliki bersama-sama oleh pelaku industri bukannya oleh pihak swasta tertentu.
Pengawasan transaksi aset kripto harus dilakukan dengan ketat karena rawan digunakan untuk pencucian uang dan pendanaan teroris.
Kedua, pengawasan transaksi aset kripto harus dilakukan dengan ketat karena rawan digunakan untuk pencucian uang dan pendanaan teroris. Sifat aset kripto yang pseudo anonymous, alias kita bisa mengetahui informasi aliran transaksi tetapi tidak bisa mengetahui siapa yang melakukannya, harus dilengkapi dengan proses e-KYC (know your customer) yang baik.
Asosiasi dan industri juga mesti berkoordinasi dengan penegak hukum dan PPATK dalam upaya Anti-money Laundering (AML) dengan memanfaatkan sifat transaksi kripto yang traceable atau terlacak. Level pengaturan dan pengawasan pialang aset kripto harusnya tidak kalah dengan perbankan. Implementasinya tidak bisa dilakukan secara manual tetapi harus memanfatkan regtech dan suptech.
Ketiga, pendefinisian aset kripto mungkin perlu ditinjau ulang. Apakah aset kripto tetap dianggap sebagai komoditas atau akan digeser menjadi aset keuangan? Saat ini exchange kripto lokal sulit bersaing dengan exchange luar negeri karena dikenakan pajak layaknya komoditas.
Ketika membeli aset kripto menggunakan rupiah, pembeli dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11 persen dan penjual dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,10 persen
Jika kita melakukan jual-beli dua aset kripto, akan dikenakan pajak dua kali. Sebab, aset kripto tersebut harus dikonversikan terlebih dahulu menjadi rupiah sebelum dibelikan aset kripto lainnya.
Apakah aset kripto tetap dianggap sebagai komoditas atau akan digeser menjadi aset keuangan?
Skema perpajakan ini mengakibatkan exchange lokal hanya digunakan untuk mengonversi rupiah ke aset kripto (transaksi on-ramp). Demikian pula sebaliknya, dari aset kripto ke rupiah (transaksi off-ramp).
Harapan para pelaku exchange kripto adalah agar aset kripto dianggap sebagai instrumen keuangan sehingga tidak dikenakan pajak layaknya komoditas. Jika OJK akan memberlakukan hal tersebut, diperlukan koordinasi dan negosiasi yang tidak mudah dengan Direktorat Jenderal Pajak.
Keempat, likuiditas pasar kripto harus diperbaiki. Dari total semua pialang yang ada, mungkin hanya lima teratas yang memiliki likuiditas memadai. Selain perbaikan skema perpajakan, saat ini Bappebti hanya memperbolehkan transaksi jual-beli tradisional.
Pengembangan produk, termasuk transaksi forward dan derivatif, asal dilakukan dengan hati-hati dan terukur, juga bisa menjadi salah satu cara untuk meningkatkan likuiditas. Selain itu, pembukaan transaksi kripto untuk investor institusi mungkin dapat dipertimbangkan sebagai investasi alternatif dan upaya peningkatan likuiditas bisa meningkat. Namun, segala risiko terkait harus dimitigasi dengan baik pula.
Kelima, proses perizinan penerbitan aset baru juga harus diperbaiki. Underlying aset kripto sangat bervariasi, mulai dari aset kripto yang tidak jelas sampai dengan yang memiliki kredibilitas global, seperti bitcoin dan ethereum. Perdagangan aset kripto juga mengandung unsur spekulasi yang relatif tinggi dibandingkan instrumen investasi lainnya.
Dengan blockchain, tidak perlu ada perantara atau middleman karena semuanya dilakukan berdasarkan smart contracts.
Sampai saat ini, token lokal yang diterbitkan kebanyakan mengarah pada meme token dengan utilitas yang kurang jelas. Sementara itu, platform blockchain yang menjadi dasar penerbitan aset kripto sebenarnya memiliki potensi besar untuk mendukung sektor keuangan. Dengan blockchain, tidak perlu ada perantara atau middleman karena semuanya dilakukan berdasarkan smart contracts.
Oleh karena itu, para pelaku industri ini perlu didorong untuk membangun infrastruktur aset keuangan digital yang mendukung penerbitan dan penggunaan token dengan utilitas yang jelas (utility token) atau token untuk sekuritas (security token).
Agar bisa terwujud, regulator perlu memfasilitasi terbentuknya ekosistem dan infrastruktur yang memadai yang mencakup pihak-pihak yang kompeten dan kredibel dalam hal hukum, finansial, audit, dan lainnya.
Keenam, edukasi harus dilakukan dengan baik. Saat ini, industri kripto memiliki sekitar 20 juta akun dengan 70-80 persen pengguna berusia di bawah 25 tahun. Banyak yang berinvestasi tanpa memahami risiko dan kondisi keuangan mereka. Namun, ini hanya sekadar FOMO (fear of missing out).
Guna memitigasinya, regulator hendaknya mendorong semua pelaku industri untuk melakukan edukasi terhadap konsumen dengan serius dengan kewajiban mengalokasikan anggaran edukasi oleh pelaku industri, baik secara individu maupun bersama-sama. Pengawasan ketat juga perlu dilakukan agar tidak terjadi penawaran yang misleading atau aktivitas mis-selling.
Beberapa peraturan juga bisa dibuat untuk melindungi konsumen. Misalnya, untuk bisa berinvestasi di atas nilai tertentu diperlukan e-KYC yang lebih detail yang menjamin profil konsumen tersebut memang sesuai. Transparansi dalam bentuk syarat dan ketentuan yang mudah dipahami serta pricing yang wajar, transparan, serta mudah diperiksa-silang oleh konsumen juga perlu diwajibkan.