Guru Honorer yang Terpinggirkan
Tenaga guru honorer dibutuhkan untuk mengatasi kekurangan guru, tetapi keberadaan mereka secara konseptual adalah liyan.
Tahun ajaran baru 2024/2025 di DKI Jakarta menjadi tahun ajaran yang paling horor bagi sejumlah guru karena mereka terkena kebijakan cleansing (baca: pemecatan masal) pada hari pertama masuk sekolah. Satu alasannya karena mereka guru honorer.
Nasib guru honorer di negeri ini memang mengerikan. Mereka digaji tidak layak, kisaran Rp 300.000-Rp 1,5 juta, tidak memiliki kepastian kerja, tetapi memiliki pekerjaan berat. Mereka direkrut kepala sekolah dalam situasi darurat sekolah kekurangan guru.
Oleh sebab itu, mereka mengambil semua sisa pekerjaan di sekolah untuk menstabilkan penyelenggaraan pendidikan yang kenyataannya kekurangan guru. Tidak sedikit di antara 149 laporan guru honorer di DK Jakarta yang melapor terdampak cleansing, merupakan guru yang mengajar dua bidang mata pelajaran berbeda rumpun sekaligus.
Masalahnya, pola semacam ini terjadi secara nasional. Catatan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menunjukkan bahwa kebijakan mengusir guru honorer di sekolah negeri sedang terjadi secara nasional, tetapi dengan metode berbeda untuk tiap daerah. Di Jakarta ada metode cleansing yang menimpa ratusan guru honorer.
Baca juga: Pemberhentian Guru Honorer Sekolah Negeri di Jakarta
Di Jawa Barat sejak awal 2024 terjadi fenomena geser menggeser jam guru dengan 466 kasus. Metode geser-menggeser ini adalah fenomena pengurangan secara bertahap jam pelajaran guru honorer seiring kedatangan guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) ke sekolah. Konflik horizontal antara guru PPPK dan guru honorer memecah persatuan guru.
Di Aceh, mirip dengan metode Jakarta, 1.187 guru honorer dibersihkan sejak November 2023 secara perlahan. Di Kabupaten Langkat, ratusan guru honorer merasa dicurangi oleh pemerintah daerah dan jajarannya ketika mengikuti seleksi PPPK. Kini mereka menempuh proses hukum yang panjang tidak berkesudahan.
Di Kabupaten Lampung Utara, para guru honorer dimatikan kariernya karena selama beberapa tahun tidak ada kuota seleksi PPPK yang dibuka. Situasi ini telah penulis sampaikan bahwa perlu dideklarasikan sedang terjadi pengusiran masal terhadap guru honorer di berbagai wilayah di Indonesia saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Komisi X DPR pada 4 Juli 2024.
Kasta guru
Di atas kertas, hanya ada dua jenis guru. Guru aparatur sipil negara (ASN) dan guru non-ASN. Namun di lapangan, tata kelola guru tersegmentasi secara vertikal dan horizontal. Secara horizontal, guru dikelola dua kementerian. Dalam lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikburistek) ada guru sekolah negeri dan guru sekolah swasta. Dalam lingkungan Kementerian Agama (Kemenag) juga ada guru madrasah negeri dan guru madrasah swasta.
Secara struktural, guru di lingkungan Kemendikbudristek dan Kemenag berbeda. Misal, guru ASN di sekolah negeri adalah ASN pemerintah daerah (pemda). Sementara guru ASN di madrasah merupakan ASN Kemenag (pusat).
Masalah tata kelola guru dalam dua kementerian juga persoalan. Misal, posisi para guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Jika mereka mengajar di sekolah negeri di bawah lingkungan Kemendikbudristek, jenjang karier mereka tetap ada di Kemenag berkaitan seperti tunjangan profesi guru (TGP).
Di atas kertas, hanya ada dua jenis guru. Guru aparatur sipil negara (ASN) dan guru non-ASN. Namun di lapangan, tata kelola guru tersegmentasi secara vertikal dan horizontal.
Untuk mendapatkan sertifikasi TPG, para guru PAI di lingkungan Kemenag harus menunggu panggilan Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai jalan menuju sertifikasi—ternyata setara antrean haji. Padahal, masih ada 1,6 juta guru dari dua lingkungan kementerian tersebut belum tersertifikasi. Oleh sebab itu, tata kelola guru dengan dua kementerian semacam ini menjadi masalah sangat mendasar mengapa selalu terjadi ketertinggalan kebijakan pendidikan yang sistemik.
Secara vertikal, berdasarkan kepastian kontrak kerja, ada tiga kasta guru. Pertama, guru ASN yang berstatus PNS dan PPPK. Kedua, guru yang dikontrak pemda, sering disebut honda (honorer daerah). Khusus di DKI Jakarta disebut guru kontrak kerja individu (KKI). Namun kasta honorer ini sama-sama yang digaji oleh APBD. Ketiga, adalah guru honorer sekolah atau guru honorer murni karena hanya diangkat kepala sekolah dengan atau sering kali tanpa surat keputusan di tingkat sekolah.
Sedangkan dari sisi kesejahteraan, di sekolah negeri pada umumnya mengikuti jenjang kasta guru secara vertikal (ASN, kontrak pemda, dan honorer sekolah). Namun kasta ini tidak solid karena ketiga kasta ini berjenjang ditentukan juga oleh besaran Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) tiap daerah yang berbeda-beda, serta kepemilikan TPG.
Baca juga: Kegelisahan Guru Honorer Menuju Akhir Tahun 2024
Guru honorer sekolah atau honorer ”murni” juga merupakan kasta paling bawah dari sisi kesejahteraan. Mereka ini benar-benar tidak jelas kontraknya. Meski digaji menggunakan dana bantuan operasional satuan pendidikan (BOSP), dana ini tidak cair setiap bulan. Maka penggajian guru honorer murni dari kasta paling bawah ini menghadapi masalah kedua, yaitu keterlambatan gaji yang berkisar 3-6 bulan.
Kedudukan guru honorer murni ini setara pengadaan barang dan jasa yang dianggarkan dalam dana BOSP. Oleh sebab itu, mereka tidak dikelola sebagaimana layaknya pengelolaan sumber daya manusia. Keputusan cleansing guru honorer yang menurut pihak Dinas Pendidikan DK Jakarta merupakan tindak lanjut rekomendasi dari Badan Pengawasan Keuangan (BPK) juga membenarkan bahwa posisi guru honorer yang terdampak cleansing hanyalah satuan pengadaan barang semata.
Normalisasi honorer
Pertanyaan besarnya, apakah para guru honorer ini memang layak diperlakukan seperti itu? Jika dibandingkan dengan profesi lain, seperti buruh, jurnalis, arsitek, advokat, dan dokter, para guru honorer murni ini kedudukan jauh lebih rendah. Sebab utamanya mereka tidak memiliki kontrak kerja, serta tidak ada kejelasan berapa gaji yang didapatkan dan apa saja hak mereka.
Mereka hanya memiliki surat keputusan tanpa rincian hak, tetapi bertabur kewajiban-kewajiban yang tidak setara dengan gaji yang didapat. Kondisi ini terjadi selama puluhan tahun, lambat laun dianggap sebagai sebuah kondisi yang lazim. Terdapat dua pihak yang menyebabkan normalisasi nasib guru honorer.
Pertama, orang-orang yang sudah lama bekerja di lingkungan pendidikan, baik dinas pendidikan, sekolah, maupun kalangan guru itu sendiri yang menganggap bahwa menjadi guru honorer adalah tahapan wajar yang harus dilalui. Sering kali para guru honorer ini dinasihati agar terus bersabar sebagaimana dilalui para guru pada masa lalu. Normalisasi ini perlu dilawan karena bukannya menghentikan pembusukan terhadap kesejahteraan guru, malah melestarikan ketidakadilan.
Mereka hanya memiliki surat keputusan tanpa rincian hak, tetapi bertabur kewajiban-kewajiban yang tidak setara dengan gaji yang didapat.
Kedua, menyalahkan para guru honorer yang dianggap harus menanggung sendiri nasibnya sebagai pilihan pribadi. Persoalannya, guru honorer tercipta akibat kegagalan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan tenaga guru, dalam rangka menyelenggarakan pendidikan sekolah negeri di seluruh Indonesia.
Jika pemerintah memang tegas tidak memberikan peluang adanya guru honorer, lantas mengapa dalam Permendikbudristek Nomor 63 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis BOS Pengelolaan Dana BOS pada Pasal 40 memperbolehkan untuk membayar guru honorer?
Namun di sisi lain, meski tenaga guru honorer dibutuhkan, sejumlah peraturan tidak mengakui keberadaan mereka. Peraturan-peraturan itu termaktub dalam Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 tentang Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah, Surat Edaran Menpan RB Nomor B/1527/M.SM.01.00/2023 yang tidak memperkenankan pengangkatan non-PNS/non-PPPK tanpa nomor registrasi Badan Kepegawaian Daerah (BKN), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN pada Pasal 66.
Kontradiksi ini hanya menunjukkan bahwa peraturan tata kelola guru berjalan sendiri tanpa mampu menyelesaikan masalah di lapangan.
Dalam situasi ini, para guru honorer berada pada posisi titik gelap yang memang sejak awal tidak dimaksudkan untuk dijangkau oleh kebijakan pendidikan. Mereka seperti gelandangan dalam pesta mewah yang tidak masuk dalam susunan acara penyelenggaraan pendidikan yang ingar-bingar serta dibanggakan para influencer pendidikan dalam seremoni-seremoni festival Merdeka Belajar.
Oleh sebab penyelesaian kesejahteraan guru honorer dan seleksi PPPK tidak masuk dalam 26 Episode Merdeka Belajar. Keberadaan guru honorer secara konseptual adalah liyan atau ”yang lain”. Suatu posisi terdominasi, pasif, dan selalu tersingkir dari wacana utama kebijakan pendidikan. Gayatri Spivak menyebutnya posisi ini sebagai subaltern (yang termarjinalkan).
Baca juga: Kesejahteraan Guru Belum Terjamin, Merdeka Belajar Masih Meragukan
Para guru honorer juga paling terdampak dari kusutnya tata kelola guru yang dipecah secara vertikal dan horizontal. Lemahnya dukungan organisasi profesi guru membuat para guru ini mulai menghimpun kekuatan mereka melalui forum-forum ad hoc yang bersifat taktis, sementara, dan parsial. Misal Forum Guru K1, Forum Guru K2, Forum Guru Honorer negeri, forum guru honorer swasta, bahkan forum-forum lainnya yang terbentuk dari segmentasi tersebut.
Begitu pun pada seleksi PPPK guru sejak 2021-2023 menyebabkan lahirnya forum-forum guru ad hoc yang mewadahi guru yang menjadi korban-korban sisa karut-marutnya seleksi tersebut. Ada forum guru swasta yang merasa dirugikan setelah lulus seleksi tidak kunjung mendapatkan penempatan, begitu juga forum guru yang membela guru honorer yang tidak berhasil direkrut dalam seleksi yang sama. Kedua pihak ini dipetakonflikan, sementara masalah utamanya adalah kuota dan formasi yang lebih kecil dari analisis kebutuhan guru.
Namun, kelemahan ini sedikitnya pulih dengan keberhasilan advokasi yang dilakukan organisasi profesi guru dalam merespons metode cleansing guru honorer di DK Jakarta. Pertama kali dalam sejarah, perjuangan para guru honorer membuat jajaran dinas pendidikan serta 2.700 kepala sekolah berkumpul untuk menyelesaikan masalah cleansing guru honorer yang telah menjadi perhatian nasional.
Otonomi guru
Gagasan pemerintah bahwa mengangkat para guru honorer menjadi ASN-PPPK sebagai jalan tunggal menyejahterakan guru honorer di lingkungan sekolah negeri perlu dievaluasi, sebab justru malah makin banyak masalah tidak terselesaikan. Jika melihat secara global, kedudukan guru ASN di Indonesia tergolong unik.
Christopher Bjork dalam Decentralisation in Education, Institutional Culture and Teacher Autonomy in Indonesia (2004) menyebut para guru ASN mengalami konflik identitas ganda. Pertama, sebagai pegawai sipil (ASN). Kedua, sebagai guru yang otonom. Ini menyebabkan berkurangnya agensi guru untuk menjadi independen karena cenderung lebih mengutamakan kepatuhan sebagai pegawai negeri.
Hal ini memengaruhi perkembangan profesi guru yang lebih menitikberatkan pada menyelesaikan tugas administrasi sebagai bagian dari birokrasi daripada bekerja sebagai guru yang profesional.
Dengan demikian, untuk menyelesaikan masalah mendasar keberadaan guru honorer sekaligus meningkatkan profesionalitas guru, tidak lagi cukup dengan membuka seleksi PPPK dan melarang pengangkatan honorer di ujung jalan. Sementara itu kita perhatikan setiap tahun larangan mengangkat guru honorer dari Kemenpan RB selalu ditangguhkan karena bertentangan dengan kondisi di lapangan yang selalu darurat kekurangan guru.
Baca juga: Tangis Guru Honorer Menanti Kepastian PPPK
Ide tentang upah minimum guru non-ASN bisa menjadi solusi ekstrem yang jauh lebih masuk akal. Tentu disertai komitmen yang kuat dari pemangku kebijakan untuk menyelesaikan keberadaan guru honorer yang tidak sejahtera. Sebenarnya dasar untuk melakukan itu sudah ada dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 14 Ayat (1) poin a bahwa guru berhak ”Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial”.
Yang belum ada adalah peraturan pemerintah (PP) yang akan menjadi instrumen hukum yang penting agar gagasan upah minimum guru terlaksana. Namun gagasan ini tidak pernah disentuh sejak UU Guru dan Dosen diterbitkan melewati dua pemerintahan selama 20 tahun terakhir.
Sepertinya, jika tidak ada komitmen dalam menyejahterakan guru secara nasional, satu pertanyaan perlu diajukan. Apakah keberadaan guru honorer merupakan ”angkatan cadangan” yang menurut Anthony Giddens (1986), sebagai cara pemerintah menekan upah guru serendah-rendahnya? Semoga itu tidak benar!
Iman Zanatul Haeri, Guru Sejarah, Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)