Kehadiran teater kontekstual yang terlibat dengan persoalan sosial-politik sangat penting untuk mengkritisi kekuasaan.
Oleh
INDRA TRANGGONO
·2 menit baca
Teater kontekstual/terlibat dapat dimaknai sebagai teater yang memiliki konteks dengan kondisi masyarakat, baik secara politik, sosial, maupun budaya. Di dalamnya terkandung pandangan-pandangan kritis atas kenyataan yang direkonstruksi kekuasaan. Contohnya, antara lain, pementasan Bengkel Teater Rendra, Teater Dinasti, Teater Gapit, Teater Koma, dan Teater Gandrik.
Teater kontekstual terutama marak pada tahun 1980-1990-an. Saat itu, ranah publik didominasi dan dihegemoni Orde Baru (Orba). Masyarakat ditekan rezim Orba untuk selalu patuh demi menciptakan stabilitas sosial, politik, dan ekonomi sebagai syarat lancarnya praktik politik pembangunan.
Ledakan gerakan Reformasi 1998 membuat perubahan besar secara politik. Kekuasaan tidak lagi tunggal dan dominan, tetapi mencair dan tidak terpusat. Masyarakat relatif mendapatkan kebebasan. Berbagai media muncul jadi katup pelepas sosial.
Hal tersebut berdampak pada keberadaan teater kontekstual. Tema-tema besar mulai ditinggalkan. Secara tematik, dunia penciptaan teater bergeser ke jagat personal atau hal-hal lain yang lebih mengutamakan estetisme.
Teater pun jadi apolitik atau setidaknya memilih untuk tidak mengambil peran politis di dalam konteks perubahan kultural. Selain itu, jagat teater juga dipenuhi hiburan. Ini bukan soal salah benar, melainkan kesadaran memilih posisi dan menentukan sikap.
Kali ini, Dapoer Seni Djogja yang tampil dengan pementasan ”The Jongos” membawa semangat untuk mengedepankan teater kontekstual/teater terlibat di tengah publik. Pementasan ini akan digelar di auditorium Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Sabtu (10/8) pukul 19.30 WIB.
Disutradarai Isti Nugroho dan dukung tiga aktor utama, yaitu Joko Kamto, Novi Budianto, dan Eko Winardi, pementasan ini mengkritisi persoalan hukum dan demokrasi yang oleh penguasa semakin dijauhkan dari nilai-nilai ideal. Hukum/konstitusi direkayasa demi memenangkan kontestasi perebutan tampuk kepemimpinan nasional. Juga cawe-cawe kekuasaan dalam pemilu dan penyimpangan lain yang melukai demokrasi.
Refleksi
”The Jongos” yang saya tulis menemukan konteks tematik dan kisahnya dalam diri tokoh Tuan Hakim yang menjadi korban di dalam permainan politik-kekuasaan yang berdampak pada ketimpangan hukum dan penyuburan nepotisme serta politik dinasti. Tuan Hakim—yang memenangkan perkara bagi kelompok dominan—akhirnya disekap rasa bersalah. Ia merasa dikejar-kejar orang-orang yang terlukai rasa keadilannya. Di puncak frustrasi, Tuan Hakim akhirnya bunuh diri.
Kisah ini menjadi refleksi bersama bahwa kekuasaan melalui berbagai cara tidak akan mampu membunuh akal sehat publik. Publik yang kritis memiliki kecerdasan dan intuisi di dalam memahami realitas yang penuh ketimpangan.
Teater, dalam konteks perubahan, bukan penentu, melainkan berposisi sebagai wahana kultural yang menyeru pada nilai-nilai kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Ia menyentuh rasa dan menggugah kesadaran publik untuk selalu berkomitmen untuk selalu memperkokoh peradaban bangsa. Tentu dengan bahasa simbolik.
Dalam konteks pola ungkap secara simbolik itulah, Dapoer Seni Djogja memilih bentuk teater mikro, yakni teater berformat kecil, dalam jumlah pemain dan kru serta manajemen, tetapi tetap memiliki konten yang bernas dan substansial. Kemasan ringkas dijadikan acuan. Efektivitas komunikasi jadi orientasi di dalam berdialog dengan penonton.
Kisah ini menjadi refleksi bersama bahwa kekuasaan melalui berbagai cara tidak akan mampu membunuh akal sehat publik.
Untuk itu, digunakan pola permainan bergaya dialog dan monolog. Alur cerita dibangun dari inti-inti persoalan yang terungkap di dalam setiap adegan. Ini menjadi cara untuk mengungkapkan kisah yang kompleks di dalam durasi relatif pendek (90 menit). Juga, menyiasati sedikitnya aktor yang terlibat.
Teater berformat mikro merupakan siasat untuk menghadapi beban produksi teater yang berat, di mana kekuatan ekonomi menjadi dominan. Bagi teater miskin, hal itu jadi kendala di dalam berekspresi. Untuk itu, prinsip mengutamakan kreativitas harus menjadi basis produksi. Biaya ditekan semaksimal mungkin melalui perhitungan manajerial.
Adapun di dalam pola penggarapan, ”The Jongos” menggunakan konsep tragedi-komedi. Hal-hal yang serius bercampur dengan humor (satire). Adegan bergerak dari suasana cair ke suasana kontemplatif. Diharapkan selain mendapatkan hiburan, penonton pun bisa mencapai katarsis (penyucian jiwa).
Kehadiran teater kontekstual/terlibat menjadi signifikan dan mendesak ketika dunia kesenian semakin larut pada estetisme dan klangenan atau hiburan.