Kebaya dan baju kurung umum dipakai di Nusantara jauh sebelum batas negara modern di Asia Tenggara dipatok.
Oleh
LYNDA IBRAHIM
·4 menit baca
Keriuhan Hari Kebaya Nasional (HKN) pertama baru saja mereda. Ditetapkan melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2023, tanggal 24 Juli diambil dari Kongres Wanita Indonesia Ke-10 tahun 1964 saat Presiden Soekarno, di hadapan ribuan perempuan berkebaya, memuji peran perempuan dalam merebut kemerdekaan.
Kebaya dan bajukurung adalah baju atasan yang umum dipakai di Nusantara jauh sebelum batas negara modern di Asia Tenggara dipatok. Kebaya berbukaan depan, baju kurung berbukaan belakang, baju bodo Makassar berbukaan atas. Pakar wastra Judi Knight Achjadi, dalam Perjalanan Kebaya yang diterbitkan Museum Tekstil tahun 2014 seiring pameran kebaya antik koleksi pakar wastra Asmoro Damais, mendefinisikan kebaya sebagai atasan sepinggul berlengan panjang yang dipakai perempuan dengan kain panjang atau sarung. Judi mengutip catatan Thevenot abad ke-17 tentang baju atasan Persia bernama caba yang dipakai dinasti Mughal India dan catatan Poensen tahun 1876 tentang kulambi kabaya di Jawa yang mengambil nama dari kabaai Persia. Judi juga menemukan lukisan Jan Brandes tahun 1780 yang mengilustrasikan seorang perempuan, diduga bersuamikan pria Belanda, mengenakan cabie putih di sebuah pesta di Batavia.
Peter Lee, dalam Sarong Kebaya yang diterbitkan Asian Civilisations Museum tahun 2014, mengutip ahli etimologi Henry Yule dan Arthur Burnell yang pada 1886 menerangkan caba (Persia) berhulu dari qaba (Arab), yaitu pakaian luar atau jaket. Bisa disimpulkan, caba mendapat pengaruh Arab, tapi bukan dari abaya. Judi dan Peter mengulas lebih jauh akar kata abaya dan habaya yang sering dikira asal kebaya.
Di luar ribut asal-usul yang rumit karena minimnya literatur, apalagi di Indonesia, kebaya masih hidup dan menyulut perdebatan baru saat Singapura, Malaysia, dan Thailand mengusulkan sebagai warisan budaya. Dari perjalanan saya tahun lalu meriset kebaya Indonesia untuk dokumenter Kebaya Gaya Nusantara yang dirilis Mediacorp Singapore pada November 2023, membaca literatur yang bisa diburu dan menanyai ahli yang sudi berbagi ilmu, saya makin yakin bahwa kebaya buah akulturasi bertahap Nusantara dengan berbagai budaya asing dan logikanya memang milik bersama. Keputusan akhir Indonesia untuk joint filing ke UNESCO bersama ketiga negara lain adalah sikap cerdas dan bijak. Deretan narasumber dokumenter kami pun, yang juga membahas kebaya Malaysia dan Singapura, berkesimpulan ini adalah busana umum di Nusantara.
Khusus kebaya Indonesia, dari narasumber seperti akademisi Indiah Marsaban, saya belajar bahwa selain kutubaru, Kartini, dan kerancang/encim, ada labuh dan noni. Kebaya labuh longgar dan panjang, mengingatkan saya akan puan Melayu dulu. Kebaya noni berenda di tepi, bukan berbordir langsung di helai kebaya seperti kerancang/encim. Di Indonesia timur saya sering melihat kebaya noni, tapi dulu saya kira kerancang. Saya pun jadi paham mengapa kebaya berbordir lebih bijak disebut kerancang ketimbang encim karena bisa ditemui juga di Minangkabau, selain di kantong peranakan Tionghoa di pesisir Jawa. Saya sudah lama punya kebaya kerancang Bukittinggi, tapi kesadaran istilah baru timbul setelah mengerjakan dokumenter tahun lalu, saat saya intens membaca literatur, berdiskusi dengan narasumber dan berkebaya, bahkan saat lari-lari mengawasi shooting di luar Tasikmalaya.
Karena kesadaran datang dari pengetahuan dan keterbiasaan, kebaya bisa hidup jika publik kenal dan biasa mengenakannya. Desainer Didiet Maulana, salah satu narasumber dokumenter kami, pada Kebaya Fest 2024 di Jakarta pun mengutarakan pentingnya menyeimbangkan edukasi standar kebaya dengan kreativitas luwes terutama dalam mengakomodasi kaum muda. Didiet menunjukkan kesungguhannya dengan membagikan pola kebaya dari bukunya ke pameran PosBloc untuk ditiru publik.
Membagi kebaya ke generasi muda agar tak punah juga diucapkan Yanti Moeljono dari Kebaya Menari dalam dokumenter kami tahun lalu dan Renitasari Adrian dari Djarum Foundation saat meluncurkan film pendek Kebaya Kala Kini menjelang HKN. Dikenali sebagai ibu berkebaya yang menyeret koper di video viral Selasa Berkebaya, Yanti bersama Ade Nirmala membawa Kebaya Menari, kelompok lintas usia yang menari sambil berkebaya, melawat ke komunitas kebaya di negara-negara sebelah. Renitasari membawa dua aktris dan satu biduan keroncong muda, dibalut kebaya modern, berbaur dengan perempuan Yogyakarta yang sehari-hari berkebaya klasik sambil bekerja. Visual film pendeknya menarik dan, karena dibintangi talenta muda ternama, semoga menggelitik generasinya.
Akses mudah ke anak muda juga yang mendorong desainer Lenny Agustin membentuk komunitas Funky Kebaya dan setelah HKN menggelar berbagai desain kebaya dalam acara santai di pelataran MBloc. Dipadukan rok mini atau denim dan diperagakan remaja biasa, kebaya-kebaya ini menarik perhatian hadirin remaja dan pejalan kaki di sekitar Terminal Blok M. Saya jadi teringat Chelliszya Halim, gadis belasan tahun pemenang Ratu Putri Kebaya 2024 yang berpapasan dengan saya di Parade Kebaya CFD, dan betapa sepanjang jalan ia dan sesama finalis belia menuai pujian atas kebaya yang mereka kenakan.
Sama pentingnya dengan akses ke generasi muda adalah pemakaian kebaya dalam keseharian. Saya tak sepakat bahwa kebaya harus ketat, mewah, atau menerawang; saya sendiri punya banyak kebaya berbahan nyaman dan berukuran leluasa. Saya biasa memadukan kebaya dengan bawahan modern, dipakai presentasi kerja atau ke museum negara jiran. Bahkan, pada sebuah tahun sekelompok kami berkebaya setiap berkumpul, walau diledek kawan lain sebagai sosialita. Ledekan ini sebenarnya cermin sedih asosiasi kebaya sebagai busana eksklusif yang perlu alasan untuk tampil. Kalau kebaya hanya dipakai saat wisuda, pernikahan, pelantikan, dan pesta, atau dianggap hanya mainan sosialita, pada saat mbok-mbok pasar di Kebaya Kala Kini wafat kebaya akan kian berjarak dengan rakyat.
Edukasi jenis kebaya dan karakteristiknya, apresiasi penerapan artistiknya. Kebaya harus menyenangkan dan inklusif, jangan digandoli berbagai pesan berat budaya apalagi, amit-amit, nuansa politis. Sixers Berkebaya, alumni SMA 6, adalah salah satu komunitas seimbang yang saya temui—kebaya pakem atau modern, berkain atau bersarung, bersanggul atau berkerudung—dan rajin berkumpul. Bayangkan jika perempuan Indonesia ramai-ramai membongkar lemari dan memakai kebaya lama mereka lagi atau terinspirasi mulai memakai kebaya, HKN akan menjadi keniscayaan keseharian.
Dan, keseharian inilah yang akan membuat kebaya, pun baju kurung dan baju bodo, berumur sepanjang zaman.