Bahasa yang digerakkan oleh rasa menciptakan inspirasi, motivasi, serta berkemungkinan mendorong kemajuan sivilisasi.
Oleh
BRE REDANA
·4 menit baca
Februari 1955 kapal perusak Kolombia, Caldas, meninggalkan pelabuhan tempatnya bersandar selama beberapa bulan untuk perbaikan di Mobile, Alabama, Amerika Serikat. Kapal hendak kembali ke negeri asalnya, Kolombia.
Tidak lama mengarungi laut, muncul kabar di Kolombia: Caldas diterpa badai, beberapa awak kapal sempat tersapu ombak dari atas geladak, sampai berita di koran itu beredar dinyatakan satu awak kapal bernama Luis Alejandro Velasco hilang.
Tak dinyana, seminggu kemudian Alejandro nongol di pantai. Ia selamat setelah 10 hari terapung-apung di laut tanpa makanan dan air minum. Di negerinya, ia disambut dan dielu-elukan sebagai pahlawan. Dari seorang pelaut biasa mendadak ia jadi selebritas.
Cerita berbalik jadi ironi ketika tak lama setelah itu ia mendatangi kantor koran El Espectador dan kepada seorang wartawan koran ini, ia menuturkan apa yang sesungguhnya terjadi.
Kata dia tak ada badai. Ombak menyapu geladak gara-gara kapal oleng karena kelebihan muatan. Selama di Amerika, para pelaut belanja kulkas, televisi, radio, dan segala rupa barang elektronik untuk diselundupkan ke Kolombia. Semua barang terempas ke laut ketika ombak besar datang, termasuk beberapa awak kapal. Para awak kapal yang lain selamat, kecuali dirinya yang saat itu tidak diketemukan dan lalu ditinggalkan.
Cerita jadul?
Ya, izinkan saya sebagai makhluk kuno bikin disclaimer, cerita itu bukan saja jadul, tapi untuk ukuran ”zaman now”terbilang purba, arkaik. Ia hadir sebagai serial di koran El Espectador tahun 1955, diterbitkan sebagai buku (dalam bahasa Spanyol) tahun 1970, dan beredar dalam bahasa Inggris tahun 1986.
Saya sendiri membacanya tahun 1990-an, The Story of a Shipwrecked Sailor oleh si wartawan yang setiap kali menyebut namanya, hati saya bergetar: Gabriel Garcia Marquez. Dari buku itu pula pemahaman saya mengenai jurnalisme terbentuk: story telling adalah segala-galanya. Atau mengutip ucapan penulis novel masyhur One Hundred Years of Solitude tersebut: novel dan jurnalisme sejatinya anak-anak dari ibu yang sama.
Sama sekali saya tidak berniat merendahkan genre jurnalistik yang lain—seandainya ada—tetapi saya percaya bahwa evolusi otak manusia dari pra-sejarah menuju peradaban baru adalah karena kekuatan bahasa, dongeng, story telling.
Oleh metafora, ironi, alegori, dan lain-lain yang merupakan bagian dari daya bahasa, seperti melalui laporan tadi tergali emosi manusia, tandas sampai dasar. Terkuak arketip (archetype)manusia: ketidak-berdayaannya, ketakutannya, halusinasinya, dan lain sebagainya. Bahasa yang digerakkan oleh rasa menciptakan inspirasi, motivasi, serta berkemungkinan mendorong kemajuan sivilisasi.
Sesuatu yang berhubungan dengan aspek-aspek dasar manusia termasuk trauma dan kesedihan tidaklah mudah ditaklukkan atau disingkirkan oleh waktu. Seperti virus, kadang ia tidak aktif dan cuma bersembunyi di kisi-kisi hati, muncul kembali tatkala ada pemantiknya.
Hal seperti itu pula yang saya dapati ketika mengikuti diskusi buku karya Linda Christanty, Jangan Percaya Surat Palsu (Pojok Cerpen dan Tanda Baca, Juni 2024) di Jakarta bulan lalu. Buku itu merupakan kumpulan karya jurnalistik tentang konflik di Maluku Utara pada sekitar akhir paruh kedua tahun 1990-an.
Linda mengorek cerita orang-orang di Halmahera tentang apa yang menimpa dan mereka alami sekitar 20 tahun lampau (proyek jurnalistik ini dilakukan tahun 2016 dan 2018), di mana para narasumber pada saat konflik terjadi ada yang masih kanak-kanak, remaja, ada pula yang telah dewasa dan aktif ambil bagian dalam ”perang”.
Laporan diawali dengan kutipan dari JB Bhattacharjee, bagaimana resolusi konflik jadi tema populer dalam seminar-seminar, tetapi penekanannya lebih pada resolusi, bukan pada sebab-musabab meletusnya konflik. Dalam hal konflik di Maluku Utara, seperti diceritakan ulang oleh para narasumber, persoalannya tidaklah sesederhana diringkus dalam pengertian populer: konflik agama.
Pada acara diskusi, banyak peserta yang mengalami peristiwa tersebut angkat suara, ada yang sambil berurai air mata. Stabilitas kemudian memang pulih, tapi horor dari kekejian masa itu masih menghuni jiwa-jiwa ini.
Terhadap cerita seperti di atas—yang telah berlalu seperempat abad—siapa masih peduli. Tidak relate, ucap generasi yang suka ngomong ke-inggris-inggrisan. Gegap gempita para selebritas mengaburkan problematik negeri.
Sebagian besar manusia sekarang termasuk arus besar jurnalisme lebih menggemari gelembung-gelembung kabar viral daripada aktualitas gagasan.***