Saat kerusuhan pecah di Ambon pada 19 Januari 1999, Venox dan teman-temannya sedang merayakan hari raya Idul Fitri.
Oleh
LINDA CHRISTANTY,
·3 menit baca
Belum lama ini saya menerbitkan buku laporan jurnalistik tentang Maluku Utara, Jangan Percaya Surat Palsu. Dua bab dalam buku berfokus pada pembahasan konflik di Maluku Utara, yang berlangsung antara bulan Agustus 1999 hingga bulan Juni 2000. Dari kesaksian para penyintas diketahui bahwa akar konflik itu adalah masalah batas wilayah. Konflik bermula antara masyarakat adat Kao dan orang Makian di Pulau Halmahera, karena batas kebun. Orang Makian menggeser batas kebunnya hingga memasuki tanah orang Kao. Mayoritas Kao beragama Kristen. Makian beragama Islam.
Masalah batas kebun menjadi masalah kepentingan komunal ketika pemerintahan Presiden BJ Habibie menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Pembentukan dan Penataan Beberapa Kecamatan di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Maluku Utara dalam Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Maluku. Lima desa Kao, yaitu Tabobo, Balisosang, Sosol, Wangeotak, dan Gayok, menjadi wilayah Kecamatan Malifut, kecamatan Makian.
Konflik tersebut menyebabkan kematian 2.084 jiwa dan hampir 200.000 orang mengungsi.Konflik Maluku Utara berbeda dengan konflik Ambon di Maluku, baik penyebab maupun wilayahnya. Namun, waktu konflik yang nyaris bersamaan dan mobilitas pengungsi di dua provinsi kepulauan itu membuat kedua konflik dianggap sama.
Hal yang menarik perhatian saya dan jarang dibahas para peneliti adalah eksploitasi anak dalam konflik di Maluku Utara. Salah satu korbannya adalah Venox.Saya mewawancarai Venox pada 10 September 2019 di kedai kopi dalam Benteng Fort Orange, Ternate.Ia bertubuh kurus, berkumis, berjenggot pendek. Mengenakan kaca mata minus dan kalung rantai besi putih. Topi hitamnya model kelasi.Ia sangat traumatik dan menderita. Pengalaman dan kesaksiannya menunjukkan keterhubungan antara konflik Ambon dan konflik Maluku Utara.
Saat kerusuhan pecah di Ambon pada 19 Januari 1999, Venox dan teman-temannya sedang merayakan hari raya Idul Fitri.Tiba-tiba ribuan massa menyerbu Wainitu, desa tempat tinggal Venox. Mereka bersenjata pedang, membawa jeriken-jeriken bensin, dan menggiring anjing-anjing. Sekelompok massa menyerbu masuk ke rumah Venox, mengamuk, menghancurkan lukisan kaligrafi dan membanting foto-foto keluarganya. Setelah mengetahui penyerbuan itu, ayahnya meminta Venox pindah sekolah ke Tidore.Ayahnya bekerja di instansi pemerintah di sana.
Di bulan Oktober 1999, Venox pergi ke Ambon untuk berlibur dan mengambil sejumlah barang di rumah. Ketika kapal Lambelu mencapai pelabuhan, terdengar pengumuman dari pengeras suara yang menyebutkan keadaan Ambon mencekam dan umat Kristen diharuskan turun dari tangga utama. Lambelu akan melanjutkan pelayaran hingga ke Jawa dan baru akan kembali dua minggu lagi. Venox terpaksa turun. Ia melihat tentara dan polisi berbaris dan berjaga di pelabuhan.
Dalam kecemasan, Venox menghubungi teman-teman masa kecilnya di Wainitu. Merekalah yang menjadi penyelamatnya. Teman-teman Venox beragama Kristen. Tiap kali akan ada serangan dari kelompok Kristen, Venox diberi tahu. Karena situasi makin berbahaya, Venox mengungsi ke posko pengungsi di Masjid Raya Al Fatah, dalam Kota Ambon.
Salah seorang pejabat yang juga pengusaha di Ambon menemui Venox di masjid itu. Ia mendesak Venox agar menyebarkan selebaran yang sudah disiapkannya ke Tidore. Pejabat itu juga memberi Venox uang.
Dari penelusuran dan kesaksian narasumber lain, selebaran yang memprovokasi kerusuhan antaragama di Maluku Utara dibuat oleh oknum pegawai Pemkot Ternate.Selebaran dibuat di Ternate, lalu dibawa ke Ambon. Di Ambon, pelaku memperalat Venox untuk membawanya kembali ke Maluku Utara dan menyebarkannya di Tidore. Selebaran ini membakar Maluku Utara dalam konflik berdarah antarpemeluk agama.
Venox mengalami trauma berat akibat peristiwa tersebut. Suatu malam ia tiba-tiba melihat sebuah layar, yang menayangkan adegan pembantaian di hadapannya. Tiba-tiba layar itu hidup dan menariknya dengan kuat. Venox berteriak histeris.
Narasumber lain yang juga mengalami trauma adalah Carolus Djawa. Ia mantan dekan di Universitas Khairun, Ternate. Ia sempat menolak diwawancarai. Ketika melihat wajah dan penampakan saya yang mirip orang Tionghoa, ia berkata, ”Jangan-jangan ibu ini ada hubungan dengan Ahok. Jangan bawa-bawa masalah dari Jakarta kepada kami di sini. Kami sudah tidak mau lagi ada konflik.” Sikapnya dapat saya pahami karena ia benar-benar trauma berat akibat konflik berdarah di Maluku Utara.
Saya mewawancarai Carolus di rumahnya di Desa Toboso, Jailolo, Halmahera Barat, pada 12 November 2016. Ia tengah berbaring di kasur di ruang tamu ketika saya datang karena baru pulih dari sakit.
Carolus Djawa pun menolak istilah ”konflik Kristen dan Islam” yang sering digunakan dalam menyebut konflik Maluku Utara. Dia menyebut konflik itu sebagai ”masalah antara orang pedalaman dan orang pantai”.