Surga Penyelundupan Narkoba di Laut Indonesia
Menjaga laut Indonesia adalah menjaga kedaulatan bangsa dan negara karena Indonesia adalah kelautan.
Laut Indonesia yang sangat luas menempatkan Indonesia pada titik rawan area penyelundupan beragam barang ilegal. Hampir semua jenis barang ilegal bisa ditemukan di area laut Indonesia yang luasnya mencapai 3.257.357 kilometer persegi ini.
Kita bisa bayangkan betapa luas lubang area yang tak terawasi para petugas berwenang, baik dari TNI, Kepolisian Negara RI, Bea dan Cukai, Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kementerian Kelautan dan Perikanan, maupun Badan Narkotika Nasional (BNN).
Jika enam instansi itu melakukan operasi laut secara bersamaan pun, tidak akan cukup bisa mengawasi 3 juta kilometer persegi laut Indonesia.
Kapal dan pelabuhan adalah area yang seharusnya serba teregister. Semuanya terdata, memenuhi syarat perizinan, dan beroperasi atas dasar sistem pengawasan yang ketat.
Namun, faktanya, tidak semudah yang diharapkan. Pelabuhan-pelabuhan tradisional yang berbanding lurus dengan fasilitasi kapal ”ilegal” nyatanya masih ada di pelosok-pelosok wilayah Indonesia.
Baca juga: Melindungi Bangsa dari Narkoba
Beragam transaksi di laut memang selalu menyisakan lubang gelap yang tidak terpantau oleh petugas. Saking gelapnya, awak kapal sering menjadi korban beragam bentuk kejahatan di laut karena mereka dibuat tidak berdaya. Melarikan diri berarti mencebur ke laut yang berujung pada kematian.
Pemanfaatan ABK oleh jaringan narkoba
Hampir 15 tahun lalu, penulis bertemu muka dengan delapan awak kapal MV Joanna yang ternyata telah diisi 1,8 ton kokain di perairan Kongo, Afrika. Selain kapten kapal dan seorang anak buah kapal (ABK), enam ABK lainnya tidak mengetahui bahwa kapal itu telah diisi kokain sebelumnya.
Sementara dua orang yang mengetahui adanya pengangkutan barang mencurigakan dibuat tidak berdaya karena berada di bawah ancaman mafia Bulgaria dan mafia Kongo. Mereka dipaksa tutup mulut. Selalu diawasi dan diikuti ke mana pun pergi, termasuk ketika pulang ke Tegal, Indonesia.
Mereka kemudian ditangkap petugas gabungan di perairan Portugal. Mereka cukup beruntung, secara bertahap dibebaskan, karena tidak terbukti setelah dilakukan proses pemeriksaan yang panjang oleh pihak berwenang di Portugal.
Kegelapan laut tampaknya umum terjadi di banyak wilayah perairan di dunia. Indonesia yang diapit dua samudra adalah wilayah yang juga penuh dengan titik gelap, tanpa kecuali.
Di bulan ini, BNN mendapatkan informasi dari awak kapal yang mencurigai muatan tidak wajar ke dalam tangki cadangan di wilayah Malaysia. Kapal yang berangkat dari Singapura dengan tujuan Brisbane, Australia, tersebut ternyata diisi sabu seberat 160 kilogram.
Awak kapal asal Indonesia tak mengetahui kapalnya akan diisi narkoba. Beruntung, mereka sadar dan melapor kepada petugas sehingga barang bukti dan awak kapal dari India yang menjadi pelaku penyelundupan diamankan petugas di perairan Karimun, Kepulauan Riau.
Jika tidak, mereka akan menerima risiko dianggap terlibat dan bisa saja ditangkap petugas di Australia. Apa yang terjadi di Kepulauan Riau tersebut mirip dengan apa yang dialami awak kapal Indonesia di Portugal. Mereka diperdaya oleh jaringan yang mempekerjakan awak kapal untuk mengangkut barang yang ternyata juga berisi narkoba.
Para awak kapal ini perlu mendapat perlindungan yang cukup. Mereka harus mendapatkan akses yang leluasa kepada petugas ketika berada di posisi berbahaya.
Beberapa hari lalu, penulis kedatangan tamu, seorang awak kapal penangkap ikan. Dia menceritakan, kapalnya yang berangkat dari Laut Jakarta menuju arah barat di perairan laut Hindia kerap melakukan transaksi narkoba di laut.
Menurut awak kapal ini, awak kapal sangat umum menggunakan narkoba jenis ganja dan sabu. Nelayan dari Aceh atau Sumatera juga sering mendatangi kapal-kapal mereka dengan membawa sayuran berikut narkoba. Mereka menggunakan sistem barter ikan dengan narkoba.
Menjaga laut Indonesia adalah menjaga kedaulatan bangsa dan negara karena Indonesia adalah kelautan.
Kapal kayu nelayan tidak perlu repot-repot menjaring atau memancing ikan di laut. Mereka cukup membawa sejumlah ganja dan sabu, lalu menukarnya dengan ikan tangkapan kapal besar hingga palka ikan tersebut penuh. Menurut awak kapal yang sudah mulai berumur itu, ganja dan sabu menjadi vitamin rutin para awak kapal penangkap ikan yang berlayar ke arah barat.
Kita tentu patut khawatir karena kebiasaan buruk para awak kapal mengonsumsi narkoba secara rutin akan membawa mereka pada kesuraman masa depan mengingat sifat candu narkoba tersebut. Kesehatan mereka akan menjadi taruhan.
Dari cerita tersebut, kita juga dapat menilai bahwa nelayan asal Sumatera atau Aceh tampaknya menjadikan narkoba sebagai penopang bisnisnya. Mereka berperan sebagai pengedar dengan pasarnya para awak kapal ikan di tengah laut.
Penguatan kebijakan wilayah pesisir
Melihat tingkat kerentanan awak kapal atau nelayan seperti yang tergambar dari cerita-cerita di atas, pengampu kebijakan seperti BNN dan Polri perlu memberikan perhatian yang lebih kepada masyarakat pesisir. Mereka harus menjadi bagian penting dalam kerangka memutus jaringan narkoba.
Masyarakat pesisir termasuk komponen modalitas bernilai tinggi karena mereka dapat menjadi informan sekaligus agen pencegah penyelundupan lintas negara. Mereka perlu mendapat perhatian dari aspek pemberdayaan agar tidak terjerat jaringan narkoba.
Pemberdayaan masyarakat pesisir tidak hanya menjadi tugas BNN. Namun, kita juga harus mendorong instansi terkait untuk terlibat secara langsung. Kementerian seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Desa PDTT, atau instansi lain harus memberikan perhatian lebih agar masyarakat pesisir dan perbatasan terlindungi dari permasalahan kejahatan narkotika.
Selain itu, petugas di Indonesia juga harus dapat membangun kerja sama dengan petugas negara tetangga. Pemetaan terhadap keterhubungan antara awak kapal antarnegara dan jalur pelintasannya adalah modal dasar untuk dapat membaca potensi transaksi yang sering terjadi di tengah laut.
Tahun 2021, saat dunia dalam masa pandemi Covid-19, penulis diminta memaparkan hasil penelitian tentang peta penyelundupan di laut Indonesia di forum The Maritime Trafficking Routes-Southeast Asia (MTR-SEA) Regional Plenary yang diadakan oleh Kantor PBB untuk Urusan Kejahatan dan Narkoba (UNODC).
Para peserta dari negara-negara ASEAN dan PBB menjelaskan, terdapat mekanisme adaptasi penyelundupan di laut di masa tersebut. Di antara temuan signifikan adalah adanya penyelundupan narkoba yang masif dari Pantai Makran, Iran, ke wilayah ASEAN, termasuk Jawa Barat dan Aceh.
Situasi kejahatan narkoba di laut yang dinamis tersebut hanya dapat diantisipasi jika kita mampu membangun kerja sama antarpetugas di kawasan, terutama yang berbatasan langsung dengan laut Indonesia.
Dengan demikian, kita berharap laut Indonesia tidak lagi menjadi surga penyelundupan narkoba. Menjaga laut Indonesia adalah menjaga kedaulatan bangsa dan negara karena Indonesia adalah kelautan.
FathurrohmanAnalis Kejahatan Narkotika, ASN di BNN RI