Mobil Listrik China dan Tantangan Membangun Industri Kendaraan Listrik
Di tengah membanjirnya mobil listrik China, pemerintah perlu mendorong agar China membangun pabriknya di Indonesia.
Ada yang berbeda dalam gelaran Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) tahun 2024 ini. Dominasi mobil dari Jepang, Korea Selatan, dan Eropa kini tertandingi oleh produsen otomotif dari negeri tirai bambu China.
Banyaknya produsen mobil dari China yang menjadi peserta GIIAS tahun ini cukup mengagetkan mengingat beberapa bulan yang lalu nama-nama merek kendaraan roda empat, seperti BYD, GWM. Neta, dan Aion, masih asing di telinga kita.
Namun produsen otomotif China sangat jeli dalam membidik dan melakukan penetrasi ke pasar Indonesia yang sangat menjanjikan ini. Mereka tidak bersaing head to head dengan mobil konvensional yang pasarnya dikuasai, Toyota, Honda, Nissan, Mercedes, dan BMW, tetapi mereka masuk ke ceruk pasar yang tumbuh cepat dan belum dikuasai para raja otomotif dunia, yaitu mobil listrik.
Baca juga: GIIAS 2024, Ajang Pertempuran yang Kian Riuh
Masuknya para produsen otomotif China ke Indonesia dengan memasarkan kendaraan listrik tidak hanya mengejutkan publik yang sekarang disuguhi berbagai pilihan dan jenis mobil listrik, mulai dari sedan, MPV, hingga SUV, tetapi juga para jawara otomotif yang selama ini menguasai pasar Indonesia.
Dengan bermodalkan desain dan teknologi yang mutakhir disertai harga yang sangat kompetitif, tidak mengherankan jika berbagai mobil listrik keluaran China ini mampu menggebrak pasar otomotif nasional dalam tempo yang sangat singkat.
Sesungguhnya tidak mengherankan jika industri mobil listrik China tumbuh pesat. Kepemilikan sumber daya alam mineral kritis (critical minerals) yang dibarengi dengan kemajuan teknologi industri pengolahan produksi baterai kendaraan listrik, mengangkat posisi China sebagai produsen mobil listrik terdepan saat ini.
Berlimpahnya litium dan grafit di China dibarengi dengan pemurnian kobalt dan nikel di sejumlah negara menjadikan industri mobil listrik tumbuh sangat cepat. Data dari Litbang Kompas menunjukkan, saat ini, China menduduki peringkat kedua di dunia dalam memproduksi litium dengan besaran kontribusi produksi sekitar 23 persen.
Walaupun produksi litiumnya peringkat kedua, China diperkirakan pada 2030 berada di peringkat pertama dengan share refining hingga 57 persen. Hal ini membuat China sangat mendominasi pasar litium dunia sehingga relatif mudah mengusai komoditas litium yang sangat diperlukan dalam produksi baterai listrik.
Komoditas lain yang berlimpah di China adalah grafit. Diperkirakan pada 2030 sekitar 82 persen suplai grafit dunia akan dikuasai China, dengan 93 persen penggunaan grafit digunakan sebagai anoda baterai yang berperan penting dalam mengisi daya listrik.
Berlimpahnya litium dan grafit di China dibarengi dengan pemurnian kobalt dan nikel di sejumlah negara menjadikan industri mobil listrik tumbuh sangat cepat.
Bagaimana seharusnya Indonesia merespons banjirnya mobil listrik dari China ini? Dari sudut pandang konsumen, tentu hal ini memberikan dampak positif. Pertama, konsumen di Indonesia memiliki banyak pilihan untuk memilih dengan berbagai fitur kelebihan dan kekurangannya, baik dari pabrikan China, Korea Selatan, maupun Amerika Serikat.
Kedua, harga menjadi lebih kompetitif karena berbagai merek yang masuk menjadikan harga sebagai salah satu komponen utama dalam penjualan. Artinya, setiap pabrikan akan mempertimbangkan harga yang lebih terjangkau atau skema pembayaran yang lebih ramah bagi konsumen.
Ketiga, semakin banyak kendaraan listrik tentu diharapkan dapat memberikan dampak pada perbaikan kualitas udara di Indonesia dengan mengurangi secara signifikan polusi udara dari emisi kendaraan berbahan bakar fosil.
Posisi tawar Indonesia
Namun Pemerintah Indonesia tidak boleh lengah dan terlena. Jangan sampai konsumen otomotif Indonesia yang begitu besar jumlahnya hanya menjadi target pasar dari produsen mobil listrik China ini. Sudah cukup kegagalan kita membangun industri dalam negeri dan membuka pintu lebar-lebar bagi produk asing untuk dijual secara masif di Tanah Air.
Produsen mobil listrik yang saat ini banyak mendapatkan insentif pemerintah, baik fiskal maupun nonfiskal, wajib membangun fasilitas produksi otomotif mereka di Indonesia sebelum memasarkan lebih banyak lagi kendaraan roda empat yang masih diimpor langsung dari negeri jiran.
Saatnya Pemerintah Indonesia memberikan batasan waktu pada produsen kendaraan listrik tersebut untuk membangun pabrikan di dalam negeri. Kalau sampai jangka waktu yang ditentukan tidak ada pabrikan yang dibangun, maka segera cabut berbagai insentif yang mereka nikmati atau kenakan bea masuk atas produk yang masuk ke pasar Indonesia.
Sudah cukup kegagalan kita membangun industri dalam negeri dan membuka pintu lebar-lebar bagi produk asing untuk dijual secara masif di Tanah Air.
Jika negara-negara lainnya bisa memberlakukan trade barrier terhadap serangan mobil listrik asing, tentu pemerintah Indonesia memiliki hak untuk melakukan hal yang sama. Semua ini dilakukan agar Indonesia tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga mendapatkan kesempatan menjadi basis produksi bagi kendaraan listrik.
Dengan kata lain, jika para produsen kendaraan listrik (electric vehicle) ingin meraup pasar Indonesia yang sangat menjanjikan, mereka wajib membangun industri otomotif di Indonesia, mempekerjakan putra-putri Indonesia dan melakukan transfer teknologi agar kita semua berada dalam sebuah skema win-win situation.
Perlu political will yang kuat dan berani dari Pemerintah Indonesia untuk membangun posisi tawar dengan China dalam upaya win-win pembangunan industri kendaraan listrik di Indonesia. Salah satu bargain yang menjadi kekuatan bagi Indonesia adalah kebutuhan China kepada pengolahan nikel di Indonesia.
Data dari Litbang Kompas menunjukkan, dengan produksi nikel Indonesia yang menguasai sekitar 62 persen global, China berusaha bekerja sama untuk memurnikannya. Ada yang dimanfaatkan untuk memproduksi besi, baja, dan aluminium, tetapi ada pula yang dimanfaatkan untuk memproduksi material untuk baterai kendaraan listrik berbasis nikel.
Baca juga: Insentif Kendaraan Listrik
Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar di kawasan Asia Tenggara yang memiliki budaya konsumtif tentu menjadi incaran dari berbagai produk luar negeri. Produk dari berbagai negara membidik jumlah konsumen yang besar ini sebagai pasar yang tidak bisa dilewatkan.
Artinya, kita memiliki posisi tawar yang sangat kuat untuk mendesak produsen mobil listrik dan produk lainnya untuk berinvestasi, membangun industri, dan menyerap tenaga kerja lokal karena pasar sebesar Indonesia sulit dicari di kawasan regional.
Jika kita gagal melakukan hal ini, kita turut bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja bagi tenaga kerja di China, Korea, Eropa dan negara lainnya, sementara angka pengangguran di dalam negeri masih tetap tinggi.
Eddy Soeparno, Wakil Ketua Komisi VII DPR