Rasio Utang Pemerintah, antara Narasi dan Realitas
Perlu tiga kali lipat dari seluruh pendapatan negara selama satu tahun untuk melunasi seluruh utang pemerintah.
Pada 14 Juni 2024, Bloomberg memberitakan keterangan yang disebut berasal dari Tim Transisi Prabowo-Gibran bahwa Pemerintah Indonesia berikutnya berencana menaikkan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto hingga 50 persen selama 5 tahun ke depan.
Pada hari yang sama, nilai tukar rupiah langsung melemah menembus level Rp 16.400 per dollar AS, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun ikut turun 97 poin.
Empat hari kemudian, Tim Transisi Prabowo-Gibran bergegas melakukan klarifikasi untuk membantah adanya wacana menaikkan rasio utang itu.
Respons pasar yang sangat reaktif dan kedaruratan Tim Transisi Prabowo-Gibran untuk melakukan klarifikasi menunjukkan bahwa isu rasio utang pemerintah merupakan hal yang sangat sensitif bagi investor. Mengapa demikian? Bukankah sebagaimana yang dinarasikan selama ini, rasio utang Pemerintah RI masih sangat aman?
Rasio utang Pemerintah Indonesia terhadap PDB berada di level 38,71 persen per Mei 2024. Angka ini masih jauh di bawah batas 60 persen yang ditetapkan dalam UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Bahkan, jika kita bandingkan dengan negara-negara maju, terutama Amerika Serikat yang sebesar 122 persen dan Jepang 217 persen, rasio Indonesia terbilang kerdil.
Baca juga: Menakar Warisan Utang Rezim Jokowi
Rasio utang dan rasio pajak
Sebelumnya, Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih, pada Januari lalu, menyatakan tidak masalah jika rasio utang kita mencapai 50 persen sekalipun. Dan, hal ini kembali diafirmasi dalam pernyataan pada Qatar Economic Forum 2024. Prabowo mengungkapkan, angka rasio utang Pemerintah Indonesia adalah yang ”terkecil di dunia” sehingga Indonesia akan ”lebih berani” dalam pengelolaan utangnya.
Jadi, kenapa dengan rasio yang sangat aman tersebut, pasar justru bereaksi sebaliknya ketika rasio utang diwacanakan naik?
Kenyataannya, rasio utang 38,71 persen itu tidak bisa menjadi indikator amannya kondisi keuangan negara. Pada akhir 1996, rasio utang Indonesia berada di level 23,9 persen. Jauh lebih rendah dibandingkan saat ini. Namun, kita tahu, pada 1997, Indonesia jatuh ke dalam krisis ekonomi terparah dalam sejarah negeri ini pasca-Orde Lama.
Rasio utang terhadap pendapatan
Perlu diingat, pemerintah tak membayar utang dengan PDB, tetapi hanya dari pendapatan atau pembiayaan (utang baru). Sebesar apa pun PDB, jika Indonesia tak bisa mengonversi itu menjadi pendapatan negara, percuma jika rasionya terbilang kecil sekalipun. Kemampuan negara mengonversi PDB menjadi pendapatan ini dapat kita lihat dari rasio pajak (tax ratio). Dan kita tahu, rasio pajak Indonesia angkanya masih terlampau rendah.
Berdasarkan data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) terakhir, rasio pajak Indonesia pada 2022 berada di angka 12,1 persen. Jauh di bawah rata-rata negara-negara Asia Pasifik, yakni 19,3 persen. Apalagi, jika kita bandingkan dengan negara-negara OECD yang sebesar 34 persen.
Oleh karena itu, kita tak bisa membandingkan rasio utang terhadap PDB Pemerintah Indonesia dengan negara-negara yang sudah memiliki rasio pajak tinggi. Apalagi, membandingkan dengan outlier yang lebih ekstrem, seperti AS yang memiliki privilese sebagai negara pencetak dollar AS, atau Jepang yang mati-matian menghidupkan ekonominya yang stagnan sejak 1990-an.
Dibandingkan dengan rasio utang terhadap PDB, kita perlu lebih memperhatikan rasio utang pemerintah terhadap pendapatan yang lebih genting posisinya saat ini. Jika melihat realisasi pendapatan negara pada 2023, rasio total utang pemerintah terhadap pendapatan sudah mencapai 300 persen.
Dengan kata lain, perlu tiga kali lipat dari seluruh pendapatan negara selama satu tahun untuk melunasi seluruh utang pemerintah. Nilai ini jauh di atas rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF), yakni 90-150 persen.
Lebih dalam lagi, rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan negara per 2023 sudah ada di angka 15,8 persen. Artinya, untuk membayar bunga utang saja, tanpa mengurangi pokok utang, memerlukan 15,8 persen dari seluruh pendapatan negara. Pembayaran bunga ini tahun lalu mencapai Rp 439,88 triliun. Sebagai perbandingan, anggaran untuk kesehatan pada 2024 ini ”hanya” Rp 97,4 triliun. Tentu saja rasio pembayaran bunga ini melewati batas rekomendasi IMF yang berkisar 7-10 persen.
Selain kedua rasio tersebut, tak luput pula kondisi risiko tingkat bunga, risiko nilai tukar, serta risiko pembiayaan kembali (refinancing), serta risiko kekurangan pembiayaan yang seluruhnya memengaruhi kemampuan pemerintah dalam membayar utang.
Jika kita perhatikan dengan saksama dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2025 yang baru saja disusun, kita akan menyadari bahwa Kementerian Keuangan sebenarnya mengakui seluruh risiko itu kondisinya tidak ada yang membaik di tahun ini.
Dibandingkan dengan rasio utang terhadap PDB, kita perlu lebih memperhatikan rasio utang pemerintah terhadap pendapatan yang lebih genting posisinya saat ini.
Risiko yang memburuk inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terdesak menggunakan sisa anggaran lebih (SAL)—yang sejatinya merupakan sumber darurat dan memerlukan persetujuan DPR untuk penggunaannya—untuk dipakai pada 2025 dibandingkan dengan mengandalkan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) seperti biasa. Dengan kondisi ini, tak heran jika pasar secara alamiah menunjukkan kekhawatiran terhadap wacana pelebaran utang pemerintah.
Nalar kritis
Perlu disadari, batas 60 persen yang tertera di UU Keuangan Negara No 17/ 2003 sebenarnya bukanlah batas aman, tetapi batas pelanggaran. Apabila melewati batas ini, pemerintah secara harfiah telah melakukan tindak pidana. Angka 60 persen itu sendiri, jika dilihat dari latar belakang historisnya, dirumuskan dalam konteks pemulihan pasca-krisis.
Pada 2002, nilai rasio utang masih 65,1 persen (berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku tahun 2000). Barulah pada 2003, setelah Indonesia melakukan banyak reformasi kebijakan ekonomi dan mengikuti rekomendasi IMF—termasuk memberlakukan UU tersebut—rasio utang dapat turun hingga 57,7 persen. Rasio ini terus menurun hingga mencapai level terendah 23 persen pada 2012 sebelum kembali menanjak hingga 38,71 persen seperti sekarang.
Dengan demikian, secara nalar kritis, rasionalisasi amannya rasio utang yang terpaku pada angka 60 persen ini bisa mengaburkan urgensi untuk mengelola utang secara lebih hati-hati dan efisien.
Dengan kondisi ekonomi yang telah banyak berubah sejak 2003, diperlukan pendekatan yang lebih dinamis dan kontekstual dalam menentukan acuan batas. Pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, memang wajar untuk selalu menggunakan narasi optimistis guna meyakinkan pasar bahwa keadaan utang Indonesia masih baik-baik saja.
Namun, akan menjadi masalah jika pengaminan narasi amannya rasio utang ini berdampak pada paradigma yang benar-benar diyakini tanpa keraguan oleh publik dan pemangku kebijakan, apalagi oleh presiden terpilih.
Penting bagi masyarakat, pejabat, dan sektor swasta untuk mengetahui kondisi keuangan negara secara gamblang dan apa adanya, seperti mengutip Sri Mulyani ketika masih menjadi ekonom Universitas Indonesia pada 7 Februari 1998: ”Jika mengetahui posisi keuangan negara, mereka tentu tak akan sewenang- wenang melancarkan pinjaman luar negeri”.
Muhammad Andri Perdana, Peneliti CORE Indonesia