Rasio pajak Indonesia, yang masih sekelas negara miskin, bisa mengganjal ambisi RI bergabung ke OECD.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Isu perpajakan—dengan rasio pajak yang masih sangat jauh dari standar dan potensinya—disebut dalam laporan ”Mengkaji Aksesi Indonesia Menuju OECD dalam Perspektif Masyarakat Sipil” sebagai salah satu dari setumpuk pekerjaan rumah (PR) yang harus dibenahi untuk bisa diterima di OECD, kelompok elite negara maju.
Keprihatinan Infid, Center of Economic and Law Studies, Migrant CARE, The PRAKARSA, Transparency International Indonesia, dan Publish What You Pay Indonesia, yang disampaikan dalam laporan itu, bisa dipahami mengingat rasio pajak adalah salah satu gambaran dari kondisi keuangan negara.
Penerimaan pajak selama ini menyumbang sekitar 80 persen penerimaan negara. Lemahnya rasio pajak akan berpengaruh pada kemandirian serta keleluasaan dalam pembiayaan program pembangunan. Bagaimana bisa menjadi negara maju jika masih banyak bergantung pada bantuan/utang dari negara lain?
PR itu kian berat karena pemerintahan baru yang akan memegang kendali Indonesia, Oktober nanti, menargetkan rasio pajak sebesar 23 persen, yang artinya dua kali lipat dari sekarang. Ini ibarat mission impossible mengingat rata-rata rasio pajak Indonesia dua dekade terakhir hanya di kisaran 10 persen. Sementara itu, dengan koefisien elastisitas pajak sekarang, setiap persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menaikkan penerimaan pajak 1,3 persen.
Sebagai gambaran, rata-rata rasio pajak 36 negara anggota OECD pada 2022 adalah 34 persen. Meski meningkat dari 2021, rasio pajak Indonesia sebesar 12,1 persen pada 2022 juga masih di bawah rata-rata Asia Pasifik, atau kawasan lain, seperti Amerika Latin dan Afrika. Bahkan, Indonesia kalah dibandingkan dengan sesama ASEAN, seperti Timor Leste (19,8 persen), Vietnam (19,9), Filipina (18,4), Thailand (16,7), Kamboja (14,7), Malaysia (12,2).
Upaya membandingkan rasio pajak kita dengan negara lain memang tak sepenuhnya apple to apple karena metode penghitungan pajak kita tak memasukkan komponen pajak daerah dan pajak lainnya. Meski demikian, rasio pajak yang terus turun dan tak sejalan dengan ekonomi yang bertumbuh menggambarkan kinerja buruk pemerintah dalam menghimpun penerimaan pajak.
Berbagai langkah reformasi perpajakan belum sepenuhnya mengatasi kelemahan dalam rezim perpajakan kita, seperti masih tingginya kebocoran atau celah aturan untuk penghindaran pajak. Banyaknya perusahaan multinasional yang masih leluasa mengakali pajak lewat praktik transfer pricing, dengan cara memindahkan profit usahanya ke negara bertarif pajak rendah atau nol, adalah salah satunya.
Sementara itu, upaya menggenjot rasio pajak lewat intensifikasi dan ekstensifikasi menghadapi hambatan, termasuk akibat rendahnya tingkat kepatuhan pajak masyarakat dan masih besarnya porsi sektor informal. Sekitar 60 persen usaha masyarakat belum tercatat sebagai pembayar/wajib pajak.
Berbagai langkah meningkatkan kepatuhan pajak juga tak akan efektif jika akuntabilitas dan kepercayaan pada aparat pajak masih bermasalah. Skandal megakorupsi pajak yang tak pernah surut memicu aksi boikot pajak. Semua itu juga bagian dari PR pembenahan sebelum kita melenggang ke OECD.