Semua anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Negara wajib menjamin dan melindungi hak tersebut, terutama pendidikan bagi anak-anak kaum marjinal.
Dalam pidatonya saat menyerahkan bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) tahun 2024 pada 23 Januari di Blora, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa semua anak Indonesia harus bersekolah, termasuk anak-anak dari keluarga tidak mampu (Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kemendikbudristek, 2024). Diluncurkan sejak 2014, anggaran PIP dan jumlah siswa yang disasar terus meningkat.
Anggaran PIP 2024 meningkat menjadi Rp 13,4 triliun, tahun sebelumnya Rp 9,6 triliun. Jumlah siswa usia 6-21 tahun yang disasar pun meningkat, dari 17,9 juta siswa pada 2023 menjadi 18,6 juta siswa pada 2024. Program ini untuk membantu siswa dari keluarga miskin atau rentan miskin agar terhindar dari putus sekolah.
Baca juga: Anak yang Terpinggirkan Berhak Mendapat Pendidikan dan Kesehatan Layak
Namun, itu hanya sedikit dari total jumlah anak miskin di Indonesia yang mencapai 32,5 juta atau sekitar 11,8 persen dari jumlah penduduk (Badan Pusat Statistik, 2022). Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk kelompok kesejahteraan terendah belum optimal, usia 7-12 tahun sebesar 98,86 persen; 13-15 tahun 93,04 persen; dan 16-18 tahun 64,08 persen (BPS, 2022).
Artinya, masih banyak anak dari kelompok terendah yang putus sekolah. Hingga 22 Juli 2024, sebanyak 1,422 juta anak usia PAUD-SMA/SMK dan 1,386 juta anak lulus tidak melanjutkan sekolah (Kompas.id, 22/7/2024). Ini berpotensi melanggengkan kemiskinan atau memunculkan kemiskinan baru.
Selain tidak melanjutkan sekolah, tak sedikit anak-anak yang juga harus bekerja membantu perekonomian keluarga. Dalam keseharian, terutama di perkotaan, sering kali kita menjumpai anak-anak yang bekerja di jam-jam sekolah. Mereka memulung; mengamen; menjajakan tisu, minuman, atau makanan; dan meminta belas kasihan orang lain.
Umumnya anak-anak itu beserta keluarganya adalah pendatang yang berusaha mengadu nasib di kota (Kompas, 24/7/2024). Bukan hanya sangat miskin, mereka juga termarjinalkan dari bantuan-bantuan yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang dan potensi mereka.
Di era otonomi daerah, pemberian bantuan sosial ataupun bantuan pendidikan yang berbasis domisili menjadikan mereka terpinggirkan. Mereka tidak tercatat sebagai penerima bantuan di tempat asal karena tidak tinggal di sana ataupun di tempat baru karena tidak tercatat sebagai penduduk.
Baca juga: Potret Ironis Pendidikan Kaum Marjinal di Balik Kemegahan Jakarta
Berkutat pada sekat-sekat itu tak akan menyelesaikan masalah. Anak-anak itu akan tetap termarjinalkan. Menyediakan pendidikan yang layak bagi mereka juga tidak bisa sekadar memberikan bantuan pendidikan karena sering kali permasalahannya lebih dari itu. Mereka diandalkan untuk membantu menopang perekonomian keluarga. Tak jarang orangtua mereka juga kurang mempunyai kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi masa depan anak-anak mereka.
Perlu ada program yang holistik dan membuka sekat-sekat tersebut. Jika bangsa ini ingin maju, jalan utama yang harus ditempuh adalah dengan menempatkan pendidikan yang layak bagi anak-anak kaum marjinal ini sebagai program prioritas. Bagaimanapun, mereka adalah anak-anak bangsa yang akan turut menentukan masa depan bangsa ini, tidak boleh ada satu pun yang tertinggal.