Melampaui Deindustrialisasi Prematur Melalui ”Self-Discovery”
Melalui ”self-discovery”, negara berkembang dapat mengidentifikasi ”niche” keunggulan komparatifnya.
Pada pandangan pertama, tulisan Chatib Basri di harian Kompas (Rabu, 8/5/2024) berjudul ”Pertumbuhan Ekonomi di Tengah Deindustrialisasi Prematur” tampak menarik dan meyakinkan. Namun, setelah dianalisis lebih mendalam, terdapat beberapa kelemahan penting.
Deindustrialisasi prematur mengacu kepada penurunan peran sektor manufaktur dalam produk domestik bruto (PDB) negara-negara berkembang sebelum mencapai ”potensi penuh”. Sepuluh tahun lalu, penulis juga telah mengekspresikan kekhawatiran serupa dalam tulisan ”Pertumbuhan Tanpa Pembangunan”, yang juga mengutip Dani Rodrik, di harian Kompas pada 12 Februari 2014.
Namun, menghadapi berbagai disrupsi saat ini, analisis tradisional tersebut menunjukkan kelemahan mendasar, serupa dengan menggunakan peta lama untuk menavigasi rute baru.
Salah satu kelemahan utama analisis Rodrik terletak pada asumsinya bahwa semua negara berkembang harus mengikuti lintasan industri, sama seperti negara maju pada masa lalu. Padahal, tidak semua negara berkembang harus menjadi ”negara industri penuh” dalam situasi yang sangat disruptif ini.
Baca juga: Perjalanan Panjang Menuju Negara Berpendapatan Tinggi
Oleh karena itu, kurang pas apabila disebut ”prematur” karena trajektorinya bisa jadi berbeda dan mengabaikan dinamika global yang drastis berubah dan konteks unik setiap negara. Artinya, model pengembangan ekonomi harus lebih fleksibel dan adaptif terhadap kondisi spesifik setiap negara.
Dalam konteks ini, pemikiran Alvin Toffler tentang Third Wave, meskipun jauh lebih dahulu, agaknya lebih relevan. Toffler berpendapat bahwa dunia telah memasuki gelombang ketiga peradaban, yang didominasi ekonomi berbasis pengetahuan dan teknologi informasi, berbeda dari gelombang pertama yang didominasi oleh sektor agraris dan gelombang kedua yang didominasi oleh sektor industri.
Gelombang ketiga tidak memerlukan transisi tradisional melalui industrialisasi berat seperti yang dialami selama Second Wave. Dalam pandangan Toffler, negara berkembang memiliki peluang melompati tahapan industrialisasi berat dan langsung masuk ke ekonomi berbasis pengetahuan dan teknologi.
Keberhasilan ekonomi digital dan inovasi
Ada beberapa contoh negara yang menunjukkan model ekonomi berbasis pengetahuan bisa berhasil. India, misalnya, telah memosisikan diri sebagai pemimpin global dalam sektor teknologi informasi (TI) dan alih daya (outsourcing) layanan.
Pada 2022, sektor TI India menyumbang 7,4 persen dari PDB dan mempekerjakan lebih dari 4 juta orang. Tanpa mengikuti jalur industrialisasi berat tradisional, India langsung melangkah ke ekonomi berbasis pengetahuan dengan memanfaatkan keahlian perangkat lunak dan layanan TI, menciptakan lapangan kerja dalam skala besar, dan meningkatkan ekspor hingga mencapai 194 miliar dollar AS.
China juga telah memanfaatkan inovasi digital untuk mengubah ekonomi perdesaan. Desa Taobao adalah contoh bagaimana teknologi dan e-commerce digunakan untuk memberdayakan komunitas perdesaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif. Tahun 2019, sekitar 250 juta orang dari total 564 juta penduduk perdesaan di China mendapat manfaat dari kegiatan ekonomi Desa Taobao.
Tanpa mengandalkan industrialisasi skala besar, Indonesia berhasil memanfaatkan potensi besar ekonomi digital.
Inisiatif ini menciptakan 6,8 juta pekerjaan dalam rantai nilai e-commerce, mencakup pekerjaan langsung dengan pengoperasian toko daring (online)hingga peran tambahan, seperti logistik, pengemasan, dan fotografi produk. Ini menunjukkan bagaimana inovasi digital memberikan peluang ekonomi baru bagi masyarakat yang sebelumnya terpinggirkan.
Indonesia juga menjadi pasar yang sangat aktif dalam ekonomi digital dan terbesar di Asia Tenggara. Pada 2021, ekonomi digital Indonesia mencapai nilai 70 miliar dollar AS dan diperkirakan tumbuh menjadi 146 miliar dollar AS pada 2025. Perusahaan rintisan seperti Gojek dan Tokopedia telah merevolusi sektor transportasi dan e-commerce.
Tanpa mengandalkan industrialisasi skala besar, Indonesia berhasil memanfaatkan potensi besar ekonomi digital. Gojek, misalnya, kini telah berkembang menjadi super-app yang tidak hanya menyediakan layanan transportasi, tetapi juga pembayaran digital dan layanan rumah tangga, menciptakan lebih dari 2 juta pekerjaan. Tidak ada satu pun perusahaan terbesar Indonesia yang umurnya puluhan tahun dapat menciptakan peluang kerja sedemikian banyak.
Bisakah menggantungkan sektor jasa?
Chatib Basri juga merujuk Dani Rodrik yang menyoroti pergeseran ke sektor jasa sebagai peluang untuk pertumbuhan ekonomi. Sektor jasa memang menawarkan peluang signifikan karena kemampuannya menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan menyediakan berbagai jenis pekerjaan yang tidak selalu memerlukan keterampilan tinggi.
Sektor jasa juga cenderung fleksibel menghadapi perubahan permintaan konsumen dan dapat berkembang cepat, seiring perkembangan teknologi dan inovasi layanan. Oleh karena itu, banyak negara berkembang mulai beralih ke sektor jasa untuk mengimbangi penurunan sektor manufaktur.
Akan tetapi, sektor jasa juga menghadapi tantangan. Otomasi dan pekerja alih daya mengancam banyak pekerjaan di sektor jasa yang sebelumnya dianggap aman. Kemajuan teknologi, seperti kecerdasan buatan dan robotika, membuat pekerjaan bidang layanan pelanggan, akuntansi, dan bahkan beberapa layanan kesehatan digantikan teknologi otomatisasi. Hal itu membuat sektor jasa yang tampak aman kini juga rentan terhadap perubahan teknologi dan inovasi.
Baca juga: Kecerdasan Artifisial, Kawan atau Lawan?
Selain itu, banyak pekerjaan di sektor jasa yang memiliki produktivitas dan upah rendah. Ketergantungan berlebihan pada pekerjaan semacam itu dapat menyebabkan stagnasi ekonomi dan kesenjangan pendapatan melebar.
Penting bagi negara berkembang untuk tidak hanya fokus ekspansi sektor jasa, tetapi juga memastikan upaya signifikan meningkatkan keterampilan tenaga kerja, inovasi, dan meningkatkan produktivitas. Dengan demikian, sektor jasa dapat memberikan kontribusi lebih substansial terhadap pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan inklusif.
”Self-discovery” dalam pembangunan ekonomi
Salah satu aspek penting yang justru diabaikan Chatib Basri dalam pemikiran Rodrik adalah konsep self-discovery. Konsep ini, yang diperkaya oleh ide-ide Joseph Stiglitz dan Kenneth Arrow dalam ”Creating a Learning Society”, menekankan bahwa proses belajar dan inovasi adalah kunci menemukan sektor-sektor baru dan peluang yang belum teridentifikasi. Hampir tidak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi di masa depan sehingga pembelajaran menjadi sangat penting dalam beradaptasi dengan perubahan besar.
Pembelajaran bukan hanya proses individual, melainkan juga sosial, dan seluruh masyarakat dapat terlibat dalam penciptaan serta penyebaran pengetahuan ataupun inovasi. Melalui proses self-discovery, negara berkembang dapat mengidentifikasi niche keunggulan komparatif atau potensi inovasi yang penting mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Beberapa negara telah menunjukkan keunikan dalam strategi self-discovery. Taiwan fokus pada industri semikonduktor dan penguatan UMKM sehingga menjadikannya pusat global manufaktur teknologi tinggi. Jepang unggul dalam robotika dan manufaktur presisi sehingga memimpin inovasi dalam sektor otomotif dan elektronik.
Pembelajaran bukan hanya proses individual, melainkan juga sosial, dan seluruh masyarakat dapat terlibat dalam penciptaan serta penyebaran pengetahuan ataupun inovasi.
Korea Selatan mengembangkan industri teknologi dan hiburan, dengan perusahaan-perusahaan seperti Samsung dan K-pop yang mendunia. Singapura memiliki keunggulan dalam logistik, layanan keuangan, dan kebijakan ramah bisnis. Vietnam menjadi hub manufaktur berbiaya rendah dengan peningkatan di sektor tekstil dan elektronik serta kebijakan pro-investasi yang menarik perusahaan multinasional.
Baca juga: Diversifikasi Ekonomi Arab Saudi Sasar Indonesia Jadi Konsumen
Dalam hal ini, strategi diversifikasi ekonomi yang lebih terarah perlu diterapkan. Investasi besar-besaran infrastruktur fisik dan digital juga penting untuk mendukung diversifikasi ekonomi dan inovasi. Infrastruktur modern, seperti jaringan transportasi yang efisien, logistik andal, dan teknologi informasi canggih, termasuk broadband dan pusat data, adalah fundamental untuk sebuah ekonomi yang ingin bersaing di panggung global.
Penting juga dicatat bahwa fokus pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup. Pembangunan inklusif dan berkelanjutan harus menjadi bagian strategi jangka panjang. Ini berarti mengakui peran penting teknologi dan inovasi tidak hanya sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sebagai alat pengembangan sosial.
Dengan mengintegrasikan pendekatan konteks lokal dan global, negara berkembang dapat memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi mereka tidak hanya cepat, tetapi berkelanjutan dan menguntungkan bagi semua lapisan masyarakat. Dalam mewujudkan visi ini, kebijakan yang inovatif dan adaptif adalah kunci sehingga memungkinkan negara-negara berkembang tidak hanya mengikuti, tetapi juga menentukan aturan permainan ekonomi global di masa depan.
Setyo Budiantoro, Nexus Strategist Perkumpulan Prakarsa dan pengajar Program Pascasarjana Universitas Udayana