Resesi Selektif AS dan Nilai Tukar
Perlu keberhati-hatian dalam penanganan impor karena berkaitan dengan rantai produksi dalam negeri.
Angka inflasi AS untuk Juni 2024 menurun dari 3,1 persen pada Mei ke 3 persen, yang terbantu oleh deflasi untuk makanan, barang-barang elektronik, dan perjalanan. Ini memperkuat ekspektasi di pasar obligasi dan saham bahwa bank sentral AS (The Fed) akan menurunkan suku bunganya pada September atau bahkan lebih awal.
Penyebabnya adalah beberapa pernyataan dari The Fed yang lebih menginginkan pendaratan mulus (soft landing) bagi perekonomian AS daripada hard landing.
Berbagai kemungkinan dapat terjadi karena pada triwulan I-2024, setelah mengalami koreksi ke bawah tiga kali, pertumbuhan AS tercatat 1,4 persen.
Hal yang dimaksudkan dengan soft landing di sini adalah inflasi turun dibarengi perlambatan pertumbuhan PDB AS, di bawah 1 persen atau bahkan mendekati nol. Namun, inflasi tidak sampai memasuki zona kontraksi atau pertumbuhan negatif.
Berbagai kemungkinan dapat terjadi karena pada triwulan I-2024, setelah mengalami koreksi ke bawah tiga kali, pertumbuhan AS tercatat 1,4 persen. Ini angka terendah sejak pertengahan 2022 ketika pertumbuhannya negatif.
Per definisi resesi AS terjadi jika dua triwulan berturut-turut pertumbuhan PDB mengalami kontraksi. Namun, ada istilah baru ”resesi selektif” yang terjadi pada kelas menengah bawah AS.
Survei dari JP Morgan menemukan 70 persen dari kelompok ini merasakan kesulitan mencukupi kebutuhan pokok (Sor, Business Insider, Juni 2024). Sekitar 67 persen dari sampel mengatakan perekonomian AS sudah mengalami resesi.
Pertumbuhan konsumsi masyarakat turun ke 1,5 persen pada triwulan I-2024 dari 3,3 persen pada triwulan sebelumnya, terutama karena pertumbuhan konsumsi barang yang minus 2,3 persen.
Data makro yang lain juga mengonfirmasi pesimisme ini. Tingkat pengangguran pada Juni sudah mencapai 4,1 persen, melebihi angka ”normal” 4 persen. Ini yang tertinggi sejak November 2021. Situasi ini menambah tekanan kepada The Fed untuk segera menurunkan suku bunga.
Dollar AS dan rupiah
Perkembangan terbaru ini berdampak langsung pada pelemahan indeks dollar AS. Penyebabnya adalah pemodal portepel global mulai mendiversifikasikan penempatan asetnya, tak lagi menganggap dollar AS sebagai satu-satunya instrumen investasi yang dianggap safe heaven.
Indeks dollar AS melemah signifikan dari 106 pada 26 Juni ke 103,8 pada 19 Juli atau sekitar 2,1 persen. Nilai tukar berbagai mata uang dunia, seperti yen dan won, mengalami imbas yang positif setelah mengalami pelemahan signifikan pada Juni lalu.
Sampai 19 Juli, yen menguat 2,6 persen dari 161,57 pada 10 Juli ke sekitar 157,4. Won menguat dari 1.391 pada 27 Juni ke 1.380 atau 0,8 persen. Sementara rupiah menguat dari 16.499 pada 20 Juni ke sekitar 16.177 atau 2 persen. Mengikuti tren ini, Bank Indonesia (BI) pada 17 Juli memutuskan untuk menahan suku bunga acuan pada 6,25 persen.
Bagi rupiah, ini mencegah terjadinya runaway depreciation karena ekspektasi pelemahan yang tak terkendali. Rupiah bertahan dan berfluktuasi di kisaran Rp 16.500 per dollar AS dari tanggal 16 ke 20 Juni 2024 untuk kemudian menguat.
Surplus neraca perdagangan bulan Juni sebesar 2,39 miliar dollar AS memang menambahkan ekspektasi positif terhadap kurs rupiah, tetapi yang turut membuatnya bergerak menguat adalah arus modal portepel masuk.
Pada awal Juni tercatat oleh BI modal masuk sebesar Rp 2,42 triliun, disusul minggu kedua Juni sebesar Rp 8,91 triliun dan minggu terakhir Juni sebesar Rp 19,69 triliun. Tren ini berlanjut ke minggu pertama dan kedua Juli dengan modal portepel masuk masing-masing sebesar Rp 8,34 triliun dan Rp 5,59 triliun.
Dampak dalam negeri
Gejolak kurs rupiah membawa dampak terutama pada besaran yang mengandung ekspektasi ke depan, seperti inflasi, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), dan Indeks Pembelian Manajer Pengadaan (PMI) sektor manufaktur. Inflasi cenderung terkendali dibantu dengan tren penguatan rupiah.
Inflasi tahunan pada Juni tercatat 2,51 persen, turun dari 2,84 persen pada Mei. Sumber inflasinya adalah sektor makanan-minuman dengan kontribusi 55,8 persen dari inflasi keseluruhan, diikuti transportasi (8 persen) dan perlengkapan rumah tangga (3,2 persen).
Terkendalinya inflasi membuat IKK Juni tetap di zona optimistis di angka 123,3. Namun, depresiasi rupiah tetap membuat masyarakat lebih konservatif, terlihat dari penurunan IKK dari 125,2 pada bulan lalu. Ini didukung oleh turunnya indeks pembelian barang tahan lama untuk semua kelompok pengeluaran, kecuali kelompok Rp 3,1 juta-Rp 4 juta dan Rp 4,1 juta-Rp 5 juta per bulan.
Sementara untuk kelompok pengeluaran di atas Rp 5 juta per bulan indeksnya turun dari 115,7 ke 112,6. Konsekuensinya, proporsi pendapatan yang digunakan untuk cicilan turun dari 10,3 ke 9,6 persen.
Sisi cerahnya, proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi (average propensity to consume) naik dari 73 ke 73,9 persen, yang berarti daya ungkit perekonomian tetap bertahan, bahkan meningkat.
Dampak terbesar dari depresiasi rupiah adalah pada sisi produksi dalam negeri di mana PMI sektor manufaktur turun signifikan dari 52,1 pada Mei ke 50,7 pada Juni.
Memang masih di zona ekspansi, tetapi dari segi pertumbuhan produksi adalah yang terlemah dalam 13 bulan terakhir.
Memang masih di zona ekspansi, tetapi dari segi pertumbuhan produksi adalah yang terlemah dalam 13 bulan terakhir. Importasi bahan baku dan barang modal masih cukup tinggi di Indonesia, masing-masing sebesar 73,3 persen dan 16,7 persen dari total impor nonmigas untuk periode Januari-Juni 2024.
Efek dari depresiasi rupiah akan dirasakan terlebih dahulu di sisi produksi dalam negeri sebelum ditransmisikan ke sektor-sektor yang lain. Pertumbuhan ekonomi ke depan sektor manufaktur mungkin akan terdampak.
Implikasi kebijakan
Pelajaran yang dapat diperoleh dari sini adalah perlunya keberhati-hatian dalam penanganan impor karena berkaitan dengan rantai produksi dalam negeri. Ekspor dan impor tidak hanya sekadar plus dan minus dalam neraca dagang.
Namun, ada elemen yang produktif, yaitu bahan baku, barang modal yang diperlukan untuk produksi, baik untuk dalam negeri maupun ekspor. Ilustrasinya terjadi pada Juni yang, walaupun neraca dagang surplus, ekspor dan impor sama-sama mengalami penurunan masing-masing sebesar 6,65 persen dan 4,89 persen secara tahunan dibandingkan pada Mei.
Perlu keberhati-hatian dalam penanganan impor karena berkaitan dengan rantai produksi dalam negeri.
Sektor manufaktur yang berorientasi ekspor, entitas skala besar dengan pekerja lebih dari 500 orang mempunyai rerata rasio importasi 34,5 persen dari total nilai bahan baku dan penolong. Sementara untuk entitas skala menengah rasionya adalah 18,5 persen (Kuncoro, 2024, dalam Resosudarmo dan Mansuri, 2024).
Implikasinya kegiatan ekspor tak terlepas dari impor, terutama bahan baku tertentu. Dengan demikian, kisaran kebijakannya sangat luas, mulai dari kebijakan moneter yang memengaruhi nilai tukar sampai kebijakan perdagangan yang berpotensi menghambat impor bahan baku produktif yang belum dapat dihasilkan di dalam negeri.