Kembali ke Khitah Undang-Undang Pers
Undang-Undang Pers memberikan perlindungan hukum kepada pers nasional, bukan kepada media dan wartawan abal-abal.
Dalam forum penyegaran ahli pers Dewan Pers di Bogor beberapa waktu lalu, fenomena maraknya media dan wartawan abal-abal kembali menjadi topik yang banyak didiskusikan. Pertanyaan yang kembali mengemuka terkait persoalan kronis ini adalah apa langkah sistemik yang perlu dilakukan untuk mengatasi maraknya pers abal-abal?
Istilah pers abal-abal pertama kali diperkenalkan Wakil Ketua Dewan Pers periode 2001-2004 Sabam Leo Batubara, sebagai atribusi bagi media dan individu yang mengaku-aku serta menuntut diperlakukan sebagai media pers dan wartawan, sementara produk ataupun perilaku mereka tidak memenuhi standar kualitas dan etika jurnalistik.
Di masa Orde Baru, tidak ada media abal-abal. Sistem pers di era Orde Baru mewajibkan perusahaan pers untuk memiliki dan mencantumkan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) dalam penerbitannya. Media pers yang tidak memenuhi syarat formil ini dianggap tidak sah dan pengelolanya dipidana.
Baca juga: Masih Soal Kebebasan Pers
Fenomena wartawan abal-abal atau yang sering disebut sebagai wartawan ”bodrex” atau WTS (wartawan tanpa surat kabar) itu ada. Namun, mereka cenderung beroperasi tidak terlalu mencolok. Pada waktu itu pemerintah hanya mengakui Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai satu-satunya organisasi wartawan sehingga setiap wartawan seperti ”wajib” menjadi anggota dan mengantongi kartu anggota PWI.
SIUPP adalah rezim lisensi yang kewenangan penerbitan dan pembatalannya berada di tangan pemerintah. Ini memungkinkan pemerintah mengontrol isi ataupun jumlah perusahaan pers. Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 menghapuskan rezim lisensi. Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, tanpa perlu izin dari pihak mana pun.
Undang-Undang Pers juga memberikan kebebasan kepada wartawan untuk memilih organisasi wartawan. Jumlah media dan wartawan pun meledak. Merlyna Lim dalam Democratization & Corporatization of Media in Indonesia mencatat, hingga 1997 di Indonesia terdapat 289 media cetak. Pada 2001, jumlah tersebut sudah membengkak menjadi 1.881 penerbitan.
Sebagaimana sering disampaikan Leo Batubara, sebagian besar media yang muncul adalah media abal-abal yang digunakan untuk memeras, mengintimidasi, dan melakukan pembunuhan karakter. Apakah dengan demikian berarti UU Pers menjadi akar penyebab maraknya pers abal-abal sehingga perlu direvisi? Tidak!
Determinasi pers
Berbeda dengan UU Pers yang berlaku dalam UU No 21/1982 (tentang Perubahan atas UU No 11/1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No 4/1967), di UU Pers No 40/1999 determinasi pers tidak lagi bertumpu pada aspek formil, tetapi lebih pada aspek materiil, yakni menyelenggarakan kegiatan jurnalistik sesuai dengan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranan pers. Ketentuan tersebut terangkum dalam Pasal 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 UU Pers No 40/1999.
Adapun determinasi wartawan adalah secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik serta memiliki dan mematuhi Kode Etik Jurnalistik (Pasal 1 dan 7). Substansi aspek-aspek materiil tersebut selaras dengan hampir semua elemen jurnalisme yang dirangkum Bil Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme.
Aspek materiil lebih sulit dan subyektif untuk dinilai dibandingkan dengan aspek formil. Pasal 15 Ayat (2) UU Pers No 40/1999 antara lain mengatur fungsi Dewan Pers adalah mendata perusahaan pers serta memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Di UU Pers No 40/1999, determinasi pers tidak lagi bertumpu pada aspek formil, tetapi lebih pada aspek materiil.
Dalam rangka pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut, Dewan Pers memiliki kewenangan untuk menjustifikasi perusahaan pers dan bukan pers, kasus pers dan bukan kasus pers. UU Pers No 40/1999 juga memberikan amanah kepada Dewan Pers untuk menjalankan fungsi menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik.
Dalam pelaksanaan fungsi tersebut, Dewan Pers menentukan mana kasus pemberitaan yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran etik dan mana yang bukan. Mana kasus yang termasuk ranah etik dan mana yang bukan.
Dewan Pers dalam UU Pers No 40/1999 adalah Dewan Pers yang independen. Anggota Dewan Pers dari unsur wartawan dan pimpinan perusahaan, dipilih dari dan oleh organisasi pers. Anggota dari unsur masyarakat juga dipilih organisasi pers. Tidak ada cawe-cawe dari pemerintah.
Swa regulasi pers
Pasal 15 Ayat (2) huruf f UU Pers No 40/1999 secara eksplisit memberikan amanah kepada Dewan Pers untuk memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Ketentuan ini merupakan landasan swaregulasi pers (pres self regulation).
Dalam pelaksanaannya, peraturan yang dibuat oleh organisasi-organisasi pers dengan difasilitasi Dewan Pers tersebut kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Dewan Pers oleh rapat pleno Dewan Pers. Ketentuan dan pelaksanaan swaregulasi ini sempat dimohonkan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon menilai ketentuan dan praktik tersebut bertentangan dengan Pasal 28, 28C Ayat (2), 28D Ayat (1) dan 28I Ayat (2). Namun, melalui Putusan Nomor 38/PUU-XIX/2021, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
Dibandingkan dengan regulasi melalui undang-undang ataupun peraturan pemerintah, swaregulasi memungkinkan proses pembuatan peraturan (legislasi), penegakan peraturan (enforcement), dan ajudikasi jadi lebih murah dan efisien, lebih fleksibel karena memungkinkan untuk diganti atau dimodifikasi dengan cepat, serta memberikan insentif lebih besar untuk dipatuhi oleh para pelaku.
Baca juga: Hak Penerbit dan Jurnalisme Berkualitas
Hingga kini Dewan Pers telah menetapkan sedikitnya 26 Peraturan Dewan Pers. Di antaranya, Standar Perusahaan Pers, Kode Etik Jurnalistik, Standar Kompetensi Wartawan, dan Pedoman Perlindungan Profesi Wartawan.
Keempat peraturan tersebut mempertegas perbedaan antara media dan wartawan profesional dengan abal-abal karena hanya media pers dan wartawan profesional yang bisa memenuhi peraturan-peraturan tersebut. Peraturan-peraturan tersebut, secara khusus diratifikasi oleh 18 pemilik dan pemimpin grup media arus utama, LKBN Antara, dan LPP TVRI pada 9 Februari 2010 dalam Piagam Palembang 2010.
Pengakuan pers dan bukan pers, wartawan dan bukan wartawan, akan sangat berpengaruh manakala terjadi kasus sengketa terkait konten media, penghalang-halangan atau kekerasan terhadap wartawan. Kasus terkait pemberitaan pers ditangani sesuai UU Pers melalui mekanisme hak jawab, hak koreksi, atau pengaduan ke Dewan Pers. Penyelesaian kasus pers dengan hukum pidana tanpa melalui mekanisme tersebut merupakan kriminalisasi pers yang mengancam kemerdekaan pers.
Di sisi lain, Dewan Pers tidak perlu menangani kasus pemberitaan ataupun mendata perusahaan pers yang tidak mememenuhi aspek meateriil pers, sekalipun mereka berbadan hukum pers. Sebagaimana terkandung dalam konsideran dan penjelasan UU Pers No 40/1999, jaminan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari mana pun, diberikan agar pers nasional dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, bukan untuk melindungi yang abal-abal.
Imam Wahyudi, Mantan Anggota Dewan Pers; Mahasiswa S-3 Universitas Padjadjaran