Kekuasaan sebagai Ujian
Korupsi dan tindakan asusila tentu hanyalah secuil contoh dari sekian banyak bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Usianya masih muda ketika menduduki jabatan sebagai guru besar, tetapi kemudian dilepaskannya. Setelah mundur dari jabatan akademik puncak di suatu universitas, lalu memilih mengasingkan diri, bahkan melarang dirinya menginjakkan kaki ke istana.
Di pengasingan, buku bertajuk Batangan Logam Mulia Nasihat untuk Para Raja (Al-Tibbr Al-Masbuk fi Nasihat al-Mulk) berhasil diselesaikan.
Imam al-Ghazali memutuskan menarik diri dari jabatan sebagai guru besar di Universitas Nuzhamiyah, Baghdad, itu dan menjauh dari kekuasaan sebagai bentuk protes dan perlawanan terhadap penguasa yang dinilainya sudah sedemikian jauh menyalahgunakan kekuasaannya.
Kegalauan Imam al-Ghazali (1058-1111 M), yang juga dikenal sebagai penulis Ihya Ulumuddin, itu juga mungkin dirasakan oleh sebagian dari kita manakala menyaksikan praktik kekuasaan yang terjadi di sini dalam beberapa tahun terakhir.
Baca juga : Kebesaran Guru Besar
Praktik kekuasaan yang dimaksud adalah bagaimana suatu kewenangan (authority) yang melekat pada jabatan digunakan dengan penuh tanggung jawab atau sebaliknya.
Kita mungkin sulit menyebut jumlah kasus dan nama pelakunya dari kalangan pejabat publik yang menunjukkan perilaku paradoks dengan keadaban publik karena saking banyak dan tersiar hampir tiap hari. Kasus yang bertubi-tubi menjerat pejabat publik belakangan ini memberikan penyadaran bahwa kekuasaan memiliki potensi merusak (corruptible).
Banyaknya pejabat publik yang terseret kasus pidana dan asusila mengundang pertanyaan, seperti diungkap Brian Klaas dalam Corruptible: Who Gets Power and How Change Us (2021), apakah karena sistem atau orangnya yang jelek (bad systems or bad people)?
Kekuasaan adalah perwujudan watak alamiah atau fitrah manusia. Pada diri manusia terdapat naluri dan hasrat terhadap kekuasaan. Pemegang kekuasaan memiliki otoritas mengatur berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu, dan karena posisinya ini, kepadanya diberikan privilese, fasilitas, dan insentif.
Ilustrasi
Seiring dengan perkembangan tingkat berpikir dan peradaban manusia, akses terhadap kekuasaan diatur lebih terbuka, atau lebih demokratis, kendati di beberapa tempat masih disandarkan pada apa yang disebut Max Weber dengan legitimasi tradisional dan karismatis yang cenderung mengesahkan praktik kekuasaan secara turun-temurun atau dinasti.
Indonesia sebenarnya telah berada di jalur yang menjanjikan karena semenjak berakhirnya Orde Baru, akses publik kepada kekuasaan yang terbagi berdasarkan doktrin Trias Politica: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, kian terbuka.
Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, baik dalam bentuk tindak pidana maupun asusila, pasca-Orde Baru atau di era Reformasi bermunculan kelembagaan baru dengan otoritas yang kuat.
Termasuk di dalamnya otoritas untuk melakukan pengawasan, pencegahan, bahkan penangkapan melalui operasi rahasia (silent operation) atau yang dikenal operasi tangkap tangan terhadap pihak yang disangka secara kuat menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power), seperti beberapa kali dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tindak pidana korupsi mencerminkan kualitas pribadi pejabat publik.
Toh, penyalahgunaan kekuasaan berupa tindak korupsi bukan malah kian menurun, apalagi tertekan hingga ke level zero corruption, justru tidak sedikit pejabat publik yang mempertontonkan cara korupsi yang norak.
Pejabat publik yang dimaksud di sini adalah baik yang menduduki jabatan melalui penunjukan politik (political appointees) maupun yang merintis sebagai pegawai di lembaga pemerintahan yang karena mempunyai kompetensi teknokratik kemudian diangkat dalam posisi tertentu yang strategis.
Pejabat publik yang melakukan tindak pidana korupsi, justru di era Reformasi dan revolusi mental, disebut oleh Dennis F Thompson dalam Political Ethics and Public Office (1987)—dengan mengutip Jean-Paul Sartre—sebagai tangan-tangan kotor (dirty hands) demokratik.
Dipicu keserakahan
Kembali kepada pertanyaan Brian Klaas, Dennis F Thompson menjawabnya dengan menggunakan distingsi dalam hukum Perancis bahwa korupsi sebagai sebuah kejahatan bisa disebabkan oleh faute personnelle, yang karenanya individu dipersalahkan, dan faute de service, yang karenanya sistem dan organisasi juga dapat dipersalahkan.
Ilustrasi
Tindak pidana korupsi mencerminkan kualitas pribadi pejabat publik. Korupsi yang dilakukan menteri, gubernur, bupati, atau pejabat pada eselon tinggi bisa dipastikan bukan karena keterpaksaan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang biasa disebut dengan corruption by need.
Dapat dipastikan dorongan utamanya adalah keserakahan (curruption by greed) pada seseorang yang disebut Syed Hussein Alatas dalam Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi (1987) dengan homo venalis, yang bertolak belakang dengan homo moralis, di samping kondisi lembaga dan sistem di dalamnya memberi peluang (corruption by chance).
Dalam suatu institusi, selalu ada orang yang bermetamorfosis menjadi homo venalis, yang menjadikan dirinya pihak yang karena begitu kuat posisinya memiliki peluang melakukan korupsi, bahkan yang tergolong memeras (extortive corruption), misalnya kepada bawahan atau kepada orang yang sedang merasa terancam karena memiliki kasus besar.
Kalau jenis korupsi seperti itu bisa dilakukan, tentu mudah melakukan korupsi jenis lainnya, misalnya: (1) korupsi transaktif (transactive corruption) yang dilakukan antara dirinya dan pihak pemberi dengan maksud berbagi keuntungan.
Justru pada aspek paling fundamental pada kehidupan berbangsa dan bernegara inilah terdapat masalah yang tidak berkesudahan.
Selain itu; (2) korupsi investif (investive corruption) atau tanam budi yang telanjur dipandang sebagai praktik biasa, padahal menurut kajian klasik sosiolog Perancis, Marcel Mauss, dalam The Gift: The Form and Functions of Change in Archaic Societies (1954), tidak ada pemberian yang cuma-cuma, tetapi pasti disertai dengan harapan adanya imbalan kendati dalam wujud yang lain; dan (3) korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) atau nepotisme.
Korupsi dan tindakan asusila tentu hanyalah secuil contoh dari sekian banyak bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Perlu juga diwaspadai efek adiktif dari kekuasaan.
Entah karena dorongan menjaga keberlanjutan program, suatu alasan yang terkesan rasional dan mulia, atau atas pertimbangan privilese dan berbagai fasilitas yang telah dinikmatinya, kekuasaan yang telah digenggam ingin dipertahankan bahkan dengan menggunakan cara yang terkesan demokratis kendati menimbulkan efek kehancuran pada demokrasi sebagaimana diungkap Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018).
Perebutan dan upaya mempertahankan kekuasaan menurut dua profesor Harvard ini adalah dengan membentuk persekutuan penentu nasib atau takdir (fateful alliances) atau persekongkolan jahat (an unholy alliance).
Bahkan, dengan memanfaatkan lembaga-lembaga demokrasi agar bisa mengubah ketentuan konstitusi yang memberi jaminan keberlanjutan kekuasaan entah untuk dirinya atau memberi jalan bagi keluarga dan kroninya.
Karena itu, benar yang dikatakan Presiden ke-16 Amerika Serikat Abraham Lincoln, ”If you want to test a man’s character, give him power.”
Maka, jangan heran jika, misalnya, ada orang yang dikesankan bersahaja dalam banyak aspek oleh publik, tetapi setelah berada dalam pusat dan lingkaran kekuasaan, terjadi perubahan yang membuat publik terheran-heran.
Perspektif moral
Dalam perspektif moral keagamaan, terdapat peringatan bahwa kekuasaan merupakan ujian. Islam bahkan memberi atribusi kata fitnah pada kekuasaan dengan maksud supaya orang yang mendapatkan amanah kekuasaan lebih berhati-hati. Dengan begitu, bisa ditegaskan bahwa kekuasaan merupakan fitnah atau ujian.
Disebut dalam berbagai surat dalam Al Quran hingga lebih dari 50 kali, kata fitnah tidak hanya berarti perkataan bohong atau tuduhan yang disebarkan untuk menjelekkan orang lain sebagaimana termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tetapi memiliki banyak pengertian, di antaranya godaan dan ujian.
Sebagaimana ungkapan bijak Abraham Lincoln, banyak orang yang memperoleh kekuasaan tidak bisa menahan godaan untuk menyalahgunakannya seperti melakukan korupsi dan tindakan asusila, bahkan dilakukan oleh orang yang pintar agama. Perilaku seperti ini disebut dalam Al Quran, Surat Al-Fathir Ayat Ke-32, sebagai orang yang menzalimi dirinya. Lebih menyedihkan, dirinya terjatuh pada suatu ”tempat yang serendah-rendahnya” (QS At-Tin: 5) karena perilakunya ”seperti binatang bahkan lebih sesat lagi” (QS Al-A’raf: 179).
Mereka yang mampu merengkuh jabatan hingga ke level yang diidamkan tentu memiliki jejak dan pengalaman pendidikan hingga ke level tinggi pula.
Islam bahkan memberi atribusi kata fitnah pada kekuasaan dengan maksud supaya orang yang mendapatkan amanah kekuasaan lebih berhati-hati.
Namun, sebagaimana kegelisahan Mohammad Hatta yang dituangkan dalam tulisannya, ”Tentang Karakter Bangsa”, yang terdapat pada bagian akhir buku Agama, Dasar Negara dan Karakter Bangsa, banyak pemimpin yang memiliki pendidikan tinggi, tetapi berkarakter buruk. Justru pada aspek paling fundamental pada kehidupan berbangsa dan bernegara inilah terdapat masalah yang tidak berkesudahan.
Syamsul Arifin, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang