Ada sedikit kelegaan, sekaligus kegelisahan, mengiringi mundurnya Biden dari pencalonan presiden AS.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Mundurnya Joe Biden dari pencalonan presiden AS dari Partai Demokrat menghadirkan ketidakpastian baru. Kamala Harris memikul beban melawan Donald Trump.
Panggung politik di Amerika Serikat, setidaknya hampir sebulan terakhir ini, menyajikan drama dengan cerita-cerita tak terduga, dibumbui kejadian menegangkan, serta memperlihatkan alur cerita yang mengejutkan. Diawali drama adu debat di televisi antara Biden dan rivalnya dari Partai Republik, Trump (27 Juni), lalu insiden penembakan Trump (13 Juli), dan terakhir, mundurnya Biden dari bursa capres (21 Juli).
Titik balik dari rangkaian drama politik di Negeri Paman Sam tersebut bermula di panggung debat. Penampilan buruk Biden dalam menghadapi Trump saat itu menggelindingkan bola salju keraguan atas kemampuan Biden (81). Tak hanya terkait kapasitasnya menghadapi Trump (78) pada pemilu 5 November 2024, tetapi juga memimpin negara sebesar AS hingga empat tahun ke depan.
Pascadebat, Trump dan kubu Republik sudah seperti di atas angin. Keraguan terhadap Biden justru muncul dari internal Demokrat sendiri.
Peristiwa lolosnya Trump dari maut dalam penembakan di Butler, Pennsylvania, AS, menebalkan peluang Trump kembali berkuasa di Gedung Putih. Konvensi Nasional Partai Republik di Milwaukee, 15-18 Juli 2024, saat Trump resmi ditetapkan sebagai calon presiden dan JD Vance sebagai calon wakil presiden seolah penahbisan seremonial.
Tiga hari setelahnya, Biden mengumumkan keputusan mundur dari proses pencalonan presiden. Ada kelegaan di kalangan Demokrat ataupun negara-negara mitra AS. Di internal Demokrat, keputusan Biden memberi jalan bagi sejumlah politisi lain untuk menghadapi Trump atau setidaknya menghentikan polemik soal isu kelayakan Biden.
Bagi dunia luar, terutama negara-negara mitra AS, keputusan mundurnya Biden mencuatkan sedikit harapan soal peluang menghadang Trump kembali ke Gedung Putih.
Bagi dunia luar, terutama negara-negara mitra AS, keputusan itu mencuatkan sedikit harapan soal peluang menghadang Trump kembali ke Gedung Putih. Gambaran kebatinan ini diwakili pernyataan Jeremy Shapiro, Direktur Penelitian Hubungan Luar Negeri Dewan Eropa, yang menyebut negara-negara mitra AS itu tak ingin melihat Trump jadi presiden.
Menurut Shapiro, ada sedikit kelegaan dengan mundurnya Biden, tetapi ada juga sedikit kegelisahan (Kompas.id, 22/7/2024). Kegelisahan tetap ada karena situasi makin sulit diprediksi. Dapat dipahami, andai Biden tetap maju, elemen ketidakpastian itu tak sebesar saat ini mengingat kans Trump memenangi pilpres, seperti diperlihatkan survei, terbuka.
Saat mengumumkan pengunduran diri, Biden menyatakan dukungan kepada Wakil Presiden Kamala Harris untuk menggantikan posisinya. Posisi Harris (59) memperoleh tiket capres menguat, tetapi ia harus mampu meyakinkan pemilik suara Konvensi Nasional Demokrat di Chicago, 19-22 Agustus 2024.
Tak banyak kemewahan pada Harris andai ia kelak terpilih menjadi capres Demokrat. Dengan waktu 107 hari yang dimilikinya, ia harus segera menentukan cawapresnya dan memiliki ketahanan ekstra menghadapi gelombang serangan Trump dan para pendukungnya.