Kebesaran Guru Besar
Sebagai suatu jenjang jabatan, guru besar memiliki dua dimensi makna, yaitu ”recognition” dan ”appointment”.
Besar sekali sumbangsih para pendidik dan cendekiawan di perguruan tinggi di Indonesia kepada bangsa ini.
Pada mulanya, Negara Republik Indonesia hanyalah angan-angan yang oleh Benedict Anderson disebut imagined community, di dalam kepala sedikit orang yang tercerahkan. Namun, mereka mampu menggerakkan dan menularkan cita-citanya melalui revolusi kertas dan mesin cetak.
Ketika mayoritas penduduk masa kolonial tidak berkesempatan mengenyam pendidikan, minoritas kaum terpelajar sudah mampu merumuskan dasar-dasar kemerdekaan, menggulirkan pergerakan nasional, dan pada akhirnya menggulung kolonialisme.
Banyak nama kaum intelektual dalam jajaran pahlawan nasional. Beberapa di antaranya, yaitu Soepomo, Mohammad Yamin, Sardjito, atau Abdul Kahar Muzakkir, bahkan menyandang predikat profesor, capaian dan penghargaan termulia dalam komunitas akademik.
Dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia hari ini, istilah profesor telah bertransformasi menjadi guru besar, yang merupakan jabatan akademik tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.
Kini, ketika predikat guru besar dipandang mencerminkan kesempurnaan ilmu, keluhuran pengetahuan, dan kehormatan status, predikat tersebut menjadi primadona yang diidam-idamkan.
Baca juga : Guru Besar Tanpa Pewaris Keilmuan
Kegurubesaran
Guru besar adalah kata yang tak terpisahkan dari dosen, berasal dari kata docent dalam bahasa Belanda yang berarti ”guru”. Menurut kamus Merriam-Webster, kata ini mengandung dua arti. Pertama, ”seorang guru di kampus”. Kedua, ”seseorang yang bertugas memandu wisata di museum atau galeri seni”.
Kesamaan di antara dua definisi tersebut adalah penekanan peran dosen sebagai pembimbing. Sejalan dengan definisi dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Beberapa di antara dosen itu ada yang kemudian diangkat menjadi guru besar dan memperoleh jabatan profesor. Kata ”profesor” dalam bahasa Inggris mempunyai arti ”seseorang yang mengakui dan menyatakan (to profess)” dan ”pengajar dengan peringkat akademik tertinggi di institusi pendidikan tinggi”.
Profesor adalah mahaguru yang memberikan kepemimpinan akademik di perguruan tinggi melalui pengarahan, penelitian, pengajaran, serta pengembangan keilmuan dan kebijakan dalam disiplin akademik dan masyarakat yang lebih luas.
Di Indonesia, para profesor patut bersyukur karena pengangkatannya dilakukan oleh negara, berdasarkan usulan perguruan tinggi. Ini berbeda dengan beberapa negara lain, seperti Amerika Serikat dan Inggris, ketika profesor diangkat oleh perguruan tinggi.
Konsekuensinya, mereka hanya diangkat sesuai dengan visi dan misi perguruan tinggi tertentu, hanya berkenaan dengan kepentingan akademik, dan hanya merupakan jabatan internal.
Sementara itu, ketika profesor diangkat oleh negara, artinya mereka diangkat untuk kepentingan bangsa dan negara serta sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, semua perguruan tinggi dan lembaga lainnya mengakui kepakarannya dan dapat digunakan untuk berbagai kepentingan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dua dimensi
Sebagai suatu jenjang jabatan, guru besar memiliki dua dimensi makna, yaitu recognition dan appointment.
Artinya, di satu sisi, guru besar adalah bentuk pengakuan dari negara atas kiprah, dedikasi, dan kontribusi dosen dalam pengembangan disiplin ilmu. Namun, di sisi lain, guru besar juga sekaligus wujud penunjukan atau pengisian jabatan dalam organisasi akademik.
Baca juga : Guru Besar yang Bukan Sekadar Profesional
Pengangkatan guru besar merupakan wujud penghargaan terhadap kinerja dosen dalam menjalankan berbagai peran akademik di beragam latar.
Mereka diakui sebagai penulis yang mumpuni dalam karya ilmiah dan publikasinya, sebagai peneliti yang andal di laboratorium dan perpustakaan, sebagai pengajar yang inspiratif di dalam kelas, serta sebagai rekan bertukar pikiran yang konstruktif dalam konferensi.
Tak mengherankan, seorang dosen yang berhasil mencapai jabatan guru besar dianggap sebagai akademisi paket lengkap di bidangnya.
Selain itu, guru besar adalah seorang academic leader atau pemimpin akademik dalam suatu kelompok studi atau pusat pendalaman ilmu, tempat ia menakhodai dan mengorkestrasi sekelompok dosen di jenjang di bawahnya.
Atau membimbing calon doktor dalam menelurkan penelitian-penelitian yang berdampak nyata bagi penyelesaian masalah keilmuan dan kemanusiaan.
Oleh sebab itu, penunjukan dan pengisian jabatan guru besar di sebuah perguruan tinggi harus didasarkan pada analisis peta jabatan yang cermat, dengan mempertimbangkan diferensiasi misi, posisi tawar institusi, dan fokus penelitian perguruan tinggi, tanpa mengabaikan kapasitas sumber daya institusi.
Pemahaman mengenai pengangkatan guru besar sebagai suatu mekanisme pengisian jabatan akademik menyiratkan konsekuensi bahwa ketika seorang dosen tidak lagi bertugas dalam jabatan tersebut, misalnya karena pensiun atau tidak lagi aktif mengajar, idealnya ia tidak menggunakan predikat profesornya untuk kepentingan apa pun.
Sayangnya, masih banyak praktik yang keliru di masyarakat yang cenderung memosisikan profesor sebagai gelar permanen. Alih-alih menanggalkan profesor ketika ia tidak lagi aktif di satuan pendidikan tinggi, tak jarang predikat tersebut terus dibawa hingga ke batu nisan. Tentu hal ini sama sekali bukan berarti bahwa negara mencabut pengakuan atas kepakarannya.
Rumpun ilmu
Setelah masa penantian, seusai terbitnya Peraturan Menteri Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional di Indonesia yang memerlukan penyesuaian, para dosen di Indonesia akhirnya dapat menghela napas lega.
Hal itu karena Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah merilis ketentuan tentang kenaikan jabatan akademik dosen pada masa peralihan.
Peraturan tersebut, untuk sementara waktu, dapat menjadi solusi untuk memastikan agar para dosen yang telah memenuhi persyaratan dapat diangkat menjadi profesor, sementara proses perancangan dan harmonisasi peraturan lintas kementerian memerlukan waktu yang tak bisa dipastikan.
Salah satu kebijakan yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek) Nomor 0502/E.E4/RHS/DT.04.1/2024 tersebut yang menuai pertanyaan adalah setiap bidang kepakaran pada level pengembangan ilmu hanya dapat diisi dengan satu guru besar.
Alih-alih menanggalkan profesor ketika ia tidak lagi aktif di satuan pendidikan tinggi, tak jarang predikat tersebut terus dibawa hingga ke batu nisan.
Konsekuensinya, pengajuan pengangkatan guru besar harus dengan jelas menyebutkan dan mengidentifikasi area of expertise seorang dosen.
Bagi sebagian kalangan, hal ini dianggap membatasi keilmuan seorang dosen dan mengerdilkan ilmu pengetahuan ke dalam kompartemen administratif, di tengah tren dunia akademik yang mengarah ke pendekatan multidisipliner dan lintas perspektif.
Dalam memahami poin tersebut, kiranya kita perlu merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Pembacaan kebijakan tersebut juga tak bisa lepas dari konsep kebebasan akademik, yang memberikan kewenangan kepada sivitas akademika untuk mendalami serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Aturan saat ini memang mengklasifikasikan ilmu ke dalam enam rumpun, yaitu rumpun ilmu agama, ilmu humaniora, ilmu sosial, ilmu alam, ilmu formal, dan ilmu terapan.
Meski begitu, terbuka peluang yang sangat luas dan fleksibel bagi sivitas akademika untuk mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu melalui Tri Dharma.
Secara abstraksi, pemahaman terhadap batas-batas rumpun ilmu bukanlah suatu pagar yang memisahkan satu sama lain, melainkan sebuah jembatan yang membuka potensi interaksi dan silaturahmi. Profesor juga bukanlah obyek yang akan ditempatkan di kotak label ilmu tertentu, melainkan subyek yang menentukan sendiri ke mana ia akan menumbuhkan cabang ilmunya menjadi pohon yang rimbun.
Dengan identifikasi tersebut, guru besar akan memperkuat posisi tawar dan kekuatannya serta memastikan di bagian mana ia akan berkontribusi terhadap body of knowledge.
Pada akhirnya, keragaman kepakaran guru besar akan memperbanyak variabel yang memungkinkan munculnya letupan-letupan kreativitas dan pengembangan ilmu pengetahuan menjadi kian holistik dan komprehensif.
Abdul HarisDirektur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi