Guru yang ”Habis Manis”
Benarkah terjadi malaadministrasi dalam pengelolaan guru honorer kita?
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberhentikan 107 guru honorer di tingkat SD hingga SMA. Pemutusan kontrak tersebut dilakukan terhitung sejak 5 Juli 2024, bertepatan dengan awal tahun ajaran baru 2024/2025.
Kepala Dinas Pendidikan Jakarta menyatakan, pengangkatan guru honorer tak memiliki dasar seleksi yang jelas. Lagi pula, sejak 2017 pihak pemerintah sudah mengumumkan agar tidak lagi merekrut guru honorer, tetapi kepala satuan pendidikan tetap nekat.
Akibatnya, para guru honorer dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengkritik kebijakan itu. Dari 107 guru yang ”dibersihkan”, lebih dari 70 persen telah memiliki nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK). Mengacu pada UU No 5/2014, syarat menjadi guru honorer adalah bukan aparatur sipil negara (ASN), tercantum di data pokok pendidikan, memiliki NUPTK, dan tidak ada tunjangan guru.
Benarkah terjadi malaadministrasi dalam pengelolaan guru honorer kita? Di tengah upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas guru hingga ke pelosok Tanah Air untuk mewujudkan visi ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, apakah pemberhentian guru honorer sudah tepat?
Baca juga: Usai Dipecat Serentak, Ratusan Guru Honorer Pertimbangkan Jalur Hukum
Kasta profesionalitas guru
Dalam pengelolaan guru di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, pemerintah mengakui tiga status kepegawaian guru, yakni ASN, pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), dan honorer.
Status ini berimplikasi terhadap uang yang diberikan negara setiap bulan. Kepastian kesejahteraan jelas dinikmati guru ASN, sementara ketidakpastian kesejahteraan dialami para guru honorer.
Langkah pengelolaan tiga jenis guru ini tersendat di setiap fase. Fase pertama, jalan menjadi ASN. Amanat UU No 5/2014 menghendaki agar guru honorer ”dinaikkan derajatnya” menuju status pegawai negeri.
Hanya saja, persoalan administrasi kerap mengganjal, seperti umur guru honorer yang sudah lanjut, kesesuaian ijazah, linearitas, hingga persoalan ketersediaan informasi.
Fase kedua, jalan menjadi pegawai kontrak. PPPK merupakan solusi untuk persoalan ketimpangan hak dan kewajiban dari profesi guru. Ini terbaca dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.
Ketika PP itu diberlakukan, tenaga guru honorer tidaklah hilang sama sekali. Tenaga honorer masih ada karena kebutuhan satuan pendidikan. Hal itu dipayungi produk hukum. Salah satunya, Peraturan Menteri Pendidikan No 26/2017 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah, memberikan izin untuk pemberian gaji kepada guru honorer.
Fase ketiga, pengangkatan guru honorer menuju guru PPPK juga tidak mudah. Mengacu pada UU No 5/2014 tentang ASN sebagai dasar mengangkat PPPK, standar kompetensi sebagaimana dicanangkan pemerintah tidak selalu terpenuhi guru honorer.
Hal yang dites secara umum mencakup kecakapan profesi dan kompetensi. Alhasil, guru- guru yang baru kuliah akan dengan mudah melewati ambang batas kelulusan, sedangkan guru senior akan tertinggal.
Sementara di sisi lain, para guru honorer yang sudah senior ini justru memiliki kelebihan di bidang pengalaman, pengabdian, dan dedikasi. Contoh kemampuan menonjol dari guru honorer senior adalah dalam mengelola kelas karena kematangan dan keterlibatan emosional. Pendekatan-pendekatan terbaru yang diperkenalkan guru muda menemui kesulitan dalam praktik di lapangan.
Kepastian kesejahteraan jelas dinikmati guru ASN, sementara ketidakpastian kesejahteraan dialami para guru honorer.
Sepah dibuang
Karena itu, tidaklah berlebihan jika kasus ini lebih berbau uang ketimbang pengelolaan kualitas. Sebab, apabila dilihat dalam aspek pengembangan sumber daya guru, berbagai mekanisme dalam rangka peningkatan kualitas guru sudah sering dilakukan, bahkan terkesan tumpang tindih.
Misalnya, uji kompetensi guru (UKG), pendidikan profesi guru (PPG), guru penggerak, program pendampingan, serta program-program lain yang berbasis pada teknologi informasi. Apabila program tersebut berhasil, setiap guru memiliki bekal yang memadai dalam praktik pembelajaran di kelas.
Lebih dari itu, tak mengada-ada jika dikatakan, pembersihan sumber daya honorer merupakan langkah yang dilakukan pada guru yang telah dianggap menjadi sampah dalam produk hukum di Indonesia.
Terdapat empat efek negatif dari pemberhentian guru honorer ini. Pertama, satuan pendidikan akan kekurangan guru. Pengurangan guru jelas memberikan efek terhadap peningkatan beban guru ASN ataupun PPPK. Hilangnya satu guru berpengaruh terhadap pembagian tugas dalam kinerja di dalam satuan pendidikan.
Kedua, sekolah masih memerlukan guru honorer yang memiliki keahlian khusus. Sejumlah mata pelajaran umum bisa ditangani guru ASN ataupun PPPK, tetapi mata pelajaran khusus membutuhkan guru khusus. Misalnya, guru bahasa asing, guru bahasa daerah, serta guru seni dan budaya.
Ketiga, pembersihan memberikan dampak kontraproduktif dalam perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia. Saat ini terdapat 1,3 juta guru honorer yang tersebar di seluruh Tanah Air. Pemberhentian guru honorer akan menimbulkan masalah baru dalam hal keadilan, kesejahteraan, dan hak untuk memperoleh pekerjaan layak.
Atas dasar argumentasi ini, kiranya pemerintah perlu mengevaluasi kembali langkah itu. Pengelolaan guru honorer masih cukup waktu sehingga masih banyak kebijakan yang bisa diberlakukan pemerintah di luar tindakan pembersihan.
Misalnya, membuka kembali perekrutan ASN, PPPK, serta program-program pemberdayaan yang memberikan keuntungan bagi guru honorer ataupun pemerintah. Memberhentikan guru honorer tak ubahnya habis manis sepah dibuang dan langkah penertiban adalah tutup lubang gali lubang.
Saifur RohmanPengajar Filsafat di Program Doktor Universitas Negeri Jakarta