Musikalisasi Fiksi dan Fakta
Saya berpikir, betapa menariknya kalau sejarah panjang Indonesia dituangkan dalam bentuk musikal.
Salahsatu tonikum kewarasan saya adalah seni tontonan—serial TV, film layar lebar, dan pertunjukan panggung. Mungkin karena dalam bentuk seni ini bertemu gerakan, suara, dan cerita. Ramuan yang tepat dalam 1-3 jam acap membuat saya berimajinasi atau memproyeksikan pikiran. Minimal, bisa mengistirahatkan pikiran dari drama kehidupan sebenarnya.
Dua bulan terakhir ini saya beruntung menonton tiga musikal, salahsatu bentuk seni pertunjukan. Ketiga musikal ini kebetulan berkarakteristik berbeda-beda. Ada yang fiksi, ada yang berdasar sejarah. Ada yang diperankan teater profesional, ada yang bukan.
Sebuah musikal relatif pendek saya dapati pada ulang tahun ke-40 dari Paragita, kelompok koor Universitas Indonesia. Saya datang bukan semata demi almamater, tapi juga untuk mendukung mantan teman sekelas yang aktif di Paragita sampai sekarang. Digelar di Taman Ismail Marzuki dengan tata panggung bertingkat dan layar multimedia untuk mengantarkan sebuah fiksi, Musikal Merantau cukup menghibur pada Minggu siang itu, apalagi mengingat jejeran pelakonnya adalah mahasiswa dan alumni, bukan talenta seni profesional. Penonton terlihat antusias datang membawa bunga untuk kawan dan kerabat yang tampil di panggung akhir pekan itu.
Baca juga: Gelanggang Keras Mal Jakarta
Bukan hanya fiksi, musikal pun bisa berdasar fakta atau di antaranya.
Pada akhir pekan yang bertepatan dengan perayaan Waisak, saya menonton Siddhartha di JIE Kemayoran. Mengisahkan kehidupan Siddhartha Gautama dan lahirnya filosofi Buddha, musikal yang juga diimbuhi layar multimedia ini memikat bahkan untuk saya dan teman saya Okta yang bukan penganut Buddha.
Tapi tentunya, puncak kenikmatan musikal saya tahun ini dicapai melalui Hamilton, yang akhirnya tiba di Asia melalui panggung besar Marina Bay Sands di Singapura.
Dibawakan kelompok profesional dari negeri jiran, pertunjukan tidak hanya dipenuhi nyanyian merdu, tetapi juga tarian luwes dan kostum meriah khas India Kuno. Naskahnya tampaknya ditulis untuk penonton yang sudah paham sejarah ini karena saya dan Okta sempat bingung di beberapa bagian, tetapi secara keseluruhan tidak mengecewakan. Paling tidak, saya jadi lebih paham proses transformasi Pangeran Siddhartha menjadi Sang Buddha dan perbedaan bentuk meditasinya dengan agama Hindu yang juga berasal dari India.
Namun, tentunya, puncak kenikmatan musikal saya tahun ini dicapai melalui Hamilton, yang akhirnya tiba di Asia melalui panggung besar Marina Bay Sands di Singapura. Digubah selama 7 tahun oleh talenta serba-bisa Lin-Manuel Miranda dari biografi karya sejarawan Ron Chernow, Hamilton menceritakan sosok Alexander Hamilton dan perannya dalam pemerdekaan diri 13 koloni dari Kerajaan Inggris untuk membentuk Amerika Serikat.
Baca juga: Rumah Masa Depan Siapa?
Yang membedakan musikal ini dari ratusan karya seni lain yang mengangkat penggalan sejarah yang sama adalah Hamilton mengemas ulang abad ke-18 Amerika dengan elemen abad ke-21. Busana dan tata panggung tetap setia pada visual abad ke-18, tetapi musik didominasi rap, tariannya mengingatkan saya akan balet jazz modern Alvin Ailey, dan dialognya cukup kekinian. Sejarah tetap berbobot, tetapi penyampaiannya ringan. Naskah juga disusun cukup cerdas sehingga penonton yang tidak khatam Revolusi Amerika bisa memahami alur cerita, ikut sedih dan tertawa.
Saya berpikir, betapa menariknya kalau sejarah panjang Indonesia dituangkan dalam bentuk musikal. Proses kemerdekaan dari Jepang sendiri sudah seru, belum ditambah tahun-tahun kembalinya tentara Sekutu. Apalagi abad-abad sebelumnya, saat sekian kerajaan Eropa silih berganti menduduki Nusantara demi rempah-rempah dan jalur perdagangan. Bahkan, tanpa unsur penjajah pun, ratusan kerajaan Nusantara punya dinamika penuh pemekaran kekuasaan, rebutan pasangan, pertikaian kepercayaan, dan berbagai drama lainnya.
Saya paham ini bukan pasal mudah. Tidak semua sejarah Indonesia tertulis baik dan bahkan yang tertulis secara akademis pun kadang kalah oleh versi cerita turun-temurun. Belum lagi kebiasaan bangsa ini meletakkan seseorang yang dianggap tokoh secara hitam-putih, pahlawan tanpa cacat atau sekalian raja penjahat. Saya masih ingat betul saat Hanung Bramantyo memfilmkan Soekarno dan keluarga Soekarno protes berat. Padahal, sebagai penonton yang sudah dewasa, saya bisa membayangkan dalam perjalanan berat merebut kemerdekaan dari penjajah, masuk akal seorang pemimpin harus tarik-ulur dan berkompromi. Buat saya, Soekarno yang difilmkan Hanung lebih manusiawi dan menarik ketimbang sosok selalu heroik yang dikenalkan kepada publik selama ini.
Secara umum para sejarawan Amerika sepakat bahwa musikal ’Hamilton’ berhasil menembus berbagai lapisan masyarakat.
Kebiasaan lain bangsa ini lainnya cenderung meletakkan peristiwa sejarah sebagai sesuatu yang mutlak khidmat dan serius. A solemn occasion. Padahal, sebuah peristiwa yang kemudian jadi penggalan sejarah saat terjadi logikanya seperti kehidupan normal—ada humor, emosi, kekonyolan, bahkan remeh-temeh lainnya. Musikal memliki kelebihan dari bentuk seni panggung lainnya dalam menunjukkan hal-hal normal dan ”ringan” ini, dan karena itu lebih mudah memikat minat pemirsa.
Baca juga: Bangsa dan Pemimpin yang Layak Baginya
Dalam buku Historians on Hamilton: How a Blockbuster Musical is Restaging America’s Past, 15 sejarawan menulis esai mendebatkannya. Di antara kritik valid tentang akurasi sejarah, atau bahkan penggunaan aktor berkulit berwarna untuk memerankan tokoh ras Kaukasia yang berpotensi mengaburkan peran tokoh berkulit berwarna sesungguhnya, secara umum para sejarawan Amerika sepakat bahwa musikal Hamilton berhasil menembus berbagai lapisan masyarakat.
Di Indonesia, yang pengajaran sejarah di jenjang akademis formal cenderung monoton, museum tidak dikelola dengan interaktif dan minat baca sudah rendah, bahkan sebelum serbuan teknologi elektronik, musikal bisa jadi solusi penyampaian sejarah untuk massa, sebelum penggalan sejarah makin kabur dan rakyat makin tak tahu-menahu. Melihat antusiasme publik menonton musikal Keluarga Cemara minggu-minggu ini, yang mengingatkan saya akan keramaian serupa saat Laskar Pelangi naik panggung, masa tidak ada produser yang tergerak membuat serial musikal sejarah?
Ayo, lah…
Lynda Ibrahim, konsultan bisnis & penulis