Pada awal 2024, sejumlah wilayah di Indonesia dikejutkan dengan rangkaian gempa kerak dangkal, mulai dari gempa di Bawean, Tuban, hingga yang terbaru di Batang dan Pekalongan. Gempa ini tak hanya menimbulkan kerusakan fisik yang parah dan korban jiwa, tetapi juga menggugah kesadaran akan pentingnya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana.
Reaktivasi patahan aktif di daratan kian menguatkan dan menegaskan tentang perlunya pemantauan seismik yang lebih intensif dan berkelanjutan.
Gempa bumi yang terjadi dalam hitungan detik mampu merusak bangunan vital dan mengakibatkan banyak korban jiwa. Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendesak: apakah kita sudah siap menghadapi bencana alam gempa bumi yang datang tanpa ada peringatan itu? Apakah kita tak pernah belajar dari pengalaman gempa bumi yang pernah terjadi?
Padahal, sejarah kegempaan yang merusak di wilayah Indonesia sudah sangat sering terjadi. Kejadian ini menyoroti pentingnya pemahaman mendalam tentang setiap gempa yang terjadi dan bagaimana kesiapsiagaan dan tingkat kerentanan yang kita miliki.
Baca juga: Rangkaian Gempa Bawean Masih Mengguncang, Mitigasi Diperlukan
Bawean, Tuban, Batang
Pada 22 Maret 2024, gempa dangkal dengan kedalaman 10-12 kilometer (km) mengguncang wilayah laut di timur laut Tuban, dekat dengan Pulau Bawean. Gempa ini terjadi dua kali dan diikuti 64 gempa susulan. Gempa dirasakan hingga wilayah Surabaya dan menimbulkan kepanikan.
Meski tak berpotensi tsunami, gempa ini menyebabkan kerusakan pada rumah sakit, masjid, rumah warga, bahkan beberapa gedung di perguruan tinggi di wilayah Surabaya. Gempa ini dipicu aktivasi sesar Muria dan sesar West 15.
Tak lama setelah gempa Bawean, pada 29 Juni 2024, Tuban diguncang gempa magnitudo kecil 3,3. Meski tergolong gempa kecil, gempa ini merusak 51 rumah dengan kerusakan ringan, 13 rumah dengan kerusakan sedang, dan 5 rumah rusak berat.
Episenter gempa berada di darat, 22 kilometer barat daya Tuban dengan kedalaman 8-10 kilometer. Getaran juga dirasakan sampai ke beberapa wilayah, seperti di Kecamatan Montong, Kerek, dan Merakurak, dengan intensitas II-III MMI.
Puncaknya, 7 Juli 2024, gempa dengan magnitudo 4,4 mengguncang Batang dan Pekalongan. Episenter gempa berada di darat, hanya 5 kilometer dari arah timur laut Batang dengan kedalaman 6 kilometer, dipicu aktivasi sesar yang belum teridentifikasi.
Getaran dirasakan cukup kuat. Ini termasuk jenis gempa destruktif yang menyebabkan beberapa bangunan mengalami kerusakan. Gempa ini termasuk kategori frekuensi kecil dengan dampak tinggi sehingga memerlukan kewaspadaan lebih karena berdampak merusak.
Dinamika reaktivasi patahan
Rangkaian gempa ini menegaskan perlunya penelitian geologi yang berkelanjutan. Ketiga gempa pada awal 2024 ini adalah gempa kerak dangkal dengan magnitudo tidak terlalu besar tetapi menimbulkan kerusakan parah. Penemuan dan pemahaman tentang sesar aktif kerak dangkal sangat penting untuk memprediksi dan memitigasi risiko bencana.
Gempa dangkal yang merusak ini bukan fenomena baru. Pada 1890, gempa dengan magnitudo 6,5 juga terjadi di dekat Bawean. Reaktivasi patahan juga diperlihatkan pada gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 dengan magnitudo 6,2. Gempa ini disebabkan reaktivasi patahan Opak. Gempa ini menyebabkan kerusakan dan korban jiwa paling parah sepanjang sejarah gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta.
Proses reaktivasi patahan ini dapat dipicu beberapa faktor, seperti akumulasi stres tektonik, interaksi antarpatahan, dan aktivitas vulkanik.
Kolaborasi pemerintah dan akademisi sangat penting untuk memastikan bahwa penelitian dan data terbaru mengenai potensi gempa dan patahan aktif dapat digunakan untuk menyusun kebijakan yang efektif. Sektor swasta juga berperan penting guna memastikan bangunan dan infrastruktur yang mereka kelola memenuhi standar keamanan yang ditetapkan.
Kejadian gempa mengingatkan kita akan pentingnya kesadaran, kesiapsiagaan, dan mitigasi bencana.
Kesadaran dan kesiapsiagaan
Rangkaian gempa kerak dangkal ini mendorong kita agar selalu lebih memahami karakteristik geologi dan potensi di wilayah kita. Aktivitas tektonik yang terjadi di bawah permukaan bumi terus melakukan aktivitasnya, dan ini sering tanpa kita sadari.
Kejadian gempa mengingatkan kita akan pentingnya kesadaran, kesiapsiagaan, dan mitigasi bencana. Masyarakat diminta selalu siap dan waspada karena tidak ada tempat yang benar-benar aman dari gempa bumi. Peristiwa gempa Bawean, Tuban, dan Batang telah memperlihatkan kerentanan geologis yang kita miliki.
Kita tak tahu kerak dangkal mana lagi yang akan mengalami reaktivasi. Untuk merespons ini, kita harus memperkuat kebijakan publik tentang bencana alam dan kesiapsiagaan bencana. Termasuk dengan meningkatkan kualitas standar bangunan, mengembangkan program edukasi masyarakat, memasukkan edukasi bencana ke dalam kurikulum pendidikan, dan membangun sistem peringatan dini yang efektif.
Pendidikan dan pelatihan kesiapsiagaan bencana harus menjadi bagian dari kurikulum sekolah dan program komunitas pemerhati bencana guna membangun budaya keselamatan dan kesiapsiagaan yang kuat di seluruh masyarakat kita. Upaya ini harus dilakukan secara gotong royong guna meningkatkan ketahanan dalam menghadapi bencana alam.
Hijrah SaputraDosen Magister Manajemen Bencana Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga