Setelah membaca berita di e-paper Kompas.id beberapa hari lalu tentang pernyataan Komisi Pengawas Persaingan Usaha bahwa Shopee siap mengubah sikap, saya teringat pengalaman saya sebagai e-commerce officer dan menyadari praktik otomatisasi kurir logistik yang ramai diberitakan.
Sebagai pengguna layanan e-commerce, kita mengetahui saat proses pembelian (check out) pada bagian metode pengiriman lebih kurang ada pilihan pengiriman reguler dan instan. Namun, pilihan hanya terbatas pada reguler dan instan, tidak ada turunan pilihan jasa ekspedisi (reguler), seperti J&T, JNE, Sicepat—atau jasa instan—seperti Grab Instant, Gosend—mana yang mau kita pilih.
Sebagai sarjana hukum, saya memahami bahwa dalam hukum perlindungan konsumen (UUPK) kita sebagai pembeli punya ”hak untuk memilih” jasa ekspedisi apa yang mau kita pakai. Sebab, tak dimungkiri, saya pribadi terkadang memilih kurir logistik tertentu yang warehouse-nya paling dekat dengan alamat rumah, bisa juga karena sudah kenal dengan para kurirnya, atau alasan lain.
Dalam konteks layanan Shopee, sering kali pembeli langsung ”ditentukan” jasa pengiriman SPX, baik untuk pengiriman reguler maupun instan. Kebetulan saya berada pada masa Shopee mulai mengotomatisasi pengiriman reguler ke jasa ekspedisinya sendiri, yaitu SPX.
Mungkin secara bisnis pihak Shopee lebih efisien dan mendapat untung karena mereka otomatisasikan ke jasa ekspedisi mereka sendiri. Namun, penjual (seller) harus punya waktu dan tenaga lebih jika harus menyerahkan (drop off) ke SPX Centre, yang masih terbatas, padahal pesanan sebelumnya diambil (pick up) langsung oleh kurir selain SPX.
Praktik seperti otomatisasi kurir logistik tidak hanya dilakukan Shopee, tetapi juga dilakukan Lazada. Bahkan, beberapa layanan tipis-tipis mempraktikan hal sama, seperti Tiktok Shop, meskipun Tiktok Shop belum memiliki kurir logistik sendiri, tapi pembeli tidak diberi pilihan.
Hisbulloh Huda
Desa Patoman, Blimbingsari, Banyuwangi, Jawa Timur